Dalam beberapa pekan ini, masyarakat disuguhi siaran persidangan terkait kasus Ferdy Sambo secara langsung (live). Sejumlah stasiun televisi menyiarkan proses persidangan kasus ini secara terbuka. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menyiarkan persidangan ini secara live di kanal YouTube. Masyarakat benar-benar dapat menyaksikan proses persidangan secara terbuka dan “telanjang.”
Siaran langsung persidangan secara live memang bukan kali pertama terjadi. Dalam beberapa kasus persidangan sebelumnya, sejumlah stasiun televisi juga pernah menyiarkan langsung dari ruang sidang. Sebut saja pada persidangan kasus Ahok, Antasari Azhar dan Bibit Candra waktu itu, juga persidangan Anggie dan Nazarudin. Stasiun televisi seperti Metro TV, TV One dan stasiun televisi lain mengusung peralatan ENG (Electronic News Gathering) ke sekitar lokasi persidangan guna siaran langsung dari lokasi (on the spot).
Dalam logika pengelola media televisi atau YouTube, siaran persidangan kasus Ferdy Sambo pasti akan ditunggu banyak pemirsa (viewer). Siaran persidangan ini tentu dapat mendongkrak jumlah pemirsa (rating) televisi dan jumlah viewer, like, dan subscriber bagi pemilik akun YouTube. Media menyiarkan proses persidangan ini bisa dengan pertimbangan untuk menjawab keingintahuan masyarakat (public right to know) selain juga alasan untuk mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Keterbukaan Informasi Publik
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mengamanatkan bahwa semua lembaga publik harus mempublis informasi yang menjadi hak publik. Dalam konteks persidangan kasus hukum misalnya, sepanjang hakim menyatakan persidangan terbuka untuk umum maka publik memiliki hak dan akses penuh untuk mengetahuinya sebagai bagian dari pelaksanaan hak memperoleh informasi (right to information).
Menyiarkan secara langsung persidangan memang bukan tanpa cela. Seorang filsuf Inggris Jeremy Bentham pernah mengungkapkan bahwa “keterbukaan peradilan membuat hakim diadili saat mengadili.” Pernyataan ini mengandung kebenaran dan menyiratkan makna bahwa publik bisa terlibat mengontrol proses peradilan dan menilai kredibilitas hakim. Intinya masyarakat bisa turut menegakkan supremasi hukum melalui keterbukaan yang disajikan media.
Liputan siaran langsung persidangan kasus Ferdy Sambo ini memang baik, namun tentu tak semua persidangan bisa ditampilkan live. Persidangan perkara asusila, pornografi, dan anak-anak tentu publik tak perlu secara detail mengetahuinya. Merujuk pada pasal 153 ayat (3) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Saat ini memang era keterbukaan hingga media perlu diberi kebebasan untuk menyampaikan informasi. Apalagi haknya sudah dilindungi undang-undang. Namun, tentu, pada pelaksanaannya harus diiringi rasa tanggung jawab terhadap masyarakat. Jika sebuah tayangan televisi atau kanal YouTube dirasa akan berdampak tidak baik seperti dapat menginspirasi sebuah tindak kejahatan, membahayakan, dan mengakibatkan kemarahan kelompok tertentu, maka media perlu menerapkan sensor dari dalam (self-censoring) secara ketat.
Namun dalam praktiknya, untuk siaran yang terkategori langsung (live) tak mudah untuk disensor. Siaran langsung memiliki kekurangan karena sulit dilakukan sensor apabila ada hal-hal yang berpotensi melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), dan standar kepatutan yang lain. Potensi pelanggaran ini semakin besar mengingat proses sidang yang berlangsung lama dan memakan waktu berbulan-bulan.
Dilema
Merujuk siaran persidangan di beberapa negara lain, siaran persidangan televisi ada yang diperbolehkan ada juga yang dilarang. Pemerintah Armenia misalnya, sejak tahun 2003 telah membangun kanal televisi khusus peradilan (Courts TV). Enam bulan setelah beroperasi, Court TV Armedia yang bernama “My Rights” menduduki rating teratas stasiun televisi pilihan warga Armenia.
Sementara itu di Amerika, Inggris, dan Australia melarang keras kamera foto dan televisi masuk ke ruang persidangan. Jangankan siaran langsung, dalam pemberitaan persidangan pun, televisi hanya diperkenankan membuat gambar sketsa situasi persidangan sebagai visualisasi berita audionya.
Alasan pelarangan liputan langsung persidangan di ketiga negara tersebut adalah dikhawatirkan berkurangnya wibawa proses peradilan, mengganggu atau mempengaruhi saksi-saksi dalam memberi kesaksian, dan melanggar privasi pihak-pihak yang berperkara.
Sementara itu praktik liputan persidangan di Indonesia sangatlah terbuka. Dalam beberapa kasus persidangan sebelumnya, televisi juga pernah melaporkan langsung dari ruang sidang. Liputan terkait kasus Ferdy Sambo ini juga mendapat porsi yang sangat masif di media massa dan media sosial. Di satu sisi, siaran langsung persidangan memang dapat membuat persidangan berjalan lebih akuntabel dan transparan. Sebaliknya, peliputan yang sangat masif dapat memicu persoalan baru.
Saat stasiun televisi atau kanal YouTube menyiarkan live persidangan maka salah satu hal yang mendasarinya adalah logika akumulasi kepentingan ekonomi. Logika ini yang menggerakkan berbagai program siarannya, termasuk dalam siaran langsung. Dalam kaitan inilah kompetisi antar stasiun televisi untuk memperebutkan penonton tak terelakkan. Konsekuensinya, dibutuhkan pembeda atau diferensiasi agar televisi dapat menang.
Agar beda dan dilirik pemirsa, tak jarang televisi melakukan dramatisasi terhadap peristiwa yang disiarkan. Maka tak menutup kemungkinan bahwa dalam siaran langsung persidangan upaya membuat pengadilan lebih akuntabel bisa mungkin berubah menjadi ruang untuk mengakumulasi keuntungan melalui dramatisasi. Hal inilah yang menjadi dilema dalam penyiaran persidangan di media massa.
Selain itu, gegap gempitanya siaran persidangan kasus tertentu juga berpotensi memunculkan penghakiman oleh media (trial by the press) dan penghakiman oleh para pengguna media sosial (trial by the medsos). Untuk itu persidangan kasus hukum secara live harus benar-benar menjunjung dan menghormati proses peradilan bukan justru menjadi sarana pembentukan opini tertentu yang justru melenceng dari proses hukum yang sedang berjalan.
Jangan sampai siaran persidangan justru menjadikan proses hukum menjadi tak akuntabel dan hanya menjadi panggung sirkus bagi para pakar dan sejumlah orang yang sok tahu fakta hukum yang ujung-ujungnya hanya menjadi disinformasi yang semakin membuat rumit keadaan. (*)