Sekelompok mahasiswa tiba-tiba datang ke kantor. Cukup membuat terkejut. Menyadari kehadiran mereka mengejutkan, segera seseorang dari mereka berkata. “Maaf Pak. Kami mau pamit.” Seseorang menimpali. “Saya mau pamit, Pak. Saya sudah lulus. Terima kasih atas bimbingannya selama ini.”
Kejadian tersebut saya coba kisahkan lewat unggahan story di media sosial Instagram. Cukup banyak direspons oleh pengikut (followers). Kurang lebih saya menulis, “Kesedihan seorang dosen adalah ketika satu per satu mahasiswanya datang untuk pamit…. Ditunggu kabar baiknya, entah di mana pun kalian berkarier…. Mereka pergi. Semua kembali melanjutkan langkah hidupnya. Tapi sang dosen tetap di sini, menunggu siapa yang berikutnya akan datang untuk pamit. Bertahun-tahun. Lalu, sang dosen menangis di pojokan.”
Bagi pribadi, kejadian di atas cukup mengesankan, antara bahagia juga sedih. Bukan karena akhirnya mereka lulus setelah menghabiskan waktunya selama 6,5 tahun di bangku kuliah. Bukan juga karena mereka akan kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan hidup baru, mungkin selamanya.
Mengesankan karena dua hal: membahagiakan dan menyedihkan. Pertama, sejatinya momen kebahagiaan seorang dosen adalah ketika mahasiswanya lulus. Artinya, purna sudah tugasnya untuk mengajar, mendidik, dan membimbing mereka. Juga orang tua mereka tidak lagi dipusingkan untuk membayar SPP atau biaya pendidikan lainnya, bertahun-tahun. Bisa juga membahagiakan karena tuntutan beban akreditasi program studi mulai terpenuhi, menambah persentase kelulusan tepat waktu atau keberhasilan studi mahasiswa.
Membahagiakan ketika sang dosen melepas mereka dengan harapan ilmu yang diperolehnya bisa bermanfaat bagi kehidupannya, jadi apa dan di mana pun ia kelak meniti karir. Gelar yang diraih bisa membuatnya meningkatkan taraf hidup ekonomi keluarga, berkontribusi bagi banyak orang, bagi bangsa dan negara. Bahagia karena telah lahir “manusia baru” yang siap memberi arti bagi kehidupan dan peradaban manusia.
Kedua, menyedihkan. Kelulusan mahasiswa sejatinya juga menjadi momen menyedihkan bagi sang dosen, karena akan ditinggal oleh mahasiswa yang selama bertahun-tahun, mungkin, meramaikan hidupnya dengan berbagai pengalaman selama mengajar. Atau mewarnai kariernya, dengan prestasi-prestasi yang ditorehkan oleh mahasiswa didikannya.
Juga menyedihkan karena dua-tiga pertanyaan: Apakah ilmu yang diperoleh mahasiswa itu akan bermanfaat bagi hidupnya? Bekal kompetensi dan keterampilan apa yang telah diberikan dosen pada mahasiswa untuk kehidupan mereka selanjutnya? Apakah mereka bisa bertahan di tengah hutan belantara kehidupan dengan mengandalkan selembar ijazah dan transkrip nilai dengan deretan huruf A,B, dan C?
Tulisan ini sejatinya adalah sebuah refleksi terhadap diri sendiri: sebagai dosen, sebagai pemangku kepentingan pendidikan. Mampukah institusi pendidikan tinggi menjawab gelisah hati dan pertanyaan di atas? Jangan-jangan kita hanya menjalankan rutinitas sebagai tugas profesi seorang dosen, tetapi lupa pada: untuk apa sebenarnya rutinitas itu dilakukan, bertahun-tahun.
Kita paham bahwa perguruan tinggi adalah produsen ilmu pengetahuan. Di lembaga inilah pengetahuan dicari, diproduksi, direproduksi, dikaji, dikembangkan, dan didayagunakan. Tujuannya adalah mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
“Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu insan yang beriman serta bertaqwa terhadap yang kuasa yang Maha Esa serta berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan serta keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap serta berdikari serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan serta kebangsaan.” Demikian bunyi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Laporan Statistik Indonesia menyebut, jumlah perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 3.107 unit. Lebih dari 95 persen di antaranya adalah perguruan tinggi swasta, sisanya adalah perguruan tinggi negeri. Artinya setiap tahun, di negeri ini lahir jutaan intelektual muda dari institusi perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Mereka adalah produk dari sistem pendidikan kita, pabrik ilmu pengetahuan. Mereka menjadi tumpuan harapan masa depan. Dengan kapasitas keilmuan, kecakapan berpikir, kematangan emosional, keterampilan berkarya, kompetensi unggul, kekayaan pengalaman, mereka diharapkan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Meski faktanya, tidak semudah itu.
Data Badan Pusat Statistik menyebut, angka pengangguran terbuka dari lulusan perguruan tinggi pada tahun 2022 mencapai hampir satu juta orang. Artinya, produk (manusia) yang dihasilkan bisa jadi tidak punya nilai jual di pasar kerja.
Atau, lapangan pekerjaan yang terbatas, tidak mampu menampung mereka yang tidak punya semangat juang berwirausaha. Tentu ada banyak variabel penjelas untuk menjelaskan angka tersebut. Tetapi, atau, jangan-jangan ada yang salah dengan sistem pendidikan kita selama ini.
Pemerintah menyadari. Karenanya, dalam beberapa tahun ke belakang, telah didesain sebuah sistem pendidikan yang merdeka dan memerdekakan. Namanya Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). MBKM banyak didukung, dengan harapan memberikan ruang-ruang kebebasan (kemerdekaan) bagi mahasiswa untuk memperluas cakrawala pengetahuannya, memperkaya pengalamannya, dan mengembangkan kompetensi lewat beragam skema yang ditawarkan pemerintah.
Tetapi juga MBKM banyak dikritik. Dengan dalih mendistorsi esensi akademik pendidikan tinggi, membongkar filosofi pendidikan, merusak tatanan bangunan sistem pendidikan. Alih-alih menghasilkan bibit unggul “manusia baru.”
Belum lagi jika berbicara korupsi di dunia pendidikan. Belum selesai orang bicara tentang kasus korupsi Rektor Universitas Lampung, kita menyaksikan media sosial diwarnai berita tentang dugaan korupsi Rektor Universitas Udayana Bali.
Juga praktik-praktik culas koruptif-manipulatif di berbagai institusi pendidikan tinggi, yang banyak dikeluhkan orang. Praktik-praktik korupsi itu seolah menegaskan bahwa jangan-jangan pendidikan tinggi tidak ubahnya lembaga komersial yang bisa diperjual-belikan atas nama prestise dan kebanggaan.
Maka, jangan heran jika, mungkin, pendidikan tinggi tidak melahirkan “manusia baru”, menjadi manusia Indonesia seutuhnya, tetapi lebih sebatas robot-robot yang tidak bisa menggerakkan dirinya sendiri. Menjadi tugas bersama, seluruh pemangku kepentingan pendidikan di negeri ini, untuk mendesain sebuah pendidikan yang memanusiakan.
Pendidikan yang mendayagunakan nalar dan nurani. Melahirkan manusia baru yang siap tempur, tetapi juga tidak kehilangan nalar intelektualitas dan nurani sebagai kaum terdidik.(*)