.
Sunday, December 15, 2024

Polemik Minyak Goreng dan Stagnasi Hukum

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Polemik minyak goreng di tanah air belum juga kunjung usai. Justru masalah minyak goreng malah bermetamorfosis. Awalnya, masalah minyak hanya persoalan kelangkaan. Akan tetapi masalah baru justru muncul dimana harga minyak goreng tiba-tiba meroket 2x lipat.

Ini bukan soal “mending minyak goreng langka atau minyak goreng ada tapi mahal.” Akan tetapi ini soal nasib rakyat kecil yang semakin terbebani dengan kebutuhan minyak goreng dengan harga yang abnormal.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pemerintah serius menghadapi masalah ini? Sebenarnya Pemerintah melalui Kemendag telah mengeluarkan kebijakan regulasi yang cukup banyak. Kita masih mengingat saat Pemerintah mencoba mengatasi masalah kelangkaan dengan memberlakukan DMO agar pengusaha sawit menjual 30 persen hasilnya ke dalam negeri.

Namun kebijakan tersebut tidak ada efek sama sekali malah justru antrean panjang di lapangan yang dipertontonkan oleh masyarakat di tanah air. Nahasnya The Economist selaku media asing dari Inggris ikut ambil bagian untuk meliput panjangnya antrean minyak goreng yang tidak masuk akal. Artinya aib negara kita soal minyak goreng bisa terbilang sudah go Internasional.

Persoalan mendasar mengenai minyak goreng memperlihatkan kepada kita bahwa terjadi fenomena anomali dengan potensi SDA negeri. Indonesia memiliki lahan sawit terbesar di dunia dengan luas 15 juta hektar. Indonesia juga mendapat predikat negara terbesar sebagai pengekspor sawit.

Tahun 2021, Indonesia memecahkan rekor dimana sawit berhasil diekspor sekitar 47 juta ton. Namun mengapa Indonesia yang perkasa dengan produksi sawit justru terbalik dengan nasib rakyatnya yang sulit memenuhi kebutuhan minyak goreng? Padahal kebutuhan sawit di Indonesia per tahun cuma sekitar 15 juta ton, tidak sampai setengah dari jumlah ekspor sawit ke luar negeri.

Berbagai kacatama akademis dapat digunakan untuk menjawab problem ini. Apabila dilihat dari kacamata hukum, ini merupakan fenoma stagnasi hukum alias keadaan yang tidak bergerak terhadap fungsi dan tujuan hukum yang dibuat oleh penguasa.

Sebagaimana Alinea ke-3 Pembukaan UUD 1945 merupakan ruh tanggung jawab negara untuk memajukan kesejahteraan umum. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjadi dasar amanat fundamental bahwa kekayaan alam yang ada di negara harusnya dimanfaat sebesar-besarnya untuk rakyat. Pasal 3 huruf E UU. No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan menjelaskan bahwa salah satu tujuan dibuatnya UU ini adalah untuk memanfaatkan hasil perkebunan bagi kebutuhan pokok di masyarakat. Akan tetapinya cantiknya narasi-narasi hukum hanya stagnan di kertas karena tidak diimbangi dengan implementasi di lapangan.

Melihat fenomena tersebut memunculkan suatu spekulasi bahwa ada mafia minyak goreng yang menerobos aturan demi kepentingan kapitalisme. Saat Mendag mengeluarkan regulasi DMO, beliau mengklaim bahwa telah terkumpul sebanyak 415 Juta liter minyak sawit yang siap didistribusikan kepada produsen minyak goreng.

Namun kebijakan ini ternyata tidak sesuai dengan harapan Pemerintah. Distribusi minyak goreng tidak berjalan dengan baik karena pasca kebijakan berlaku pasokan minyak goreng justru semakin langka.

Dari polemik di atas bisa diasumsikan bahwa ada upaya penimbunan dan pembatasan peredaran minyak goreng oleh mafia yang berakibat distribusi tidak sampai ke masyarakat. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana yang diancam penjara.

Hal ini dapat dilihat dalam pasal 19 UU. No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bahwa setiap pihak dilarang melakukan pembatasan peredaran barang yang mengakibatkan munculnya persaingan usaha tidak sehat. Selain itu di dalam UU. No. 18 Tahun 2012 jo UU. No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan juga ada amanat mengenai larangan penimbunan barang. Ancamannya pidana penjara dan denda.

Walaupun sudah ada hukum yang tersedia, tidak diimbangi oleh penegakan hukum yang efektif. Padahal Mendag sendiri berjanji pada tanggal 21 Maret 2022 akan merilis tersangka yang menjadi dalang polemik minyak goreng.

19 April 2022 Kejati menetapkan beberapa tersangka yang tidak disangka-sangka ternyata salah satunya dari pihak Kemendag sendiri. Ini menjadi paradoks karena ada pihak yang merasa ingin menjadi pahlawan minyak goreng namun penjahat itu justru ada pihak pahlawan sendiri. Padahal Kemendag sebenarnya punya PPNS yang berwenang menyidik di ranah hukum terutama untuk identifikasi oknum mafia di ranah internal sendiri.

Mundur ke belakang lagi, keanehan polemik minyak goreng lain terlihat saat kebijakan HET dicabut oleh Kemendag. Keputusan tersebut sebenarnya membuahkan hasil dalam mengatasi kelangkaan. Hal ini karena pasca dicabutnya kebijakan tersebut tiba-tiba minyak goreng berjejer rapi di setiap retail.

Akan tetapi yang jadi masalah adalah harga minyak goreng tiba-tiba naik drastis tidak pada umumnya. Walaupun pasokan minyak goreng telah ada, tapi ini bukan solusi pamungkas. Harga yang tinggi ini malahan semakin membebani rakyat kecil untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau.

Fenomena gonjang-ganjing ini telah memperlihatkan ketidakberdayaan negara karena dipermainkan oleh mafia. Demi kepentingan rakyat, negara tidak boleh menyerah. Perjuangan melawan mafia sebenarnya belum selesai. Kenaikan yang terjadi pada harga minyak goreng terdapat indikasi potensi Kartel yang dilarang oleh UU Monopoli dimana pada pasal 11 para pengusaha dilarang membuat perjanjian yang mempengaruhi harga sehingga dibebankan oleh konsumen.

Potensi tersebut bisa saja terjadi mengingat hampir semua jenis merek minyak goreng saat ini harganya cenderung sama. Ini menjadi tugas utama bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk segara bertindak karena bisa jadi kesamaan harga pada semua merek minyak goreng saat ini adalah hasil kesepakatan licik yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mencari keuntungan di atas penderitaan rakyat.

Akhirnya, kita sebagai rakyat hanya bisa berharap kepada Pemerintah dan jajaran penegak hukum agar stagnasi hukum bisa diatasi demi memutus problematika minyak goreng yang menyengsarakan rakyat. Selain itu kita juga berharap oknum mafia minyak goreng segera insyaf agar menggunakan moralnya dalam berbisnis.

Sebagaimana kata J. Fieser (2010) bahwa urgensi moral bagi pebisnis adalah sebagai pedoman menghindari perbuatan pidana maupun perdata yang mempersulit masyarakat karena dapat merugikan perusahaan itu sendiri. Larangan mempersulit masyarakat dalam ekonomi juga diatur dalam Islam sebagaimana Hadist Rasulullah SAW.

Ya Allah, barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya” (HR. Muslim).

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img