Setelah pilpres dan pileg usai, hajatan politik bangsa ini belum berakhir. Kini bangsa Indonesia diramaikan hajatan pilkada serentak. Kemungkinan besar, warga akan menunaikan hajatan ini di 27 November 2024. Sama dengan rata-rata kota/ kabupaten lain, Kota Batu akan menyelenggarakan pemilihan walikota-wakil walikota. Tujuan perhelatan ini merebut atau mempertahankan kekuasaan pada pengambilan kebijakan. Waktu tersisa tidak disia-siakan, semua kekuatan politik menyuarakan isu-isu yang akan mendulang simpati publik.
Ada yang lebih penting dari gerak politik di atas, seharusnya kita mengevaluasi bersama, apa sejatinya “substansi” dari hajatan ini? Bagaimana efek, perhelatan ini bagi warga secara keseluruhan. Sebaiknya pilkada merupakan gawe politik yang mengantarkan pada kesejahteraan.
Pilkada bukan rutinitas tidak bertujuan atau sekadar bagi-bagi uang yang tidak tulus dari elit politik. Selain itu, pilkada juga merupakan momen reorientasi perkembangan kota yang berkomitmen memperbaiki kota sesuai cita-cita ideal.
Kembali ke Identitas Kota
Sekalipun hari ini kita menikmati gemerlap di tengah kota di alun-alun kota atau sepanjang Jalan Diponegoro, sebenarnya karakter asli Batu yaitu kota pertanian, maka pengelolaan kota ini benar-benar mengangkat kesejahteraan petani, bukan pertanian organik yang sekadar branding.
Beragam jenis pariwisata, mulai wisata alam sampai ke wisata buatan juga marak di kota ini. RPD Kota Batu 2023-2025 menyatakan bahwa kebijakan pemerintah selalu mendorong investor dan pelaku ekonomi UMKM untuk berpartisipasi dalam membangun Kota Batu sebagai Kota Wisata. Sayangnya kebijakan ini tidak mengakhiri dualisme ekonomi wisata berbasis kapital besar dengan wisata komunitas. Selain itu, sudah sekitar 20 tahun wajah metropolis semakin menjauhkan watak asli. Bahkan, tata kelola kota ini sulit dikendalikan.
Seiring kurang bisa diandalkankannya pertanian, rata-rata warga menekuni wisata desa. Diskusi penulis dengan pelaku wisata di Desa Bulukerto menyatakan bahwa pekerjaan petani sudah tidak terlalu disukai, tetapi kelembagaan wisata komunitas belum bisa diandalkan. Kemudian, semakin tinggi harga tanah akibat wisata menyebabkan tidak mudah akses warga yang berpenghasilan rendah.
Daya dukung lingkungan sangat ditentukan keberlanjutan baik kota pertanian maupun wisata, maka risiko bencana harus diperhatikan. Kita menyaksikan “langganan” banjir Sungai Paron Desa Bumiaji dimana kejadian ini tidak terjadi lima tahun lalu. Jika tidak diwaspadai, bukan tidak mungkin banjir bandang, 4 November 2021 terjadi lagi.
Pesan untuk Kepala Daerah
Pelajaran selama ini, pembangunan masih menyisakan banyak permasalahan. Padahal wilayah kota ini hanya terdiri dari tiga kecamatan, sejatinya ia tidak sulit, namun mengapa pengelolaan masih kurang maksimal? Berangkat dari hal tesebut, pilkada seharusnya sebagai momen untuk meningkatkan kualitas kota. Untuk itu langkah-langkah berikut diperhatikan,
Pertama, Kembali ke Sasanti. Sasanti dimana hakekatnya adalah sebuah visi atau “pemikiran jauh ke depan” (provethic). Semangat para pendiri kota terangkum dalam sasanti kota Hakaryo Guno Mamayu Bawono. Hakaryo berarti bekerja, berkarya, bersikap, integritas. Guno artinya bermanfaat, bersama dan kreatif.
Mamayu artinya menjaga, melindungi, kesadaran hidup, kebersamaan dalam keberadaan. Sedangkan Bawono artinya sistem makro keteraturan wilayah, ekosistem, ekobudaya yang menjadi fokus ideologi masyarakat dan pemerintah dalam penataan sistem dan strategi bermuatan lokal. Sasanti seharusnya dijadikan titik pijak dan pemandu langkah penyelenggara pemerintahan demi aspirasi dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, Memerhatikan Kondisi Keruangan. Kondisi alamiah pegunungan, sungai, sumber air dan perkebunan yang masih kental harus dilestarikan. Pemanfaatan bisnis diperbolehkan, namun konservasi jauh diperhatikan. Jangan sampai tanah produktif disulap menjadi kafe. Bahkan keperpihakan ekologis harus di atas rata-rata kota lain. Kebijakan ini untuk mengantisipasi sistem kota yang semrawut, rentan bencana dan tidak lagi nyaman sebagai hunian.
Ketiga, Kembali ke Budaya Lokal. Sekalipun menyandang sebagai warga kota, tetapi nilai-nilai local warga masih kental. Lembaga sosial seperti sanjan, jagongan dan guyub bisa kita temui di lapangan. Institusi sosial ini mulai terancam oleh kapitalisme kota dan intervensi material kebijakan. Glamor mall dan kafe menggoda, sedangkan intervensi material kebijakan berupa dana desa yang mulai menumpulkan keswadayaan.
Keempat, Perbaikan Tata Kelola. Selama ini tata kelola menjadi masalah karena perkembangan kota belum sepenuhnya sesuai cita-cita ideal. Aktor-aktor tidak sanggup mengendalikan perkembangan kota, pariwisata menjelma sebagai industri agresif. Desa wisata yang dicanangkan sebagai penyeimbang (balance) terlihat tidak bisa mengimbangi perkembangan pariwisata berbasis kapital.
Tata kelola tidak berhasil mengendalikan perizinan pariwisata. Sederhana saja, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyaratkan adanya Rencana Induk Pengembangan Pariwisata, tetapi sampai sekarang kota ini belum memiliki dokumen tersebut. Kemungkinan besar “darurat” sampah sebagai salah satu efek dari pariwisata cenderung liberal.
Akhirnya kita berharap adanya komitmen bersama aktor perencana dan pelaksana kebijakan kota. Memang penumbuhan komitmen ini bukan persoalan mudah, perlu penegakan aturan tegas, penyadaran, bahkan jika dibutuhkan paksaan kebijakan.(*)