Banyaknya kasus pembunuhan istri oleh suami saat ini menjadi bukti bahwa tak banyak jaminan rasa aman bahkan ketika berada di dalam rumah sendiri. Suami sebagai orang yang seharusnya bisa menjadi pelindung istri justru menjadi awal mula petaka itu datang.
Istri yang dalam bahasa jawa disebut sebagai garwo atau sigaraning nyowo harusnya bisa menjadi pelengkap jiwa bagi seorang suami. Nyatanya hal tersebut hanya sebatas ungkapan filosofis saja yang belum tentu dipahami bersama artinya bagi pasangan suami istri yang tega membunuh pasanganya.
Melihat CATAHU Komnas Perempuan tahun 2023, jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan terdapat peningkatan tipis. Setahun terakhir total pengaduan sejumlah 4.374 kasus, sedangkan tahun sebelumnya sejumlah 4.371 kasus.
Tak banyak perubahan yang bisa dilihat. Ancaman kekerasan terhadap perempuan semakin bertambah justru saat ini banyak kasus yang muncul bukan berhenti pada kasus kekerasan, melainkan sampai pembunuhan.
Sederet kasus yang bisa kita ingat, mulai dari kejadian suami yang membacok istrinya di Minahasa – Sulawesi Utara pada 2 Mei 2024. Begitu juga kejadian di Ciamis – Jawa Barat juga dilakukan oleh suami yang membunuh bahkan memutilasi istrinya pada 3 Mei 2024. Tak lupa, kejadian seorang suami di Karimun–Kepulauan Riau yang membunuh istrinya dengan sikat gigi diduga karena urusan domestik pada 5 Mei 2024. Kasus tersebut menjadi pukulan bagi kita semua, terlebih bagi sesama perempuan. Hak untuk hidup secara aman tak lagi bisa dijaminkan.
Berbagai kasus kekerasan yang berimbas pada kejadian pembunuhan tersebut di mata masyarakat dianggap sebagai Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sayang sekali, kasus KDRT seperti itu banyak yang menganggap sebagai masalah privasi. Sehingga ketika ada kasus kekerasan terjadi, masyarakat yang mengetahui tidak bisa langsung bisa turut andil dalam penyelesaianya.
Superioritas Laki-laki
Hariyadi.,Ph.D dari Pusat gender dan Anak pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto mengungkap tingginya budaya patriarki menjadi salah satu faktor banyaknya kasus kekerasan perempuan di Indonesia. Bukan hanya itu, masyarakat sering memposisikan bahwa laki-laki harus kuat, berani, dan tegas sehingga tidak toleran dalam hal apapun.
Pola inilah yang memunculkan kesenjangan, tidak ada kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Sehingga masyarakat meyakini bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan dianggap inferior.
Menurut Michael Kaufman, seorang aktivis yang memimpin kampanye “Pita Putih” mengatakan penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan berkaitan dengan tiga faktor yang merupakan cara laki-laki dalam menunjukkan kekuasaannya. Yaitu kekuasaan patriarki (partriarki power), hak istimewa (privilege), dan sikap yang permisif atau memperbolehkan (permission).
Kuatnya budaya patriarki menjadi pemicu utama di balik kasus diskriminasi atau kekerasan terhadap perempuan. Dalam budaya patriarki, terjadi subordinasi dan kesenjangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Seperti halnya masalah pekerjaan domestik yang berkaitan dengan dapur, sumur, dan kasur yang masih dibebankan pada perempuan saja sedangkan laki-laki tidak. Jika perempuan tidak menguasai ketiganya akan diangggap tidak normal.
Adanya hak-hak istimewa yang dimiliki oleh laki-laki pun menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan. Hak istimewa tersebut dapat berupa pengambilan suatu keputusan yang didominasi oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan hanya bisa mengikuti tanpa memberikan pendapat pribadinya maupun melakukan suatu penolakan terhadap keputusan tersebut. Sebab sebagian laki-laki menganggap keputusan yang diambilnya berdasarkan logika bukan perasaan. Sehingga perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Dalam ranah publik, sikap permisif (memperbolehkan) merupakan tindakan apa pun yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau biasa dalam masyarakat. Contoh sederhananya, kekerasan fisik seperti pemukulan yang dilakukan suami kepada istrinya masih dianggap persoalan yang privat bagi segolongan masyarakat tertentu. Dan itu dianggap lazim apabila terjadi perselisihan atau pertengkaran dalam rumah tangga.
Lemahnya Perlindungan Perempuan
Meningkatnya kasus kekerasan pada perempuan menunjukkan belum ada sistem yang kuat yang dapat menjamin bahwa perempuan akan aman. Meski dalam beberapa peraturan seperti Permen PPPA Nomor 2 Tahun 2022 tentang Standar Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak secara keseluruhan memberikan jaminan perlindungan terhadap perempuan baik di wilayah publik maupun di wilayah privat. Dalam pelaksanaannya, ketika ada tindak kekerasan terhadap perempuan nyatanya tidak semua bisa terkawal dengan baik.
Ketika ada pengaduan kasus kekerasan, banyak orang yang justru balik menyalahkan perempuan. Masyarakat sibuk mengulas kesalahan-kesalahan perempuan yang menjadi objek dari kekerasan tersebut. Sehingga bagi perempuan yang sudah berani mengadukan, akan mengalami ketakutan. Merasa semakin tidak aman dan menjadi manusia tidak normal di tengah pandangan masyarakat yang mayoritas patriarki. Perlu perlindungan khusus yang dimulai sejak aduan itu masuk.
Begitu juga dengan pengawalan kasus yang berkaitan dengan hukum. Nyatanya tak semua di proses dengan baik. Sebagai contoh data yang bisa diungkap di Yogyakarta, terdapat sekitar 300 ribu laporan kekerasan berbasis gender. Namun ternyata, yang bisa diproses hanya 150 sampai 300, jadi kisaran 0,01 persen saja.
Aturan hukum yang berlaku di negara ini perlu dievaluasi lagi. Dalam hal ini, penting sekali kehadiran paralegal dalam melakukan pendampingan hukum. Perlu banyak pendamping yang melek hukum. Jika di setiap daerah saat ini sudah umum dengan kader posyandu, barangkali ke depan juga disiapkan kader paralegal yang disiapkan khusus untuk dapat mempercepat penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan.(*)