spot_img
spot_img
Friday, March 29, 2024
spot_img
spot_img

Rasa Tak Bisa Digantikan oleh Digital

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Seni (pertunjukan) tak boleh berkedok pandemi. Kalimat ini merupakan sebuah pergumulan batin yang akhir-akhir ini sering kali dirasakan oleh beberapa teman pendidik seni dan pelaku seni pertunjukan di berbagai tempat. Adanya masa pandemi covid-19 telah berhasil mengubah banyak tatanan dan cara kehidupan masyarakat.

Pandemi ini juga telah memberikan dampak perubahan yang sangat signifikan terhadap geliat kehidupan berkesenian, terutama pada seni pertunjukan. Beberapa kegiatan maupun lomba-lomba seni yang merujuk pada sebuah pertunjukan sering kali digantikan/ dilaksanakan dalam bentuk media daring atau online.

Meski dalam tatanan seni, tidak mengurangi wujudnya sebagai sebuah bentuk pertunjukan, akan tetapi ada beberapa sisi yang mutlak tidak dapat tergantikan dengan media daring atau online. Rasa, ya, sebuah rasa yang mengandung emosi estetis dalam menikmati suatu pertunjukan secara langsung, itulah yang hilang terpendar ke dalam wujud layar digital.

Menurut Murgiyanto (1995) seni pertunjukan merupakan sebuah tontonan yang memiliki nilai seni dimana tontonan tersebut disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton. Seni sebagai wahana komunikasi antara seniman dengan penikmat seni, secara mutlak harus menghadirkan sebuah karya sebagai media komunikasinya.

Berpedoman pada pengertian di atas, seni itu menjadi penting karena adanya sebuah karya. Karya seni sebagai “hasil” belum sempurna jikalau karya tersebut tidak dikomunikasikan kepada penonton (audience). Dan pada kelanjutannya akan memunculkan rentetan dialog antara seniman dengan penonton dalam sebuah sarasehan seni yang dapat membangun sebuah kesepemahaman “maksud” dari karya yang telah dihadirkan. Hal inilah yang sepertinya akan sangat sulit terwujud apabila dalam kenyataannya sebuah seni pertunjukan dihadirkan dalam wujud digital (online).

Belakangan ini masih terdapat banyak kesalahan dalam memaknai arti sebuah kesenian. Seni tidak dapat dihitung secara matematis, pun demikian seni juga tidak dapat disamakan dengan ilmu pengetahuan yang harus jelas batas dan isi pengertiannya. Sebuah karya seni dapat disebut seni apabila berhasil memberikan rangsangan daya hidup dan daya cipta bagi penerimanya.

Nilai seni dipahami dalam pengertian kualitas yang terdapat dalam karya seni, baik kualitas yang bersifat kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Nilai-nilai yang dimiliki karya seni merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dihayati oleh seorang seniman dalam lingkungan sosial budaya masyarakat yang kemudian diekspresikan dalam wujud karya seni dan dikomunikasikan kepada penikmatnya.

Dalam dunia pendidikan, khususnya di sekolah, seni memiliki peran yang tidak kalah pentingnya di antara sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah. Seni memiliki ranahnya sendiri dalam menyentuh langsung ke dalam setiap pribadi peserta didik di sekolah. Daya rangsang seni mampu memunculkan kreativitas dan empati, serta mampu menghadirkan sebuah rasa kepercayaan diri dari seorang peserta didik.

Di tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), pembelajaran seni menyentuh pada sifat kreatif dan apresiatif, dimana upaya pengembangan diri (menghasilkan karya seni) selalu diimbangi dengan kesantunan dalam menghargai hasil karya (karya seni) orang lain.

Pendidikan seni mengasah rasa yang mampu menstimulus kepekaan indera, adapun setiap teori-teori dasar seni yang diajarkan akan selalu berakhir dengan sebuah karya. Mewujudkan sebuah karya seni (rupa, musik, tari, teater) merujuk langsung pada wujud yang dapat dirasakan secara langsung, dapat diamati maupun dijamah secara langsung, tanpa media perantara yang seolah-olah (sepertinya) sebagai pemisah antara karya seni dengan penikmat karya seni.

Kini kita sering dihadapkan pada sebuah fenomena seni pertunjukan dalam bentuk daring (online), seringnya diwajibkan mengikuti perlombaan-perlombaan seni antar instansi, perusahaan, maupun sekolah melalui media daring. Kenyataan inilah yang seakan-akan menjadi antitesis dari apa yang telah kita ajarkan kepada anak didik kita.

Pengalaman melihat pertunjukan seni itu berbeda dengan menonton pertunjukkan film di gedung bioskop. Pengalaman yang langsung bersentuhan dengan pelaku seninya, pembelajaran yang bisa didapat langsung dari senimannya, itu yang sampai saat ini masih jarang kita dapatkan kembali.

Fransesco (1958), seorang ahli pendidikan seni rupa mengemukakan tugas pendidikan seni rupa antara lain sebagai penghalus rasa dan pendidikan emosi. Dikemukakan, penguasaan emosi sangatlah penting khususnya pada manusia di zaman modern. Dalam seni, emosi disalurkan ke dalam wujud yang memiliki nilai ekspresi-komunikasi. Jadi sekali lagi jelas, komunikasi dalam berkesenian itu wajib ada dan bagaimana mungkin komunikasi itu dapat terjalin apabila tidak ada kontak langsung antara seniman dan penikmat seni.

Uraian di atas tidak serta merta mengindikasikan bahwa seni pertunjukan itu tidak seharusnya (haram) dipertontonkan secara daring atau online. Tetapi alangkah baiknya apabila dalam setiap kesempatan perlombaan seni alangkah tepatnya apabila dilaksanakan secara langsung (luring).

Kaitan di lingkup sekolah perlombaan seni antar sekolah tidak semata-mata menuju suatu kompetisi untuk mencari siapa yang menang. Perlombaan seni antar sekolah memiliki esensi, nilai serta pengalaman yang lebih kuat lagi dalam memberikan pembelajaran kepada pendidik dan peserta didik. Di suatu tempat perlombaan dapat dijadikan ajang silaturahmi akademi bagi pendidik dan peserta didik.

Esensi lainnya adalah saling memberi dan menerima cara pandang atau wawasan berkesenian, dapat menimba ilmu dari para pelaku seni-pelaku seni profesional. Dalam hal ini bisa juri lomba ataupun seniman yang bertindak sebagai juri lomba. Banyak ilmu yang bisa didapatkan, banyak pengalaman baru yang mampu mengembangkan wawasan dalam berkesenian dibandingkan apabila kita hanya dihadapkan pada sebuah perlombaan seni melalui layar digital.

Hal inilah yang dapat menjadi pembeda antara perlombaan seni dengan perlombaan atau kompetisi di bidang yang lainnya. Seperti lomba Olimpiade Akademik, Kompetisi Science, dan Olimpiade Matematika. Semoga dengan berlalunya pandemi Covid-19, dikuatkan oleh Presiden Joko Widodo lewat pidatonya di akhir tahun 2022 menyatakan mencabut PPKM di seluruh wilayah Indonesia diharapkan semua aktivitas masyarakat kembali normal dan terkhusus kegiatan-kegiatan lomba kesenian apapun tidak lagi dipandemikan.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img