Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si
MALANG POSCO MEDIA – Di era global, perubahan disruptif tidak bisa terhindarkan, yakni perubahan iklim, revolusi industri 4.0 dan 5.0, pandemi Covid-19, konflik Rusia-Ukraina dan pola hidup masyarakat yang semakin konsumtif dan instan.
Perubahan disruptif tersebut telah membawa pada kehidupan yang penuh ketidakpastian sehingga memerlukan cara berpikir baru, cara belajar baru, dan cara bekerja baru. Bagaimana Islam mengajarkan kepada manusia untuk menghadapi dinamika perubahan seperti itu?
Allah SWT berfirman dalam QS. 13:11, yang artinya; “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Menurut Tafsir Al-Misbah, ayat tersebut berbicara tentang perubahan apapun, bisa dari baik menjadi lebih baik, nikmat menjadi laknat, positif menjadi negatif, dan sebaliknya dari negatif menjadi positif.
Atas ayat tersebut, Tafsir Al-Misbah menjelaskan lebih lanjut. Pertama, ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan individu. Meskipun inisiatif perubahan bisa berasal dari individu yang berdampak secara sosial kemasyarakatan. Kedua, penggunaan kata qaum menunjukkan bahwa hukum sosial ini berlaku universal tidak peduli suku, adat, ras, golongan dan agama di manapun dan kapan pun mereka berada.
Ketiga, perubahan yang dilakukan Allah bermula dari perubahan yang dilakukan manusia. Manusia memiliki nilai, tekad dan kemauan keras, dan kemampuan yang menghasilkan aktivitas yang berdampak secara sosial.
Terhadap perubahan tersebut, setidaknya ada empat pilihan peran kita, yaitu (a) pemimpin perubahan, kreatif dan inovatif, (b) pengikut perubahan dus mengikuti arus saja, (c) penonton perubahan, apatis dan bersorak-sorak bila ada yang unik, dan (d) penentang perubahan, selalu di zona nyaman, negatif tinking, statis tidak dinamis.
Bila menginginkan kemajuan dalam kendali, maka tidak ada pilihan lain kecuali menjadi pemimpin perubahan karena ini adaptif, responsif dan menyukai kemajuan. Rasulullah SAW dan seluruh Nabi telah memberi contoh menjadi pemimpin perubahan karena diturunkan ke dalam masyarakat yang plural, multikultur dan masyarakat bermasalah untuk melakukan perubahan.
Namun demikian pemimpin perubahan bukanlah sebuah posisi, melainkan berorientasi kemajuan, memiliki mentalitas keteladanan untuk selalu berinovasi yang berdampak positif pada terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial bersifat multi skala, yaitu mikro, meso, dan makro. Karena itu semua orang bisa menjadi pemimpin perubahan pada tingkatan dan skala masing-masing. Perubahan bisa dilakukan pada tingkatan keluarga, kelompok, organisasi, masyarakat, baik pada tingkat lokal maupun global.
Lalu, apa saja yang diperlukan untuk menjalankan misi perubahan sosial, yang bisa menjadi kerangka etik untuk perubahan sosial. Yakni komitmen dan tekad kuat (will power), yang oleh Ibnu Taimiyah sebagai iradah yang merupakan pendorong aktivitas manusia. Iradah yang disertai kemampuan baik akan menghasilkan aktivitas yang baik pula.
Tentu aktivitas yang baik adalah yang menghasilkan karya baik yang berdampak pada perubahan sehingga menjadi sebuah legacy. Firman Allah SWT dalam QS. 36: 12 “Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa Allah akan mencatat semua amal perbuatan yang telah mereka kerjakan dan jejak-jejak mereka yang dijadikan teladan setelah mereka tiada. Keteladanan merupakan kata kunci bahwa karya kita dijaga, diteruskan, dan dikembangkan lebih jauh sehingga manfaat dari karya kita memberikan multiplier effect yang besar pada kemaslahatan.
Bila semua orang berkomitmen meninggalkan legacy berupa karya yang berkualitas dan bermanfaat maka akan membawa perubahan. Amal jariyah dan ilmu bermanfaat adalah representasi legacy yang tangible dan intangible yang bisa membawa perubahan sebagaimana sabda Nabi: “Apabila anak Adam meninggal maka amalannya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR Muslim).
Jadi, komitmen untuk selalu membuat legacy sejalan dengan hadits Nabi, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat untuk orang lain.” Legacy adalah manfaat yang berdampak ke umat dan publik. Oleh karena itu membawa manfaat harus dimaknai sebagai legacy yang berdampak pada perubahan masyarakat ke arah lebih baik. Dengan demikian, membawa manfaat tidaklah sekadar membawa manfaat biasa, namun harus membawa manfaat yang impactful, berdimensi luas, berjangka panjang, serta sustainable.
Dapat kita lihat tokoh-tokoh nasional yang telah menghasilkan legacy dan itu diingat dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. Misalnya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dengan revolusi jihadnya untuk mempertahankan kemerdekaan dengan semboyan hubbul wathon mina al iman, Soekarno-Moh. Hatta sebagai Bapak pejuang kemerdekan Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak pendidikan nasional, Bung Tomo sebagai anak muda yang membakar semangat juang para pemuda dan masyarakat untuk mempertahankan dan meraih kemerdekaan, Ibu Kartini sebagai wanita yang memperjuangkan hak-hak wanita, dan masih banyak lagi.
Mentalitas Pencipta
Di tengah kompetisi global seperti sekarang ini maka monumen yang baik adalah yang antisipatif terhadap masa depan. Karena itulah kita harus hadir dengan karya-karya baru yang bersifat future practice. Orientasi pada kebaruan dan future practice inilah yang membuat kita punya mentalitas sebagai pencipta, pembaharu dan selalu suka yang bersifat out of the box, tidak suka di zona nyaman selalu, bahkan ingin selalu mencoba hal-hal baru.
Wujud kongkrit dari ciri kita sebagai pencipta adalah hadirnya inovasi-inovasi, baik inovasi teknologi maupun inovasi sosial. Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara menjadi maju secara ekonomi bila memiliki skor Global Innovation Index yang tinggi. Artinya masyarakat di negara maju memiliki mentalitas sebagai pencipta yang berorientasi future practice. Bangsa Indonesia akan semakin maju bila masyarakat kita juga punya mentalitas pencipta.
Mentalitas pencipta ini adalah merupakan internalisasi dari salah satu sifat Allah SWT dalam Asmaul Husna, yaitu Al-Badii.’ Menurut Syafii Antonio, al Khalik dan al Badi’ sama-sama berarti pencipta. Al Khalik adalah pencipta atas ciptaan yang sudah ada, sementara al-Badi’ adalah pencipta untuk ciptaan baru. Internalisasi atas sifat Allah SWT ini sangat penting untuk menjadi dorongan kita menghasilkan banyak inovasi baru.(*)