Sekalipun pilpres masih 2024, hingar bingar mempersiapkan hajatan ini sudah terdengar keras. Orang-orang yang diusung sebagai presiden mulai muncul dan dimunculkan ke publik. Aktor politik mulai mempromosikan diri, dipromosikan partai atau dideklarasikan sebagai calon presiden, lobi-lobi politik atau promosi di baliho dan media-media.
Politik penuh ketidakpastian, aktor menunjukkan diri secara sembunyi-sembunyi, malu-malu dan ada pula yang terang-terangan. Mereka tidak mau “nggege mongso” buru-buru menyatakan sebagai calon. Terlebih beberapa kandidat realistis dan tahu diri bukan penentu, maka mereka bergerilya demi dipinang kelompok politik tertentu. Selain itu, untuk memenuhi syarat pencalonan presiden, mau tidak mau partai-partai harus berkoalisi.
Koalisi partai menambah ramai dan riuh hajatan politik ini. Partai Nasdem sudah mendeklarasikan calon presiden. PSI dan sebagian pengurus PPP dan PAN mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Elit PDI-P juga menjajaki koalisi dengan Gerindra dan Partai Golkar.
Kesibukan masyarakat meningkat, mereka mengorganisir massa dan bergerilya di akar rumput. Tidak ketinggalan berbagai kelompok masyarakat dan organisasi masyarakat “mencuri start” melakukan gerakan dukung mendukung calon-calon tertentu. Geliat pilpres menjadi kewajaran sebab dalam kerja politik tahun 2024 begitu pendek, maka pengelolan tim mulai dilakukan dari sekarang.
Kondisi ini positif, rakyat disuguhi pilihan-pilihan capres, kemunculan calon presiden hari ini banyak waktu kepada masyarakat agar tepat dalam menentukan “pilihan.” Selain itu, bagi masyarakat bawah, hajatan politik ini momen melupakan persoalan sehari-hari karena dibuai janji-janji perbaikan kehidupan personal dan kolektif oleh para politisi itu.
Persoalannya bagaimana jika ditinjau dari pengetahuan politik masyarakat tersebut? Benarkah, hajatan politik ini merupakan bentuk pencerahan kepada warga?
Politik Padat Modal
Sekalipun demikian, beberapa anomali politik perlu diwaspadai, seperti pengetahuan politik masyarakat sebagai kekayaan berharga komunitas. Anomali pengetahuan politik menjadi persoalan mengkhawatirkan sebab menjadi krisis bagi lapis bawah. Kejujuran, kredibilitas dari masyarakat tidak boleh koyak gara-gara hajatan politik ini. Hal ini karena anomali dalam politik tersebut, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, tontonan berpikir instan.Ibarat tontonan warga, politik hari ini merupakan mobilisasi masyarakat demi memenangkan kepentingan elit. Kepentingan yang sama, primordialisme dan transaksional merekatkan ikatan antaraktor.
Kita miskin berpikir kritis dan etos melayani sebab kesesatan logika lebih menonjol dari yang lain. Politik bukan desain masa depan bangsa, tetapi pekerjaan pragmatis jangka pendek. Sejatinya para elit mengetahui pengetahuan massa tersebut, tetapi malahan dimanfaatkan.
Tidak ada upaya meluruskan berpikir yang benar-benar sesuai mandat suci atau posisi yang dipegang hari ini. Tetap saja politik adalah main-main dan senda gurau, dan jauh dari instrumen untuk menyelesaikan persoalan.
Kedua, Kerumunan tanpa kejelasan ideologi.Pihak yang bertarung dalam politik sejatinya bukan kelompok masif, tetapi kerumunan yang rentan goyah dan rapuh. Bagaimana tidak rapuh, kerumunan ini hanya diikat perjanjian informal. Kalau toh pertemanan berlanjut didorong oleh dua kemungkinan yaitu golongan (ashabiyyah) baik yang didasarkan kesamaan identitas dan kepentingan transaksional yang artinya ia hanya memberikan keuntungan bagi kelompok yang mendekat pada kekuasaan itu.
Para pendukung fanatik calon didorong kepentingan perut, bukan didorong atau bekerja karena kepentingan nalar. Ia tidak lebih kerumunan yang kapan-kapan bisa pecah karena tidak ada ikatan ideologis di antara mereka.
Ketiga, tujuan kontraproduktif dalam kelompok.Bukan hal baru lagi jika tujuan berpolitik kita sejatinya sekadar memenangkan pertandingan. Tidak ada pertaruhan atau reputasi, maka tidak heran jika kita menemui ketidaksamaan antara apa yang dinyatakan dengan apa yang dipraktikkan.
Yang penulis maksud sebagai tujuan kontraproduktif yakni kecenderungan tidak konsisten antara cara dengan tujuan. Tujuan yaitu memenangkan kompetisi, tetapi janji dipermukaan yakni memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Tidak heran, modal politik para politisi sekadar cukup “mbanding-bandingke” seakan ia mampu menyelesaikan seabrek permasalahan bangsa.
Dalam memenangkan “calon” segala sumber daya kelompok dikapitalisasi. Kondisi kini tidak natural lagi, sebab semua dimobilisasi demi mencapai target-target tertentu. Nafsu menang menjauhi rasa malu sehingga sumber daya milik publik dimanfaatkan. Anehnya, masyarakat bawah ikut-ikutan melakukan pelanggaran ini, salah satunya dikarenakan keberhasilan jalur komando dari politik nasional ke daerah.
Butuh Pencerdasan Politik
Para elit mendominasi alam pengetahuan rakyat. Kondisi ini dikarenakan sumber daya yang dimiliki elit baik berupa signifikansi, hegemoni dan dominasi. Dengan sumber daya itu, ia mampu memobilisasi masyarakat defisit pengetahuan. Akhirnya, pengetahuan massa yang terombang-ambing diobok-obok dijadikan sasaran para politisi.
Anomali selalu menempatkan strata pengetahuan elit di atas. Masyarakat rela pengetahuan mereka terdistorsi oleh komunikasi yang tidak steril dan kering niat baik. Informasi yang diberikan pada “publik” pun banyak settingan. Media dimanfaatkan untuk memobilisasi pengetahuan masyarakat itu. Para politisi mahir mengenal apa yang dibutuhkan masyarakat bawah. Jika kondisi demikian, maka masyarakat tidak akan pernah cerdas selamanya.
Jika kondisi demikian, untuk apa sejatinya berpolitik? Karena ia ternyata bukan jalur menata masa depan bangsa yang lebih baik. Ia sekadar “permainan” dari kelompok-kelompok tertentu.
Maka, untuk meningkatkan kualitas politik ini dibutuhkan gerakan yang bertujuan pencerdasan politik yang memberi informasi obyektif dan penguatan tanggung jawab publik. Wacana tanding harus melawan hegemoni pengetahuan elit. Gerakan ini tidak membiarkan rasionalitas massa berkembang “liar” tetapi perlu dicerahkan pada substansi politik.
Kelompok yang diharapkan sebagai aktor peggerak yaitu tokoh-tokoh intelektual dan tokoh masyarakat. Keduanya guru dari masyarakat yang dibutuhkan karena independen, memiliki jati diri dan mampu memelopori gerakan pencerdasan rakyat. Modelnya berupa gerakan membangun kesadaran yang mewartakan perdamaian, humanisme dan sportif dalam kompetisi.
Target gerakan ini yaitu pendewasan dan pencerdasan berpolitik. Tidak terjebak pada dukung mendukung calon pemimpin. Persoalannya, apakah masih ada tokoh-tokoh yang diharapkan tersebut? Politik padat modal menjadi dilema bagian siapapun yang tergoda.(*)