.
Thursday, November 21, 2024

Pilkada Era Kreator Konten

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang

          Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sejumlah tempat didominasi oleh pemilih kelompok milenial. Kelompok milenial ini sangat dekat dengan teknologi digital dan beragam platform media sosial (medsos). Tak sedikit pasangan calon dan tim suksesnya berkampanye menyasar target kelompok milenial dengan mengoptimalkan medsos dan menggandeng para kreator konten, pemengaruh (influencer), dan para pendengung (buzzer).

          Berdasarkan Berita Acara Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 356/PL.02.1-BA/3573/2024, tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada di Malang Raya didominasi pemilih dari kalangan milenial. Di Kota Malang kalangan milenial (usia 28-43 tahun) jumlah pemilih sebanyak 214.477 orang. Sementara di Kabupaten Malang, DPT milenial juga tertinggi yakni sebanyak 643.806 pemilih. Sedangkan DPT untuk Kota Batu dari kalangan milenial juga paling banyak, sebesar 57.747 pemilih (Malang Posco Media, 04/10/2024).

          Memahami ciri dan karakteristik generasi milenial menjadi penting. Para milenial punya cara pandang (mindset) terkait Pilkada yang berbeda dengan generasi yang lain. Media digital lebih dominan digunakan milenial dalam mengakses informasi. Tokoh panutan kelompok ini adalah para figur publik dan selebritas media digital. Opini publik yang berkembang di kalangan milenial banyak dikendalikan oleh para kreator konten, influencer, dan buzzer.

Disrupsi Lanskap Komunikasi Politik

          Era digital saat ini telah mendisrupsi lanscap komunikasi politik, termasuk dalam kontestasi Pilkada. Pelaksanaan Pilkada mengalami disrupsi yang signifikan karena peran medsos dan para kreator konten yang semakin dominan. Kampanye politik tak lagi terbatas pada metode konvensional seperti debat publik, poster, dan pertemuan fisik. Para paslon dan tim sukses kini berlomba menggunakan platform medsos untuk menjangkau pemilih.

          Para kreator konten, baik yang mendukung secara terbuka maupun bekerja di balik layar, memainkan peran penting dalam membangun citra kandidat. Tak sedikit kreator konten dibayar paslon tertentu untuk menyampaikan pesan politik dan membuatnya lebih menghibur serta mudah diakses oleh pemilih. Kampanye lewat video singkat di TikTok misalnya, telah  digunakan untuk memudahkan penyampaian pesan secara cepat dan menarik.

          Tak jarang lewat para kreator konten itu menciptakan meme atau konten viral yang secara tidak langsung mendukung kandidat tertentu. Konten seperti ini cukup efektif dalam membangun narasi politik yang mudah diterima masyarakat luas. Sejumlah kreator konten juga dibayar untuk membentuk narasi personal branding para paslon. Alih-alih hanya berfokus pada platform politik, mereka juga memperlihatkan kehidupan pribadi, hobi, dan hal-hal yang menunjukkan sisi manusiawi sang paslon.

          Fenomena dalam politisi lebih sering menggunakan jasa kreator konten, influencer, dan buzzer ketimbang media massa konvensional dan jurnalis adalah karena perubahan signifikan lanscap komunikasi politik di era digital. Melalui peran para kreator konten, influencer, dan buzzer pesan politik tanpa harus melewati filter dan proses editorial seperti dalam media massa tradisional. Ini memberikan keuntungan bagi politisi untuk mengendalikan pesan dan citra mereka tanpa harus khawatir tentang bias atau kritik dari jurnalis yang independen.

Minim Kritik

          Dalam fungsi idealnya, media massa arus utama (mainstream media) punya peran yang signifikan. Dalam kontestasi Pilkada misalnya, media massa harus bisa menjadi anjing penjaga (watchdog). Media massa dan jurnalis menjalankan peran pengawasan dan kritik. Sementara para kreator konten, influencer, dan buzzer biasanya cenderung lebih friendly atau bahkan partisan, sehingga politisi merasa lebih aman dalam menggunakan jasa mereka untuk menyampaikan pesan.

          Tidak seperti media massa yang tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), para kreator konten, influencer, dan buzzer tidak selalu memverifikasi informasi yang mereka bagikan. Hal ini berpotensi dapat memicu penyebaran disinformasi atau hoaks. Tak jarang kreator konten yang partisan dan dengan mudah menyebarkan informasi yang salah atau bias, mempengaruhi persepsi publik. Selain itu, polarisasi sering kali diperparah oleh algoritma yang cenderung menampilkan konten sesuai dengan preferensi audiens dan memperkuat efek gema (echo chamber).

          Kreator konten, buzzer, dan influencer sering kali beroperasi di dalamecho chamber, di mana audiens hanya mendapatkan informasi yang mendukung keyakinan mereka. Hal ini memperkuat polarisasi politik, tetapi juga menjadi alat yang efektif bagi politisi untuk mengonsolidasi dukungan di kalangan basis pendukung mereka tanpa harus menghadapi tantangan dari sudut pandang alternatif yang biasanya disajikan oleh media massa arus utama.

          Media massa dan jurnalis memiliki tugas untuk menjalankan fungsi sebagai kontrol sosial, yaitu mengkritisi kebijakan atau langkah-langkah yang diambil oleh para politisi. Dengan menggunakan kreator konten, influencer, dan buzzer, politisi dapat menghindari bentuk pengawasan yang ketat dan lebih bebas menyampaikan pesan politik mereka tanpa menghadapi pertanyaan kritis atau investigasi mendalam dari para jurnalis.

          Pilkada di era kreator konten mengubah dinamika komunikasi politik menjadi lebih menarik, visual, dan interaktif. Kreator konten memainkan peran krusial dalam membangun citra kandidat, menyebarkan pesan politik, dan mengendalikan opini, khususnya dari kalangan milenial. Namun, penggunaan kreator konten juga membawa permasalahan terutama minimnya kritik seperti yang biasa dilakukan oleh media massa dan para jurnalis. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img