.
Sunday, December 15, 2024

Potret Mahasiswa

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si

MALANG POSCO MEDIA – Mahasiswa diidentikkan sebagai aktor yang memiliki signifikansi di pelbagai bidang persoalan yang ada dalam bangsa ini. Hal yang paling pokok dan menjadi inti persoalan di sepanjang tulisan ini adalah peran mahasiswa, masa depan mahasiswa, dan sistem pendidikan formal yang melingkupi hidup mahasiswa itu sendiri.

Dunia dalam pandangan mahasiswa penuh dengan dinamika dan masalah. Tentu masalah di sini adalah sesuatu yang dianggap normal oleh kalangan mahasiswa pada umumnya. Mengingat mahasiswa itu menjadi bagian dari realitas, di sisi lain menekankan jarak reflektif atas realitas itu sendiri. Sebuah kondisi yang sangat pelik dan sulit untuk dilakukan oleh kebanyakan orang pada umumnya.

Dunia yang Paradoks

Dapat diketahui, kebiasaan yang paling aneh dalam ‘konteks’ kehidupan di lingkar akademik terlalu banyak jenis symposium, seminar, konferensi, dan seterusnya. Tetapi acap kali, hal-hal demikian justru tidak memiliki relevansi apapun dengan keadaan sosial yang sebenarnya.

Ada jarak yang timpang antara apa yang dibicarakan di mimbar-mimbar ‘intelektual’ dengan kondisi yang dihadapi kalangan intelektual itu sendiri. Intelektual kita benar-benar di menara gading. Jauh dari persoalan yang dihadapinya juga yang orang lain alami. Pada titik ini, peran intelektual bukan lagi menjalankan fungsinya sebagai agen organik yang terlibat aktif dalam agenda-agenda perubahan sosial—transformasi sosial— tetapi semakin terasing dari persoalan-persoalan sosial, mahasiswa hidup dalam tempurung. Dibentuk oleh realitas yang absurd.

Generasi milenial harus siap menghadapi dunia persaingan lapangan pekerjaan di kancah nasional maupun internasional, era yang mempersilahkan anak muda untuk berkompetisi, melakukan refleksi dengan memberikan jarak pada fenomena serta memberlakukan ‘epoche’ atas apa yang dilihatnya. Pemahaman yang baru diterimanya kemudian di hadapkan pada gugatan aksiologis. Apa tujuan pendidikan?

Mempertanyakan tujuan pendidikan artinya sedang menggugat kembali fungsi pendidikan secara mendasar dalam kehidupan manusia. Gugatan itu bukan semata-mata pertanyaan iseng yang lahir begitu saja. Melainkan, sebuah upaya untuk kembali menduduk perkarakan ‘pendidikan’ dalam perjalanannya fungsi dan orientasinya semakin kabur. Itu terlihat saat kami menunjukkan pertanyaan berikutnya ‘kalau kerja menjadi satu-satunya alasan kenapa perguruan tinggi itu hadir, bukankah semua orang bisa bekerja tanpa harus mengenyam pendidikan sampai setinggi-tingginya yang diumpamakan seperti tugu itu.’

Saat ini pendidikan tidak bisa independen secara utuh dari struktur sosial dan ekonomi yang kapitalistik. Pendidikan menjadi mekanis, mencetak para sarjana menjadi tenaga buruh di pelbagai sektor industri. Pendidikan menjadi teralienasi dari fungsi aslinya sebagai media atau instrumen peradaban dan kebudayaan.

Dunia pendidikan semakin paradoks. Di satu sisi dia menjadi harapan bagi keberlanjutan peradaban intelektual, di sisi lain dia terjebak dalam cengkraman gurita kapitalisme yang meniadakan otentisitas intelektual itu sendiri.

Di hadapan cengkraman sistem kapitalisme, melalui pandangan referensial yang dikutip dari buku “Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis.” Letak aksiologis dari pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia. Manusia yang bebas dari segala perangkat yang meniadakan kehendak dirinya. Bagaimana itu semua bisa dicapai? Hanya jika struktur yang menopang ketidakadilan itu bisa dirombak dan diubah.

Tetapi apabila kita kembali pada situasi yang kita lihat, diami, dan geluti saat ini struktur pragmatis itu tampaknya menjadi sebuah kemapanan tersendiri. Bahkan acapkali dianggap sebagai kewajaran. Dan uniknya, mahasiswa yang berada di dalamnya justru patuh dan taat pada perangkap kemapanan, idealisme menuju kehidupan yang kompetitif di masa depan, dengan seperangkat modal intelektual, manajerial, sosial, jaringan, moral, dan spiritual patut menjadi perhatian.

Mentalitas yang Rapuh

Kompleksitas persoalan di dalam dunia pendidikan ditarik secara linier terkait kondisi mentalitas mahasiswa dan mahasiswa menjadi entitas paling penting dan mendasar di dalam kampus. Ada sebuah ironi yang diungkapkan secara vulgar oleh sebagian elemen, bahwa “agent of change”berkamuflase menjadi “agent of cengeng.”

Sebuah gambaran psikologis individual yang disematkan pada kondisi mental mahasiswa yang rapuh, mudah mengalami ‘phobia’ terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dialaminya. Ini berkebalikan secara 360 derajat dari penanda ‘aktor perubahan sosial’ yang disematkan kepadanya.

Di sini penting ditegaskan bagaimana prasyarat yang harus ditempuh untuk layak menjadi ‘agent of change’ yaitu personal yang memiliki empati terhadap kondisi sosial yang melingkupinya; baik kehidupan di dalam kampus atau pun dalam batas-batas sosial yang lebih luas seperti isu-isu ketidakadilan, ketimpangan, marginalisasi.

Empati yang melampui keberadaan dirinya sendiri dan mengarusutamakan tugas-tugas sosialnya. Mahasiswa jenis ini adalah mereka yang tidak pernah minder dengan standardisasi kehidupan kampus: lulus tepat waktu, rawan drop out,nilai akademiknya jatuh dan seterusnya.

Gelar “agent of change”tidak akan didapatkan oleh mereka yang sibuk dengan urusan personal. Menghabiskan banyak waktu dengan berjibun-jibun makalah dan dokumen di kampus. Di luar kampus mereka cenderung menghabiskan banyak waktu untuk aktivitas medsos; Instagram, Twitter, Facebook dan sejenisnya.

Walaupun begitu, bukan berarti yang banyak menjalankan aktivitas di luar kampus tidak sepenuhnya bisa acuh tak acuh terhadap persoalan akademiknya. Kerapkali mahasiswa jenis ini patah arang ketika dihadapkan dengan kondisi praksis di dalam kampus. Seperti ancaman drop out, tagihan melunasi biaya spp, beban moral pada orang tua, juga pertemanan. Situasi eksternal yang melingkupinya, seturut tali menyebabkan munculnya sikap dekaden. Yang awalnya berani menjadi takut. Yang awalnya lantang bersuara kemudian bungkam. Rasa optimis perlahan redup menjadi pesimistis.

Di sini mahasiswa harus mengubah diri darirasa takut menjadi potensi untuk lebih berani menghadapi situasi apapun dengan cara-cara yang humanis etis. Tetap teguh dan tahan uji. Berani menghadapi segala tantangan, berjuang dengan segala optimis demi menegakkan kebenaran. Rapuhnya mentalitas mahasiswa bukan hanya karena alasan-alasan psikologis-personal.

Gamangnya cita-cita sosial dan merosotnya ‘aktivisme’ kampus juga diakibatkan oleh relasi kuasa struktural. Batas-batas independen kampus dari sistem yang liberalistik kini semakin mengabur. Pasar mengintervensi kampus untuk menyesuaikan dengan trend global. Pelajar yang tidak memiliki skill khusus dalam bidang tertentu akan semakin terasing dari dunia yang artifisial ini.

Kekhawatiran kampus juga aktor-aktor di dalamya senyap-senyap tidak bisa disembunyikan. Kampus saat ini berbeda dengan akademika Plato dahulu yang menjunjung tinggi nilai kebajikan untuk mencapai puncak kebijaksanaan. Kampus saat ini menjunjung tinggi nilai-nilai universal di bawah bendera pasar bebas dan adaptif proporsional.

Pemikiran yang diulas secara panjang di atas, menjadi arus balik bagi terwujudnya potret kehidupan intelektual yang otentik. Refeleksi subjektif ini merupakan gugatan untuk menemukan kembali jati diri seorang ‘mahasiswa.’ Kecenderungan praktik memanipulasi diri dengan pengaruh standart kehidupan yang kaku dan mekanis harus kembali dibongkar. Sisi subjektif seseorang memang tidak bisa diacuhkan dan cenderung dominan. Akan tetapi, pada satu momen tertentu apa yang dipikirkan oleh individu ketika berhasil ditransmisikan oleh pembaca, pada saat itu pula secara konsekuen pemikiran akan menjadi objektif.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img