.
Thursday, December 12, 2024

Puasa Ritual Menuju Kesalihan Sosial

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – SETIAP aktivitas ibadah dalam Islam mengandung dimensi ritual dan sosial. Keseimbangan antara ibadah ritual dan sosial itulah yang kemudian diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Ritual dan sosial ibaratnya satu keping mata uang dengan dua sisinya; tak bisa dipisahkan satu sama lain seandainya mata uang itu tak ingin kehilangan makna.

Begitu pula dengan ibadah puasa Ramadan, ia akan kehilangan ruhnya jika dilakukan sekadar ritual belaka. Puasa Ramadan niscaya kehilangan makna jika sebatas meninggalkan makanan, minuman, dan hubungan suami-istri di siang hari. Hakikat puasa Ramadan, selain mencegah nafsu perut dan nafsu kelamin, juga tirakat pikiran dan hati dari seluruh nafsu keburukan.

Belakangan ini, kerap muncul gejala keberagamaan yang cenderung mengamalkan doktrin puasa secara parsial. Seolah berpuasa hanya sebatas memenuhi syarat-syarat formalitas syariat, sehingga lahirlah sosok-sosok yang rajin berpuasa sekaligus tetap semangat berlaku munkar.

Padahal, seseorang yang melaksanakan amalan baik dan buruk secara bersamaan dapat dikatakan ia sedang mengalami kepribadian terbelah. Orang semacam itu senyatanya sedang sakit mental sebab tidak satu agama pun yang mengajarkan pemeluknya berkepribadian ganda. Karena itu, upaya mengembangkan pemahaman bagi setiap pemeluk agama agar menyandingkan ibadah ritual dengan amal sosial, niscaya beriringan.

Betapa banyak praktik-praktik keberagamaan yang kerap menyimpang dari rel agama. Pertanyaannya, layakkah seseorang menjalankan suatu amal ibadah melalui jalan yang salah? Ibarat mencuci pakaian maka tidak mungkin pakaian itu dicuci dengan air kotor. Selain nir-pahala, cara beribadah semacam itu jelas tidak akan berdampak apapun bagi peningkatan mutu keberagamaan seseorang.

Sayangnya, praktik keberagamaan yang masih mencampuradukkan antara amal baik dan amal buruk telah mengepidemi banyak kaum beragama yang mengukur kesalihan seseorang dengan kriteria serba legal formal. Dalam konteks puasa Ramadan, kesalihan terkadang hanya ditentukan oleh seberapa kuat seseorang tidak makan dan tidak minum.

Selain salih secara ritual, seseorang hendaknya juga salih secara sosial: suatu bentuk kesalihan yang tidak hanya ditandai seberapa mampu menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mestinya terwujud dalam perilaku positif pelakunya dalam laku keseharian. Bila ada orang yang rajin menjalankan ritual puasa, senyatanya baik pula amal sosialnya.

Ketakwaan seseorang yang menjadi tujuan beribadah puasa tidak cukup ditandai oleh amal-amal yang bersifat ritual seperti salat tarawih, tadarus, zikir, iktikaf dan lain sebagainya. Ketakwaan seseorang akan lebih komprehensif bila ia memandang bahwa kepedulian kepada sesama sebagai bagian dari ibadah seperti menyantuni anak yatim atau menyedekahkan harta bagi fakir miskin.

Islam justru membenci orang-orang yang ibadahnya hanya bertumpu pada amal ritual semata tanpa memerhatikan nilai-nilai sosial di dalamnya. Sekadar contoh, dalam doktrin puasa menanamkan nilai kejujuran, namun perilaku jujur itu sulit sekali disaksikan. Terbukti banyak orang yang setiap bulan Ramadan berpuasa, tetapi perilaku khianat dan pencitraan masih sering benar menghiasi ruang-ruang publik.

Puasa Ramadan menyuruh manusia untuk hidup sederhana, bersedia berbagi dengan sesama, dan berempati kepada yang menderita, malah pemandangan yang tampak adalah penghamburan dan pameran kekayaan di mana-mana. Jika demikian, puasa model apa yang selama ini dijalankan orang seperti itu.

Jika ibadah puasa mengajarkan kepada manusia untuk menyayangi dan menyantuni yang lemah dan yang tertindas, tetapi yang sering terlihat malah penindasan kepada yang sudah tertindas dan pemiskinan terhadap orang-orang yang sudah miskin.

Puasa akan bermakna jika melahirkan perubahan positif bagi pelakunya. Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan, “Banyak orang yang berpuasa, hasilnya hanyalah lapar dan dahaga.” Isyarat yang terkandung dari pesan Nabi itu ialah puasa yang ditunaikan sekadar memenuhi rukun fisik dan biologis sama sekali tidak memberikan garansi apa pun, jika tanpa dibarengi dengan pemaknaan yang menghasilkan perubahan konstruktif dalam perilaku sosial.

Rasulullah SAW telah memperingatkan, “Banyak orang yang puasa tetapi tidak mendapat nilai apa pun kecuali derita lapar dan dahaga.” Puasa semacam ini adalah puasa yang hanya meninggalkan makan dan minum, tetapi tidak mampu meninggalkan hal-hal yang dapat merusak pahalanya. Puasa yang hanya membanggakan simbol, tetapi melupakan esensinya. Puasa yang hanya mengandalkan amal ritual, tetapi kosong dari nilai sosialnya.

Ramadan merupakan bulan training untuk melatih hamba-hamba Allah agar benar-benar menghayati dan mengamalkan aspek ritual maupun sosial keramadanan hingga membentuk kesalihan diri secara total. Itulah puncak takwa yang merupakan tujuan utama puasa Ramadan. Dengan kata lain, puasa seseorang secara ritual bisa dikatakan berhasil jika dibuktikan dengan bentuk-bentuk kesalihan secara sosial.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img