spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Pilkada Era Politik Simulakra

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang

          Mencari sosok pemimpin dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) sungguh tak mudah. Apalagi di era politik simulakra saat ini di mana kepalsuan menyerupai yang asli. Realitas semu dan palsu sangat meyakinkan sebagai realitas nyata. Tak jarang masyarakat sulit memilah antara realitas dan pencitraan. Kontestasi pilkada dalam politik simulakra semakin menguatkan kontestasi mencari pemimpin serupa beli kucing dalam karung. 

          Sejak kali pertama pemilu presiden digelar langsung pada pemilu 2004, rakyat mempunyai kesempatan one man one vote. Sistem ini melahirkan sosok-sosok kontestan politik menempuh segala cara guna merebut hati calon pemilih. Situasi ini menyuburkan praktik politik pencitraan yang kuat. Popularitas jadi modal penting untuk menang. Jadilah sosok yang dipilih rakyat lebih pada citra diri sang kandidat, bukan ideologi, visi, dan misinya.

          Jadilah setiap kontestasi politik, pilkada misalnya, yang muncul adalah jor-joran tebar pesona. Memoles diri lewat baliho, iklan di media massa, dan aneka konten manipulatif di media sosial yang dikreasikan oleh tim sukses kandidat. Para kandidat itu tebar pesona demi simpati dan dukungan suara. Karena memang pemenang pemilu hanya ditentukan oleh yang paling banyak mendulang suara.

          Siapapun yang mampu meraih suara signifikan dipastikan jadi pemimpin. Apapun caranya untuk meraih suara itu. Dalam situasi ini, industri pencitraan tumbuh subur. Konsultan dan lembaga survei politik bermunculan menjual jasa guna memoles citra diri sang politisi. Cara-cara seperti ini sudah berlangsung dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada berikutnya. Semua sejatinya tahu kondisi ini, tetapi semua justru menikmatinya.

Politk Simulakra

          Politik simulakra adalah konsep yang berasal dari teori simulakra dan simulasi yang dikembangkan oleh filsuf Prancis, Jean Baudrillard. Simulakra adalah representasi atau imitasi dari suatu hal atau konsep yang tak lagi memiliki hubungan langsung dengan realitas aslinya.

          Dalam konteks politik, politik simulakra mengacu pada situasi di mana tindakan, retorika, dan simbol-simbol politik lebih menekankan pada penciptaan citra dan representasi yang tampak nyata, namun sebenarnya tidak memiliki substansi atau hubungan dengan kenyataan.

          Praktik politik simulakra bisa terlihat dari realitas yang diciptakan sang politisi secara artifisial melalui simbol, gambar, dan representasi yang memanipulasi persepsi publik. Perang simbol lewat baliho politik dalam kontestasi pilkada yang bertebaran di pinggir jalan misalnya. Tak jarang isi baliho hanya tebar pesona dan umbar janji-janji politik yang tak realistis. Realitas yang diusung dalam visual baliho tak lebih hanya sebuah realitas semu yang jauh dari kenyataan.

          Dalam politik simulakra terjadi kekaburan antara batas yang nyata dan yang tak nyata. Pada situasi ini akan sulit dibedakan mana yang benar-benar realitas nyata dengan mana yang hanya sebuah konstruksi atas realitas. Fokus pada pencitraan dan representasi mengorbankan substansi dan kebijakan yang seharusnya menjadi fokus utama dalam politik. Realitas semu (pseudo reality) inilah yang tak jarang menipu. Jadilah tak sedikit orang akhirnya tertipu dan salah pilih pemimpin.

          Contoh nyata dari politik simulakra bisa dilihat dalam perang baliho politik pilkada yang sedang ramai saat ini. Aneka baliho itu lebih menekankan pada citra kandidat, penggunaan slogan-slogan yang kuat namun hampa makna, dan manipulasi informasi untuk menciptakan kesan tertentu di mata publik. Baliho politik tak lebih hanya ajang bagi sang politisi untuk memoles diri, menampilkan citra diri yang justru bertolak belakang dari kenyataan yang sesungguhnya.

Dampak Buruk

          Praktik politik simulakra memiliki sejumlah dampak buruk yang signifikan terhadap masyarakat dan sistem politik. Saat publik menyadari bahwa banyak tindakan dan pernyataan politik hanya merupakan citra tanpa substansi, kepercayaan pada politisi dan institusi politik bisa menurun. Ini bisa berdampak buruk pada sikap apatisme politik dan rendahnya partisipasi dalam proses demokratis.

          Politik simulakra seringkali melibatkan manipulasi informasi dan penyebaran misinformasi atau disinformasi. Hal ini berpotensi membuat publik kesulitan membedakan antara fakta dan fiksi, yang pada akhirnya merusak proses pengambilan keputusan yang berdasarkan informasi yang akurat. Politik simulakra dapat mengalihkan perhatian publik dari isu-isu penting dan mendesak yang memerlukan tindakan nyata. Ini memungkinkan banyak masalah-masalah penting yang tetap tidak terselesaikan.

          Dalam konteks pilkada, politik simulakra dapat mengakibatkan masyarakat pemilih membuat keputusan berdasarkan citra dan impresi yang dibentuk oleh kampanye, daripada penilaian yang mendalam tentang kapasitas, program, dan integritas sang kandidat. Hal ini berdampak buruk pada pemilihan pemimpin yang kurang kompeten atau tidak memiliki komitmen nyata untuk memajukan daerah yang dipimpinnya.

          Kata-kata bijak bahwa seorang pemimpin harus ing ngarsa sun tulada, ing madya mbangun karsa, dan tut wuri handayani itu ternyata hanyalah omon-omon belaka. Agar masyarakat tak salah dalam mencari kepala daerah, diperlukan beberapa upaya untuk memastikan bahwa pemilihan didasarkan pada informasi yang akurat dan pertimbangan yang matang.

          Masyarakat perlu kritis pada kampanye politik yang terlalu fokus pada pencitraan daripada substansi. Masyarakat perlu mengevaluasi program kerja dan visi kandidat daripada sekadar penampilan dan retorika mereka.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img