MALANG POSCO MEDIA – Dewasa ini, pimpinan sekolah maupun guru dituntut untuk meningkatkan kompetensi dalam membina para siswanya dengan cara berkelanjutan. Semua diharapkan mampu memanfaatkan peluang-peluang yang bisa menjadikan kemajuan bagi lembaga atau kebaikan bersama, karena guru harus dapat memengaruhi kehidupan siswa dengan lebih banyak cara yang baik.
Oleh karenanya banyak program yang bisa digunakan untuk pengembangan karir guru demi menjamin kualitas pembelajaran, selain itu untuk meningkatkan karir profesionalitas guru. Namun dengan banyaknya program banyak pula kendala yang muncul, di antaranya banyaknya organisasi profesi guru yang menjadi dinamika dan tantangan bagi dunia pendidikan.
Dalam sejarahnya, setidaknya terdapat dua faktor penting yang melatarbelakangi sejarah pertumbuhan organisasi profesi guru. Yang pertama adalah pertumbuhan ilmu dan profesi kependidikan itu sendiri. Yang kedua adalah faktor yuridis formil yaitu dengan adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini.
Memang tidak ada salahnya dalam pengembangan profesi guru tersebut, namun jika terlalu banyak maka akan menimbulkan kendala di belakang. Adalah Rektor Universitas Yarsi Prof dr. Fasli Jalal, Sp, GK., Ph.D dalam Webinar Nasional Tata Kelola Profesi Guru di Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan yang digelar pada pada 18 Maret 2023 menuturkan bahwa perjalanan pembentukan organisasi profesi guru diwarnai perubahan dan perkembangan baik dalam konteks pendidikan gurunya, dan perkembangan pendekatan ilmu itu sendiri.
Menurut histiografi, ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu mandiri dimulai pada dekade tahun 1950 ditandai dengan berdirinya Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) serta munculnya Ikatan Sarjana Pendidikan Guru Indonesia (ISPI) pada tahun 1960. Juga berdasarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 13 disebutkan bahwa Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.
Tercatat, sejak reformasi 1998 banyak bermunculan organisasi-organisasi yang menandai era kebebasaan di Indonesia. Salah satunya adalah organisasi profesi guru sebagai alat kontrol pemerintah dalam artian yang positif, dalam rangka mengembangkan kemampuan dan sumber daya yang ada dalam sebuah organisasi kemasyarakatan.
Dalam kajian penyusunan dan pedoman tata kelola organisasi profesi guru, sesungguhnya berbicara soal hak kemerdekaaan dan kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana yang sudah diamanahkan dalam Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu Undang Undang Dasar (UUD) Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.’’
Karena itu para guru yang berhimpun atau berorganisai dalam sebuah organisasi profesi guru merupakan hak konstitusional sebagai warga negara yang diberikan jaminan penuh oleh konstitusi negara. Selain itu juga dalam pasal 41 ayat (3) Undang Undang Dosen dan Guru Tahun 2015 menyebutkan bahwa setiap guru wajib menjadi bagian dari anggota profesi guru yang menguatkan posisi guru dalam membangun hubungan antar guru.
Meskipun sudah ada organisasi yang menaungi hak guru, tapi hingga saat ini masih banyak guru yang belum berhimpun atau masuk dalam organisasi profesi guru tersebut. Sehingga mengalami semacam kesulitan untuk dapat melakukan kontrol terhadap aktivitas dari guru jika terjadi kesalahan yang yang melanda seorang guru.
Kembali pada pembahasan awal bahwa guru dituntut untuk profesional, yang artinya adalah guru yang kompeten (berkemampuan). Karena itu, kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan dalam menjalankan tugasnya secara professional.
Profesionalisme seorang guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar.
Lalu kompetensi apa yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru? Soedijarto menuturkan, guru yang memiliki kompetensi profesional perlu menguasai antara lain memiliki disiplin ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan pelajaran, mempunyai bahan ajar yang diajarkan, berpengetahuan tentang karakteristik siswa dalam kelas, mengetahui filsafat dan tujuan pendidikan, menguasai metode dan model mengajar, paham akan teknologi pembelajaran, mampu merencanakan, memimpin, guna kelancaran proses pendidikan, dan juga memiliki kemampuan dasar dalam penelitian seperti class action research (SAR atau penelitian tindakan kelas).
Kompetensi profesional seorang guru harus dimiliki agar dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Yang di antaranya adalah kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional mengajar. Keberhasilan guru dalam menjalankan profesinya sangat ditentukan oleh ketiganya dengan penekanan pada kemampuan dalam mengelola ruang pembelajaran.
Karena disadari atau tidak, guru harus memiliki kompetensi profesional dengan menerapkan model pembelajaran yang ada timbal balik/ respon dari seorang siswa, dimana guru tidak hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru tanpa adanya keinginan untuk bertanya, yang akhirnya kelas menjadi hening tanpa adanya diskusi dan sejenisnya.
Selain itu banyaknya ketidak-profesionalannya seorang guru ketika dia mengajar mata pelajaran yang bukan pendidikannya. Misal, guru agama mengajar seni, atau lulusan kehutanan mengajar pelajaran keagamaan. Ini akan menimbulkan kerancuan dalam sistem pendidikan nasional kita.
Beberapa kerancuan tersebut harus dibatasi dengan kode etik yang berlaku sebagai pagar pembatas secara moral mengenai boleh dan tidaknya guru dalam menjalankan kemuliaan profesi guru itu sendiri, juga seorang guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang yang seharusnya ditekuni.
Dalam hal ini penulis berharap pada pemerintah atau para pemangku jabatan untuk melakukan tindakan tegas terkait hal di atas. Dengan memverifikasi dan tindakan yang nyata untuk menegur pelaku yang menjadikan lembaga pendidikan menjadi tidak sesuai dengan seharusnya.
Upaya tersebut harus dilakukan untuk menghasilkan guru yang profesional, memenuhi syarat sebagai guru, dan bertanggunjawab terhadap etika profesi guru. Dan upaya tersebut tidak bermaksud untuk mengurangi kebebasan guru untuk tetap mengekspresikan metode, cara mengajarnya sehingga menghasilkan output yang sesuai dengan bidangnya.(*)