Tidak lama lagi, bangsa Indonesia memasuki tahun politik yang ditunjukkan dari hajatan politik bersamaan yakni pemilihan presiden, pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah. Perhelatan tahun ini, istimewa karena di tingkat nasional, Jokowi menjalani dua periode masa jabatan presiden yang artinya, ia tidak bisa mencalonkan diri sehingga otomatis muncul calon-calon presiden baru yang menyebabkan kompetisi politik berlangsung sangat keras.
Sementara pada level lokal, hiruk pikuk politik tidak steril dari konstelasi pihak-pihak yang bermain. Partai-partai mulai memanasi mesin politiknya. Konsolidasi dan lobi-lobi baik pihak yang telah digunakan sebelumnya maupun yang baru mulai dijajaki.
Program-program eksekutif dikritisi sebab dikhawatirkan sebagai batu sandungan jalan di 2024. “Tebar pesona” dan membuka peluang untuk kembali terpilih ditata. Kegiatan-kegiatan berbasis masyarakat/ konstituen lebih jelas pada pengejaran kemenangan dan pencapaian kekuasaan.
Uang sebagai Penentu
Suasana politis hari ini mulai terasa di semua lapisan masyarakat, beberapa subyek lapang yang penulis temui menyatakan bahwa dalam politik, uang masih sebagai penentu segala-galanya. Konstruksi politik yang dibangun masyarakat menyatakan bahwa demi memperoleh dukungan dan kekuasaan, uang merupakan penentu utama.
Di benak mereka, tidak ada pejabat publik yang menang dalam kompetisi hanya cukup mengandalkan moral dan pengetahuan. Sekalipun tokoh memiliki program-program yang ideal, tapi jika modal uang tidak dalam genggaman, tidaklah ada arti. Dalam ongkos kegiatan lapang, menggerakkan sekelompok orang dan mungkin demi capaian personal para aktivis, uang sangat dibutuhkan.
Tampaknya, pandangan politik yang dinyatakan H. Lasswell (1936) sebagai siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when, how) masih berlaku. Senada Lasswell, Bertrand de Jouvenal (1963) menyatakan bahwa politik merupakan orang yang menggerakkan orang (man moving man).
Penulis bisa memahami pandangan ini. Realitas sosiologis lapangan menyatakan bahwa idealisme hanya berlaku saat memengaruhi massa atau pemilih. Sebaliknya, saat elit menjabat, masyarakat bawah merasa tidak mendapat imbas langsung.
Bisa jadi keterbatasan anggaran (budget) negara yang tidak mungkin menyenangkan semua pihak atau memang daerah konstituen “tidak layak” dibantu, maka sebagai alat “kompromi” dan transaksi terbaik yang paling aman dan menyenangkan, uang dijadikan itu.
Namun jika kita memikirkan masa depan bangsa, kondisi ini menjadi sangat miris. Bisa dibayangkan jika semua implementasi kebijakan diukur dengan uang atau kekuasaan, program yang direncanakan pasti menjadi tidak efektif. Tidak ada lagi kompetensi dan evaluasi yang jujur karena pelaksana ditunjuk atas nama siapa pengusung pejabat politik atau “geng” politik.
Untuk itu kita harus membuka mindset masyarakat tentang politik itu. Politik juga bermakna sebagai ilmu pengetahuan dan seni pemerintahan. Ilmu pengetahuan ini terkait erat dengan bentuk, organisasi, administrasi negara atau sebagai satu bagian dengan regulasi dengan negara yang lain atau seperti yang dinyatakan Bernard Crick (2000) sebagai cara mengatur masyarakat yang terbagi-bagi dengan proses diskusi bebas tanpa praktik kekerasan.
Sekalipun definisi yang terakhir ini terkesan akademis, tetapi jika diketahui dan dipraktikkan masyarakat, maka sesungguhnya sistem politik akan semakin baik.
Politik Kemaslahatan
Selain definisi di atas, sejatinya politik juga terkait erat dengan nilai-nilai atau seperti dinyatakan oleh David Easton (1979) sebagai alokasi otoritatif atas nilai-nilai. Nilai-nilai tertentu diejawantahkan dalam otoritas yang melahirkan kebijaksanaan umum atau pemerintahan. Nilai-nilai luhur tertentu ini jelas jauh dari perilaku kotor, manipulatif dan tipu-tipu untuk mendapatkan kekuasaan.
Kemaslahatan merupakan nilai-nilai kebermanfaatan yang dibenarkan baik oleh agama maupun adat istiadat di semua masyarakat kita. Pengejaran kekuasaan memang dibutuhkan dalam politik, tetapi ia tidak lebih sebagai “instrumen” untuk memperjuangkan kebaikan bersama. Proses politik kemaslahatan benar-benar mampu melahirkan kebijakan publik dalam penanggulangan kemiskinan, konservasi dan perlindungan lingkungan dan sumber daya alam serta penanggulangan korupsi. Bahkan politik kemaslahatan telah membebaskan manusia pada penindasan manusia yang lain.
Politik kemaslahatan merupakan paradigma baru yang mendekonstruksi praktik politik hari ini. Tapi untuk mencapai kondisi ini bukan sesuatu yang mudah mengingat “paradigma” uang masih berurat akar. Melawan paradigma material dengan gagasan ideal butuh proses panjang.
Kita realistis, pandangan pragmatis jangka pendek jauh lebih mudah dipahami masyarakat dari pada gagasan ideal yang jauh dari mata. Untuk itu kita perlu perlawanan mainstream pandangan ini dengan dua cara.
Pertama, pendidikan politik. Selama ini politik yang dikonstruksi oleh masyarakat hanya berbasis pengetahuan dan pengalaman masyarakat sehari-hari yang dipengaruhi jeratan kondisi materiil mereka. Jika pelaku politik dalam kondisi kekurangan maka uang menjadi segala-galanya. Sebaliknya jika kondisi material aktivis sudah “aman”, maka, pengetahuan kognitif idealistik harus mampu mengubah mindset politik yang dangkal tersebut.
Kedua, penguatan institusi sosial. Penulis meyakini bahwa lembaga-lembaga sosial sangat menentukan kondisi politik pada masyarakat tertentu. Maka kini yang dibutuhkan pendidikan politik yang berimbas pada penguatan lembaga sosial yang meliputi lembaga agama, lembaga pendidikan, lembaga ekonomi dan lembaga keluarga.
Lembaga agama memberi batasan jelas tentang suap, money politicsdan sedekah. Selama ini banyak politisi yang memberikan sesuatu atas nama sedekah, persoalannya apakah sedekah itu seperti yang diajarkan dan dibenarkan oleh agama?
Sementara itu, lembaga pendidikan menanamkan budi pekerti dan politik sebagai alat kebaikan bersama. Sayangnya, contentmateri pendidik masih belum beranjak dari kondisi “kemiskinan” yang tidak sadar memengaruhi nilai-nilai agung tersebut.
Secara permukaan yang disampaikan moral, tetapi nilai material masih mengemuka. Sedangkan, lembaga ekonomi menyosialisasikan ekonomi kelembagaan bahwa perilaku ekonomi ditentukan nilai dan norma sosial. Penumpukan harta itu boleh, tetapi kepantasan sosial yang tidak merugikan banyak pihak jauh lebih penting.
Akhirnya, lembaga keluarga juga mengajari nilai-nilai politik pada anggota agar memberi keberkahan pada masyarakat sekitar. Sederhananya, saat sanak kerabat dan keluarga menjadi politisi, tetapi merugikan masyarakat, haruslah diberi sanksi sosial. Semoga.(*)