.
Monday, December 16, 2024

Peran Guru di Tengah Preferensi Belajar Gen Z

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Tiba-tiba kini kelas makin terasa seperti penjara. Para peserta didik gaduh memperbincangkan dunianya sendiri dengan gadget di-scroll, yang lain sibuk menirukan gerakan dan kata kata yang sedang viral di Tiktok. Seolah mereka sedang bersepakat untuk membebaskan diri dari lingkungan yang membatasi keinginannya.

Di sisi lain guru, dengan segudang persiapan, sedang berpikir keras bagaimana rencana pembelajaran bisa dijalankan bersama peserta didik. Guru juga ingin segera terbebas dari suasana chaos menuju kondisi ideal proses pembelajaran sebenarnya.

Mendemonstrasikan otoritas keilmuan, mengendalikan lingkungan untuk mencapai tujuan pembelajaran mungkin masih bisa dilakukan. Tetapi menundukkan aspirasi peserta didik bukan tindakan yang diharapkan dalam konteks merdeka belajar. Praktik praktik mendidik yang dahulu dimuliakan kini justru dianggap mal praktik bagi anak-anak.

Gambaran sederhana ini bukan sekadar peristiwa di tingkat mikro melainkan sudah menjadi fenomena umum bahkan fakta sosial dalam istilah sosiologi. Yaitu peristiwa yang sering terjadi di banyak kelas, sekolah, di berbagai tempat di belahan dunia dan akhirnya bersifat memaksa atau coersive dalam konsepsi Durkheim.

Tekananyang mendorong pengambil kebijakan untuk merumuskan Kurikulum Merdeka beserta turunannya termasuk proses pembelajaran yang semestinya diadopsi para guru, pembelajaran berdiferensiasi. Pemberlakuan pembelajaran berdiferensiasi telah diinsyafi oleh para ahli dan praktisi pendidikan sebagai cara yang tidak bisa dihindarkan.

Guru, baik di lingkungan belajar yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka atau belum, tetap perlu memahamkan diri dengan proses belajar ini. Alasannya sederhana, mereka menghadapi generasi yang menuntut perlakuan lebih ramah terhadap perbedaan.

Pembelajaran berdiferensiasi hakikatnya adalah pembelajaran yang memandang bahwa peserta didik itu berbeda dan dinamis. Guru perlu secara terus menerus mencari tahu tentang kesiapan, minat, dan preferensi belajar peserta didik serta membangun proses belajar berdasarkan perbedaan individual.

Pengabaian perbedaan individu peserta didik menunjukkan ketidaksiapan guru memposisikan diri dalam perubahan. Hal ini menunjukkan keberpihakan guru yang masih konservatif dengan menempatkan dirinya sebagai pusat dalam kegiatan belajar di kelas. Misalnya mendominasi perbincangan kelas, menentukan konten belajar yang kaku, dan menyeragamkan produk belajar peserta didik.

Pembelajaran berdiferensiasi mengandaikan peserta didik benar-benar sebagai manusia dewasa yang sudah siap mendemostrasikan preferensi belajarnya baik isi, proses, produk dan lingkungan belajar. Maka melepaskan ‘kendali pembelajaran’ kepada para peserta didik adalah keniscayaan untuk mewujudkan pembelajaran profesional, efisien dan efektif.

Kenyataannya, perilaku peserta didik saat ini sering kali mengkhawatirkan para guru. Banyak riset psikologi membuktikan bahwa media sosial, dimana peserta didik lebih banyak menghabiskan waktunya, telah meningkatkan faktor-faktor penyebab depresi dan kecemasan.

Game online mengharuskan mereka untuk lebih cepat, lebih terampil dan mendapat performa virtual yang tinggi. Akun medsos memaksa mereka tampil menarik, unik dan viral. Maka sarkasme, perilaku masa bodoh, ‘mager’ (malas gerak) menjadi ekspresi yang sering kita dapati di berbagai kesempatan bahkan di dalam kelas.

Mengadapi situasi seperti ini perlu lebih dari sekadar pendekatan peraturan. Hukuman pada akhirnya justru menjauhkan peserta didik dari aktivitas belajarnya. Pendekatan ini bisa melahirkan stigma negatif dan kontraproduktif bagi keterlibatan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran.

Sosiolog Willian Strauss dan Neil Howe dalam Teori Generasimungkin bisa memberi pintu masuk kepada para guru untuk menyegarkan kembali konstruksi pedagogisnya. Membangun alasan mendasar bagi orientasi peran guru di tengah perubahan perilaku generasi. Mengacu teori ini bisa dikatakan bawah peserta didik kita di semua sekolah telah didominasi oleh Generasi Z (Gen Z) yang lahir di atas tahun 2000. Karakter generasi ini begitu ekstrim dan berdampak luar biasa dalam budaya konsumsi.

Mardigu Wowiek dalam Disruption 2030 di kanal Youtubenya bahkan menyebut sebagai ‘generasi pembunuh.’ Mereka telah berhasil mematikan banyak model bisnis sekaligus menggantinya dengan model yang ramah terhadap gaya hidup generasi internet. Sebut saja bisnis pertokoan yang dihabisi oleh menjamurnya onlineshop.

Kebijakan pendidikan dimana kurikulum bisa dikatakan produk kebijakan yang dikonsumsi generasi sekarang tentu juga demikian. Konsekuensinya peran guru juga perlu disesuaikan dengan gaya belajar Gen Z. Salah satu ciri Kurikulum Merdeka adalah fleksibilitas guru untuk melakukan pembelajaran terdeferensiasi sesuai kemampuan peserta didik. Memfasilitasi peserta didik dengan konten, proses, dan produk hasil belajar yang beragam. Tentu saja ragam ini bersumber pada apa yang disebut preferensi atau pilihan-pilihan peserta didik.

Oleh karena itu perlu bagi guru berdamai dengan gaya belajar peserta didik hari ini. Misalnya dengan literasi konten konten yang mengulas gaya belajar Gen Z. Beberapa hal yang perlu penulis konstekstualisasi di antaranya; Pertama, Gen Z menyukai proses belajar eksperimen dan praktik. Bahkan materi konseptual sekalipun perlu praktik kolaboratif dan kreatif.

Generasi yang mesra dengan gadget mungkin lebih antusias diajak membuat peta konsep, diagram, foto, video berbasis aplikasi android ketimbang alat tulis. Pelibatan teknologi dalam konten, proses dan produk belajar akan semakin meningkatkan peran guru. Karena menangkap dinamika interaksi dalam kelas, menetapkan kejelasan standar dalam proses belajar di kelas berbeda, tidak bisa digantikan oleh teknologi apapun.

Kedua, Gen Z menuntut topik dan tujuan pembelajaran secara jelas. Bersama peserta didik membangun alasan-alasan rasional dan kritis mengapa kita mempelajari suatu topik pembelajaran. Manfaat apa yang akan diperoleh peserta didik dalam jangka panjang dan sebisa mungkin mengeksplorasi kepentingan jangka pendeknya.

Gen Z yang experience seeker tidak mengejar nilai dalam arti angka melainkan pengalaman apa yang mereka dapatkan dalam proses pembelajaran. Apakah ini menjadi pintu masuk pairing project guru dan peserta didik di media sosial pada akhirnya?. Menambatkan diri pada selera pembelajar audio visual seperti mereka bisa saja mengarahkan kita pada pengembangan konten-konten edukasi bersama peserta didik.

Ketiga, Gen Z membutuhkan tutor sebagai sahabat yang mampu berdialog secara personal dan jauh dari kesan menakutkan. Humor di kelas belum tentu menghibur peserta didik yang memahami brand gurunya sebagai ‘polisi’ di sekolah dan masyarakat.

Lantas bagaimana menghadapi kenakalan peserta didik pada level yang sulit ditolerasi peraturan sekolah? Mungkin sudah saatnya partisipasi masyarakat pada peningkatan mutu pendidikan menemukan relevansinya. Misalnya Komite Sekolah menginisiasi petugas tata tertib khusus agar guru bisa terhindar dari kesan garang.

Masih banyak yang perlu direaksi dari gaya belajar Gen Z. Ulasan ini boleh dipahami sebagai ajakan kepada sesama pendidik agar lebih sering berbagi pengalaman berdialog dengan preferensi peserta didik. Mungkin dengan jalan demikian, guru semakin mantap menjalani perannya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img