Malang Posco Media – PEREMPUAN selalu dituntut untuk bisa memasak, mengurus anak, dan melakukan pekerjaan lainnya yang sering dicap sebagai “kondrat“ perempuan. Seringkali saat mereka ingin mengejar ambisinya, mendapat tantangan dari tradisi, orang- orang terdekat bahkan keluarga.
Hal tersebut seolah memenjarakan perempuan yang ingin berkarya. Kata-kata seperti: “Percuma sekolah tinggi, nanti juga kerjanya di dapur” seringkali masih terucap dari orang terdekat kita. Semua ini merupakan hasil dari budaya patriarki.
Lantas apakah hal tersebut merupakan hal yang lumrah? Jika tidak mengapa hal itu masih beredar di masyarakat, terutama pada masyarakat Indonesia. Kata patriarki tidak asing terdengar di telinga kita, namun apa sebenarnya patriarki itu? Patriarki merupakan suatu budaya yang berasal dari nenek moyang.
Budaya itu percaya pada dominasi laki-laki. Menurut Walkins (2007:120), patriarki merupakan kondisi dimana ayah memiliki otoritas terhadap ibu, anak-anak serta harta benda. Sistem ini melambangkan pemerintahan, hak istimewa laki-laki serta menuntut adanya subordinasi perempuan.
Patriarki juga menyebabkan terjadinya penindasan terhadap perempuan. Cara kerja patriarki, yakni mengelompokkan perempuan, membatasi perempuan, serta mengondisikan perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga. Atau dianggap sebagai suatu kewajiban.
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kesamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Salah satu pejuang emansipasi wanita di Indonesia adalah R.A Kartini, kegigihannya dalam memperjuangkan hak-hak wanita diabadikan dalam sebuah lagu; “Ibu Kita Kartini.”
Adanya pembatasan untuk perempuan mendapatkan pendidikan formal, membuat Kartini melakukan perjuangan dengan menyuarakan kesetaraan gender melalui karya-karya tulisnya. Tulisannya beberapa kali diterbitkan oleh sebuah majalah Belanda, De Hollandeche Lelie.
Sejak saat itu, gagasan-gagasan mengenai persamaan hak bagi wanita Indonesia mengalami perkembangan hingga hari ini. Tokoh lainnya yang juga berperan aktif dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan adalah Dewi Sartika dari Jawa Barat. Organisasi perempuan pertama bernama Poetri Mardika, lahir tahun 1912, dan diikuti oleh organisasi-organsasi perempuan lainnya.
Tercatat pada tahun 1912, sekitar 30 organisasi perempuan yang muncul. Seperti Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPI) yang bertujuan untuk menghapuskan perdagangan perempuan dan anak. Congres Perempuan Indonesia I atau dikenal sebagai Comita Congres Perempoean Indonesia, diselenggarakan di Yogyakarta, 22-25 Desember 1987.
Tujuan dibentuknya kongres tersebut adalah untuk menuntut hak perempuan Indonesia dalam membangun bangsa, hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, hak kesehatan serta menolak perkawinan anak di bawah umur. Setelah melalui tahap yang panjang dalam memperjuangkan hak-hak, para perempuan di Indonesia telah mendapatkan hak dalam mendapatkan pendidikan, pekerjaan dan sebagainya.
Lantas apakah praktik budaya patriarki di Indonesia sudah hilang? Nyatanya sampai detik ini budaya patriarki masih terus berkembang dalam tatanan masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat dengan adanya ketimpangan hubungan antara perempuan dan laki-laki.
Perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, dimarginalkan, hingga mendapatkan diskriminasi. Dalam dunia pekerjaan, perempuan mendapatkan upah yang lebih rendah daripada laki-laki. Seperti yang dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, tercatat kesenjangan upah perempuan dan laki-laki semakin tinggi.
Selisihnya mencapai Rp 492,2 ribu selama periode 2015- Februari 2019. Adanya kesenjangan ini bukanlah isu yang baru. Banyaknya stereotype mengenai konstribusi perempuan dalam pekerjaan. Tidak hanya itu perempuan juga cenderung berada pada posisi yang rendah dibandingkan oleh laki-laki.
Hal inilah yang menjadi tantangan baru dalam dunia ketenagakerjaan untuk mendapatkan pekerjaan, upah, serta posisi kepemimpinan yang setara dengan laki – laki. Dampak lainnya, terdapat diskriminasi perempuan yang merenggut kebebasan serta hak-hak perempuan.
Langkah yang diambil oleh Indonesia dalam rangka memerangi budaya patriarki ini salah satunya seperti turut aktif dalam forum ASEAN Women Leader Summit. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyatakan bahwa dengan turut andilnya Indonesia dalam forum itu, akan mendorong pola pikir masyarakat serta terciptanya lingkungan yang kondusif bagi kesetaraan perempuan.
Ia juga menekankan bahwa kesetaraan gender bukan hanya jadi permasalahan kaum wanita, namun sudah menjadi isu bersama. Ini merupakan langkah yang diambil oleh negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia untuk mencapai kesetaraan gender.
Indonesia diwakili Menlu Retno pada pertemuan ASEAN Women Leader Summit, dalam rangka KTT- ASEAN ke-37 yang digelar secara virtual tahun 2020. Hal ini membuktikan bahwa diplomasi Indonesia, berperan aktif mengedepankan isu pemberdayaan perempuan, keamanan dan perdamaian. Indonesia juga aktif dalam menekankan peran perempuan dalam perdamaian.
Pada Mei 2020, saat Indonesia masih menjabat Presiden Dewan Keamanan PBB yang kemudian mencetuskan resolusi tentang women peacekeeper/pasukan perempuan penjaga perdamaian. Menurut Menlu Retno, ASEAN hanya memiliki waktu 4 tahun untuk dapat mewujudkan ASEAN Community Vision 2025, yaitu cita-cita masyarakat ASEAN untuk memiliki masyarakat yang inklusif.
Oleh karena itu, negara anggota ASEAN harus mendorong perkembangan yang positif di berbagai bidang, termasuk pada isu kesetaraan gender. Untuk dapat mendorong kemajuan kesetaraan gender ini diperlukan perubahan mindset/cara berpikir melalui pendidikan.
Dengan ASEAN Women Leaders Summit ini diharapkan negara-negara anggota ASEAN mampu mendorong peran perempuan di berbagai bidang. Seperti ekonomi, politik dan lain-lain dalam negerinya. Jumlah perempuan ASEAN separo dari jumlah penduduk usia kerja, dapat memberi konstribusi yang signifikan bagi kemakmuran kawasan serta upaya untuk membangun komunitas ASEAN.(*)