Bejo Sandy mempopulerkan Rinding Malang. Disebut juga harpa mulut. Banyak cara ditempuhnya, termasuk lewat teater dan musik. Itu demi Rinding Mulut makin dikenal luas.
=======
Sebuah studio dan galeri di rumah di Jalan Ranakah Kelurahan, Karangbesuki Kecamatan Sukun Kota Malang jadi tempat Bejo Sandy berkreasi. Di salah satu sisi bangunan itu, terpampang peta Indonesia. Lengkap dengan gantungan alat musik harpa mulut di setiap titik sesuai asal daerah. Seluruhnya terdapat keterangan nama dan jenis serta bisa dimainkan.
Di sudut studionya, pria bernama asli DZ Sandyarto itu biasa menyerut perlahan sebilah bambu dengan pisau untuk membuat harpa mulut. Khususnya Rinding Malang, instrumen musik harpa mulut asal Malang.
“Ada yang dari bambu, atau ada yang dari besi. Di alatnya musti ada lidah utama di tengahnya. Secara struktur dan nama semuanya berbeda, tergantung dari mana berasal,” begitu Bejo menjelaskan.
Ia tak menyangkal jika masyarakat pada umumnya lebih mengenal Karinding yang berasal dari Jawa Barat. Namun Karinding hanya satu dari sekian banyak jenis harpa mulut di Indonesia, bahkan dunia. Ia mengenal sejak kecil alat musik Karinding yang dulu dianggapnya mainan biasa dan ditinggalkan. Kini malah ditekuni sekaligus dipopulerkannya.
Pria berkulit sawo matang itu lahir di Ambon, Maluku. Ia berpindah-pindah mengikuti sang ayah. Ayahnya seorang perwira TNI AD, selalu berpindah tugas. Lulus SD di Karawang Jawa Barat, pertama kali Karinding dikenalnya sewaktu tahun 1984 hingga 1995 lalu ditinggalkan saat pindah ke Jakarta.
Ia sempat kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Borobudur di Jakarta. Berselang setahun pindah ke Yogyakarta. Sebelum ke Malang, di Yogyakarta ia mulai banyak bermusik. Membentuk band dan manggung bersama rekannya. Dari musik pula ia mengenal musisi-musisi yang singgah di Yogyakarta. Selang setahun kemudian dia pindah ke Malang, melanjutkan kuliah di Universitas Merdeka Malang di jurusan yang sama.
“Waktu masih main band, sempat beberapa kali manggung kontrak sponsor dua tahun keliling Malang Raya,” ceritanya.
Ternyata bermusik bukan jalan terbaiknya lantaran kerap membentuk band lalu bubar. Singkat cerita, ia memutuskan gantung stik di tahun 2012.
Namun jauh sebelum itu di sisi lain ia juga aktif di Teater Celoteh sejak tahun 1998. Ia lalu kembali ke teater.
Berawal dari tuntutan kebutuhan di komunitas teaternya, Bejo merasa kurang indah membawakan puisi atau drama tanpa iringan musik. Sejak saat itulah, Bejo teringat Karinding, dan mulai menggunakan Karinding dalam setiap penampilan teater.
“Merintis Teater Celoteh yang sebenarnya sejak tahun 1998, tapi baru bangkit lagi tahun 2012 setelah saya lepaskan band. Baru beraktivitas lagi dengan banyak hal, termasuk sastra juga baca puisi,” ceritanya.
”Masing-masing bisa jalan sendiri. Tetapi sama-sama membutuhkan musik latar. Karena saya tak ingin yang biasa maka teringat Karinding untuk mengiringi,” sambung Bejo.
Di luar instrumen yang sudah umum baginya, ia mengandalkan berbagai alat musik dari bambu. Utamanya harpa mulut. Terus eksplorasi harpa mulut yang disenanginya sebagai instrumen musik serta pendukung teater dan sastra. Kala itu, ia belum bermaksud mensosialisasikan Rinding Malang kepada publik.
Masih banyak hal yang ingin disimpan dulu sebelum akhirnya dikenalkan luas. Yakni bagaimana ia menyadari kekayaan dan keberagaman harpa mulut di Indonesia dan dunia. Bejo terus mencari dan mendalami serta berusaha mengoleksi, bahkan membuat sendiri berbagai jenis.
Ditemani Sehan istrinya, Bejo mulai membuat berbagai macam harpa mulut dengan alat dan bahan seadanya. Yakni bambu dan pelepah aren. Tak bisa mendapatkan bambu dengan jumlah banyak, ide Bejo cukup nyeleneh. Di masa-masa setelah Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014-2018, dia memilih untuk memulung bambu dari penyangga spanduk partai politik dan calon legislatif
yang sudah tak terpakai.
Dari bambu-bambu yang ditemukan di jalanan itu Rinding demi Rinding dia buat dan semakin disempurnakan. Semakin mencari, semakin penasaran sekaligus prihatin.
Malang yang mempunyai Rinding sendiri tak banyak dikenal dibandingkan dengan Karinding Jawa Barat atau harpa mulut daerah lain. Suatu hari Bejo dikirimi video perjalanan teman teaternya yang berkunjung ke Belanda. Dalam video tersebut, tampaknya di Belanda terdapat sebuah tempat yang menyimpan banyak jenis harpa mulut yang tersebar di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Sejak itu dia disarankan rekannya untuk mempopulerkan Rinding Malang.
“Semakin banyak jaringan di luar Malang, juga semakin tahu banyak, dan akhirnya memenuhi peta asal harpa mulut di Indonesia yang saya punya. Belum mencukupi 150 jenis berbeda. Dari Papua, Bali, Lombok sampai banyak yang lainnya,” kata pria dengan ciri khas rambut gondrong diikat karet gelang itu.
Ia mengenalkan Rinding beriringan dengan komunitas teaternya. Juga di acara seminar maupun talk show. Kian hari, tampaknya semakin banyak masyarakat yang menyukai musik yang dibawakan Bejo. Masyarakat mengenalinya dengan sebutan Bejo Rinding. Sedangkan gubuk teaternya bernama Gubuk Galejo yang berarti Galeri Bejo.
Kecintaannya terhadap harpa mulut khususnya Rinding Malang tidak pernah berkurang sedikitpun. Upaya untuk mempertahankannya selalu dia terapkan dalam kehidupannya. Yakni dengan cara terus mengenalkan Karinding ke masyarakat. Bahkan anaknya telah pandai memainkan Rinding sejak usia masih belia.
Dari mulanya rasa prihatin belum dikenalnya Rinding Malang, kini ia bermaksud membuat buku tentang harpa mulut. Buku itu belum diselesaikan lantaran masih menggali lagi data setiap harpa mulut yang dia temukan. Baik di Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, dan banyak kota lain.
Bejo gigih sosialisasikan Rinding dari mulut ke mulut, dari teater ke teater dan dari sekolah ke sekolah secara cuma-cuma. Ia bahkan lebih senang memberi kenang-kenangan berupa Rinding Malang buatannya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang ia datangi.
Dari mengajar teater, menjadi narasumber tentang budaya dan alat musik, dan banyak lainnya, Bejo merasa tak pernah kekurangan. Ia juga membuat Rinding yang dihargai mulai Rp 150 ribu hingga jutaan rupiah. Rinding karyanya pernah dibeli dengan harga 200 dolar. Sebenarnya bukan penjualan yang pesat tujuan utamanya. Bejo hanya ingin mengamalkan hidupnya untuk kelestarian budaya dan seni.
“Sampai suatu saat akhirnya ada forum Pokok-pokok Kebudayaan Daerah (PPKD) waktu itu diundang. Tapi ada yang tidak setujui adanya Rinding di Kota Malang. Meski akhirnya ada perubahan PPKD saya dimasukkan sebagai pengrajin Rinding Malang. Akhirnya ada pengakuan. Serta diupayakan Rinding masuk ke warisan budaya,” jelasnya.
Agar Rinding dapat didaftarkan menjadi warisan budaya, ia juga membuat naskah budaya tentang Rinding Malang sebagai alat musik harpa mulut asli dari Malang.
Rinding Malang sebagai instrumen musik berbahan dasar bambu dengan bentuk unik, cukup sederhana. Yakni bambu tipis dengan tebal sekitar 0,3 cm, lebar 2 cm, panjang sekitar 30 cm hingga 40 cm. Pada bagian tengah terdapat seperti jarum dengan panjang 16 cm yang akan bergetar dan mengeluarkan bunyi apabila ditarik. Pada salah satu ujung Rinding dilengkapi tali penarik, sedangkan sisi lain untuk menahan, ada yang diberikan tali sebagai pegangan. Sebagai catatan tambahan, ditemukan juga bentuk lain instrumen sejenis bernama “nuthul” yang dimainkan dengan cara disentuh.
Dituliskannya, Rinding Malang tidak memiliki nada khusus seperti instrumen musik pada umumnya. Saat dimainkan, Rinding diletakkan di depan bibir sedangkan rongga mulut sebagai pembentuk bunyi. Keahlian pemainlah yang membuat Rinding seakan bernada. Daerah penyebaran Rinding di Malang Raya cukup luas. Antara lain Lawang, Singosari, Karangploso, Tumpang, Jabung, Tajinan, Wajak, Dau, Junrejo, Pujon, Lowokwaru, Blimbing, Klojen, Sukun hingga Kedungkandang. Selain itu Kepanjen, Pagak, Kalipare dan Donomulyo hingga Brongkos.
Sedangkan di Indonesia, terdapat beberapa asal dan nama harpa mulut. Sumatera Hodong-hodong, Popo, Gogo dan Saga-saga. Di Kalimantan bernama Runding, Kuriding, Juring dan Aping. Sedangkan di Sulawesi Karombi, Oli, OliOli, Genggong Selayar. ,
Di Jawa Barat disebut dengan nama Karinding, Karto atau Karinding Towel. Di Jawa Tengah bernama Rinding Gunung Kidul, Rinding Wonogiri, Rinding Banyumas.
Sedangkan di Jawa Timur yakni Rinding Malang, Runding, Rendhing, Nuthul, Rinding Lumajang. Bali memiliki istilah lain yakni Genggong. Khusus Madura disebut Ginggung atau Rendhing. Di Flores bernama Knobe, Weto dan Ego. Di Nias menyebut Nduri, di NTT juga menyebut dengan Savu, di Pulau Timor yakni Karkeit. , Maluku Tingkobi dan Papua Pikon atau Pikonane, Bigoru dan Susap.
Makin dikenal Rinding, makin dikenal juga Bejo yang menjadi perajin dan pemain Rinding. Ia juga berkolaborasi dengan berbagai musisi dan teater di penjuru Indonesia. Seperti Ari Lasso, Imanez, hingga rapper Bone Rudsi. Prinsip yang dipegangnya ikhlas dalam hidupnya untuk melestarikan budaya asli Indonesia. (tyo/van)