Oleh: Khoen Eka Anthy S.A., Guru SMA Muhammadiyah 3 Batu
Masih ingat dengan kata-kata bijak yang berbunyi belajar di waktu muda bagaikan mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagaikan melukis di atas air? Ya, kata-kata itu sangat akrab di telinga kita. Maknanya adalah seseorang yang belajar di waktu kecil akan mudah menerima apa yang dipelajarinya. Sedangkan ketika belajar di waktu dewasa akan sangat susah karena mudah lupa dengan yang dipelajarinya.
Belajar yang dimaksud dalam hal ini tentunya sangat luas. Tak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan umum atau ilmu agama saja, termasuk belajar tentang etika dan kesantunan. Tak dimungkiri, masa sebelum balig dan balig (sampai dengan 15 tahun) adalah masa emas untuk belajar. Pada masa itu seseorang punya ingatan yang kuat, tak mudah lupa. Karenanya, tak salah bila diibaratkan dengan mengukir di atas batu.
Kita tahu bagaimana sifat batu. Keras dan ajeg, tahan lama. Apa yang diukir di atasnya akan bertahan lama. Benda-benda purbakala semacam prasasti yang berupa ukiran tulisan di atas batu, sampai ribuan tahun tetap dapat dipelajari apa yang diukir di sana. Sementara itu, masa dewasa yang berkolerasi dengan sifat pelupa, diibaratkan sifat air yang mudah berubah, menandakan sesuatu yang cepat hilang dan berlalu.
Terkait dengan kata-kata bijak “belajar di waktu muda bagaikan mengukir di atas batu”, seyogianya orang tua dan guru memanfaatkan moment tersebut untuk sebanyak-banyaknya membelajarkan adab, menanamkan ilmu dan karakter positif dalam diri anak.
Jika dihubungkan dengan visi dan misi Kementerian Pendidikan Kebudayaan saat ini, dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024, maka karakter utama yang harus ditanamkan pada diri anak adalah karakter Profil Pelajar Pancasila.
Bahwa, pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hal itu ditandai dengan adanya enam ciri utama, yaitu 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, 2) berkebinekaan global, 3) bergotong royong, 4) mandiri, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif.
Sebagai orang tua kedua, pendidik di sekolah berkewajiban untuk mendorong keterlaksanaan visi misi tersebut dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menyediakan bacaan sastra yang ramah anak. Ada banyak bacaan sastra untuk anak, misalnya fabel, dongeng, atau cerita rakyat. Hanya saja, sering kita jumpai bacaan yang memuat kekerasan padahal bacaan itu untuk anak. Misalnya dalam cerita rakyat Asal Usul Tari Guel, terdapat kutipan: Hal ini membuat Raja Linge iri dan gusar, sehingga mengancam akan membunuh kedua anak tersebut. Malang bagi Muria, ia berhasil dibunuh. Kata “mengancam”, “membunuh kedua anak”, “dibunuh.” Kata-kata tersebut jelas mengandung kekerasan.
Pada Hikayat Bunga Kemuning, juga terdapat adegan kekerasan yang dideskripsikan secara gamblang. Dalam kutipan: Kemudian para putri beraksi, mereka membekapPutri Kuning dan memukul kepala gadis tersebut. Tidak disangka pukulan keras ini membuat si Bungsu kemudiantewas seketika.
Kata “membekap”, “memukul kepala”, “tewas”, tentu memunculkan bayangan tentang aksi perundungan dan penganiayaan. Hal itu akan menyebabkan anak-anak yang mendengar atau membaca kisah itu akan berimajinasi tentang adegan kekerasan tadi.
Dua contoh cerita rakyat tersebut dapat dibaca sendiri oleh anak-anak melalui internet. Maka, seyogianya guru tidak langsung meminta siswanya untuk membaca dari internet. Mengingat anak-anak sangat mudah belajar, mengingat, dan menyerap informasi, guru hendaknya menjadi penyedia bacaan bagi siswanya.
Guru bisa mengunduh file cerita tersebut, untuk kemudian bahasanya diperhalus untuk mengganti diksi yang memuat kekerasan tersebut. Misalnya kata “membekap”, “memukul kepala”, diganti dengan satu kata: “menyakiti”, “membunuh” bisa diganti dengan “memberi hukuman”, untuk kata “mengancam” diganti dengan “menakuti” untuk kata “tewas” diganti “meninggal.”
Memang tidak semua cerita rakyat memuat bahasa yang mengindikasikan kekerasan melalui perilaku tokoh-tokohnya. Banyak cerita rakyat yang menggunakan bahasa yang santun. Namun demikian, guru perlu tetap selektif dan mencermati isi cerita sebelum dibaca oleh anak-anak.
Dua jenis cerita lain yang dapat dijadikan sebagai bahan bacaan untuk menanamkan karakter profil pelajar Pancasila adalah dongeng. Dongeng adalah salah satu cerita rakyat yang cukup beragam cakupannya serta berasal dari berbagai kelompok etnis, masyarakat, atau daerah tertentu di berbagai belahan dunia.
Dalam KBBI, disebutkan bahwa dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi, (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh). Dongeng ada bermacam-macam jenisnya, salah satunya adalah fabel. Wikipedia memberikan definisi tentang fabel, yaitu cerita yang menceritakan kehidupan hewan yang berperilaku menyerupai manusia.
Fabel adalah cerita fiksi atau khayalan belaka. Kadang kala fabel memasukkan karakter minoritas berupa manusia. Cerita fabel juga sering disebut cerita moral karena mengandung pesan yang berkaitan dengan moral. Contoh fabel yaitu “Si Kancil dan Kura-Kura”, “Kancil Cerdik dan Buaya”, serta “Semut dan Belalang”.
Untuk siswa yang masuk usia remaja, fabel dirasa kurang sesuai. Umumnya remaja yang ada pada masa transisi lebih menyukai cerpen bertema cinta dan persahabatan. Sebab, itu sesuai dengan apa yang sedang mereka alami. Jenis karya sastra berbentuk cerpen mudah dijumpai di internet. Bahkan, banyak aplikasi yang menyediakan cerpen atau novel. Misalnya Webtoon, Webnovel, Fizzo Novel, Storial.co, innovel, dan lainnya. Bermunculan pula platform daring yang memungkinkan penggunanya untuk membaca dan menulis cerita. Namun, guru harus mengecek cerita yang dari berbagai platform tersebut, sebab tak jarang cerita-cerita yang diunggah di sana memuat kekerasan hingga pergaulan bebas.
Dengan demikian, sebenarnya sastra adalah media yang efektif untuk menyisipkan nilai-nilai moral pada anak. Tinggal bagaimana guru dan orang tua peduli dan ikut mencermati bacaan sastra yang dikonsumsi oleh anak-anak agar karakter yang tertanam pada diri mereka adalah karekter positif yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.(*)