Politik itu dinamis, rumit, dan susah ditebak. Politik juga tak selalu menjunjung etika. Politik dijalankan niretika. Saling jegal dan serang jadi hal yang lumrah. Tipu dan penghianatan jadi hal biasa. Tak ada teman dan lawan yang abadi dalam politik.
Semua berjalan demi kepentingan pribadi, keluarga, kemenangan kelompok dan parpolnya. Urusan riil serius memikirkan rakyat itu urusan nanti. Yang penting saat ini punya citra merakyat. Cuma citra, karena politik pencitraan menjadi tujuannya. Kalau sudah begini, sungguh, ini politik tuna etika.
Perilaku sejumlah politisi semakin jauh dari etika. Tak jarang mereka menghalalkan segala cara. Hukum dan berbagai peraturan pun bisa diubah dan rekayasa. Semua demi kepentingan politik pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Inilah perilaku politik yang menihilkan etika, moralitas, dan martabat. Politik tuna etika telah menggejala dan mendegradasi kualitas demokrasi di Indonesia.
Aneka narasi politik saling serang dan hina pun tak terelakkan. Masing-masing kubu memroduksi narasi politik yang bikin gaduh. Politik yang seharusnya damai dan membahagiakan ternyata sulit terwujud. Praktik politik yang dipertontonkan para politisi tak bisa dijadikan sarana pendidikan politik yang baik bagi rakyat. Beragam narasi muncul lebih destruktif karena lahirnya narasi lebih didasari oleh semangat untuk mencari kelemahan lawan dan menjadikan narasi politik tersebut sebagai alat menjatuhkan lawan politik.
Bila narasi politik dibangun dengan sikap kesantunan dan menjunjung etika maka tak ada lagi narasi politik sampah. Narasi sampah hanya akan bikin ramai suasana namun tak ada nilai edukasinya. Narasi politik yang berupa adu program dan gagasan akan jauh lebih bermakna daripada sekadar narasi politik yang saling jegal dan merasa kelompoknya yang paling benar sendiri.
Tuna Etika
Banyak kalangan menyesalkan perilaku politik yang dimainkan para politisi yang jauh dari etika. Praktik politik berlangsung kasar. Ini seperti perilaku di negeri bar-bar yang mengedepankan okol ketimbang akal. Otot lebih mendominasi ketimbang otak. Narasi politik dengan saling olok dan serang hampir setiap hari muncul di pemberitaan media. Politik tak lagi menyejukkan dan menimbulkan kedamaian karena perilaku politik tak menjunjung etika (tuna etika).
Dalam pemahaman sederhana, politik bisa diartikan sebagai segala cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan. Berbagai cara yang dimaksud dalam praktiknya dimungkinkan dijalankan dengan cara-cara kasar, jauh dari kesantunan. Kalau cara-cara hitam yang ternyata banyak muncul itu artinya praktik politik dalam kualitas yang rendah. Praktik politik rendah ini berkorelasi pada kualitas demokrasi yang rendah pula.
Hanya melalui praktik politik beretika yang akan mengangkat politik menjadi berkualitas elegan, berwibawa, dan santun. Sementara praktik politik tuna etika hanya akan membuat masyarakat muak dengan politik. Ujung-ujungnya masyarakat akan tidak tertarik bahkan apatis pada politik. Sikap apolitis masyarakat tentu tak dikehendaki dalam menumbuhkan kehidupan berdemokrasi yang ideal.
Para politisi idealnya menunjukkan cara berpolitik yang baik agar masyarakat mendapatkan pendidikan politik yang baik pula. Praktik politik tuna etika hanya bisa diubah oleh perilaku politik yang mampu memberi keteladanan melalui praktik politik yang beretika. Negeri ini kekurangan politisi yang bisa jadi panutan yang mampu memberi contoh dan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat.
Pada momentum tahun politik saat ini hendaknya semua pihak bisa menciptakan narasi politik yang lebih substantif. Hindari memroduksi narasi politik yang bersifat menyindir kelompok tertentu dan bisa berujung dengan seteru. Beragam persoalan bangsa perlu penanganan serius dan rakyat menunggu berbagai ide dan gagasan dari para kandidat bagaimana konsep menyelesaikan permasalahan bangsa ke depan.
Para tim sukses dan sang kandidat hendaknya lebih bijak dalam membuat narasi politik. Narasi politik yang tak etis justru akan jadi amunisi lawan untuk menyerang balik. Narasi politik yang santun dan beretika akan menciptakan sikap simpati masyarakat. Narasi politik dapat berkontribusi pada penciptaan situasi politik yang damai. Semua pihak harus mewujudkan cara berpolitik yang santun dan beretika.
Permainan Citra
Saat ini masyarakat (publik) lebih dipandang sebagai pasar (public as a market) sedangkan aktor politik ditempatkan sebagai produk (politician as a product). Layaknya sebuah produk pabrik, maka ia harus dikemas menarik karena kemasan (packaging) bisa menjadi faktor dominan dalam mendulang sukses penjualan. Demikian halnya dengan politik, para kontestan harus dikemas sedemikian rupa agar menarik minat khalayak untuk memilih.
Dalam upaya pencitraan ini, tak jarang segala cara dilakukan. Sering terjadi ketimpangan yang kentara antara kenyataan (realitas) yang dicitrakan dengan realitas yang sebenarnya. Yang sering muncul justru realitas yang bukan sesungguhnya bahkan cenderung realitas yang berlebihan. Yasraf Amir Pilliang menyebutnya sebagai realitas hiper (hyperreality).
Politik permainan citra ini semakin dipermudah dan diuntungkan dengan munculnya media sosial (medsos). Melalui media yang popularitasnya sangat tinggi ini dijadikan ajang tebar pesona. Citra dikelola sedemikian rupa agar tumbuh kesan simpatik, merakyat, peduli wong cilik, membela yang papa, pro rakyat, cinta yang muda, peduli kota, care pada kemacetan, banjir, kemiskinan, kesempatan kerja, kesehatan, pendidikan, dan sejumlah masalah pelik lainnya.
Dalam urusan mengelola citra, medsos memang punya banyak keunggulan. Lewat beragam platform medsos seperti Instagram, Twitter, Facebook, YouTube, TikTok, WhatsApp, dan Website memang perkasa dalam menyulap kesan. Lewat tampilan berbagai wujud teks berupa foto, video, audio, grafis, animasi, meme, kata-kata, dan karikatur, citra tertentu bisa dititipkan.
Melalui olah visual lewat sudut pengambilan gambar (angle) tertentu dan olah foto lewat beragam software fotografi, wajah yang biasa bisa tampil luar biasa. Raut muka yang aslinya sulit tersenyum bisa tampak sumeh. Foto dipasangi kopyah, jilbab, foto didesain dengan background tokoh-tokoh besar negeri ini, dan foto ditempel di tengah kerumunan rakyat jelata, sering menjadi andalan sang kandidat dalam upaya tebar pesona.
Gun Gun Heryanto (2010) menyebut bahwa inilah era komunikasi politik dalam industri citra. Industri citra adalah industri di bidang komunikasi yang fokus urusannya terkait dengan citra. Sebut saja industri media massa, konsultan komunikasi, agen publisitas, industri advertising dan lain-lain. Komunikasi politik di era industri citra memang sangat dinamis dalam hal pengemasan personal maupun organisasional.
Bila perilaku politik lebih mengedepankan pencitraan, perseteruan, dan permusuhan tentu bisa berimbas pada menurunnya partisipasi politik masyarakat. Pada kadarnya yang akut, maka tak menutup peluang masyarakat akan apatis pada politik. Sang politisi yang idealnya jadi panutan justru berperilaku tak etis. Situasi ini bisa mencederai demokrasi karena politik berjalan tuna etika.(*)