spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Sekolah Ramah Anak

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Zulfiyah
Pengajar PAUD-SD Islam Anak Negeri Ngenep
Karangploso Kabupaten Malang

Maraknya kasus perundungan (bullying), kekerasan, dan pelecehan seksual di sekolah dan lembaga pendidikan akhir-akhir ini menunjukkan betapa pentingnya sekolah ramah anak. Hal ini semakin mendesak seiring memasuki masa penerimaan peserta didik baru (PPDB) dan dimulainya sekolah. Pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait punya tugas dan peran untuk memastikan terwujudnya sekolah ramah anak tersebut.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sekolah ramah anak merupakan institusi pendidikan yang mampu menjamin, memenuhi, dan menghargai hak-hak serta partisipasi anak. Serta mampu memberikan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya selama mengenyam pendidikan.

Konsep sekolah ramah anak bukan sekadar membuat bangunan sekolah dan fasilitas fisik yang nyaman untuk anak dalam bersekolah. Tetapi juga yang lebih penting adalah memastikan mereka merasa aman dan terlindungi, serta apa yang menjadi kebutuhannya terpenuhi. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 4 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Konsep sekolah ramah anak ini melibatkan partisipasi, kontribusi, dan sinergitas tiga pilar, yakni sekolah itu sendiri, orang tua, dan murid atau anak-anak. Ketiganya secara bersama-sama perlu menciptakan kondisi sekolah yang bersih, rapi, indah, sehat, aman, nyaman, dan inklusif.

Pilar pertama adalah sekolah, mencakup di dalamnya para guru, fasilitas fisik dan non-fisik, termasuk kurikulum, dan seluruh komponen yang menjadi bagian dari sebuah institusi pendidikan yang disebut sekolah. Sekalipun begitu, guru adalah elemen paling esensial, sebab guru adalah kurikulum yang hidup (living curriculum).

Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga sahabat dan orang tua anak di sekolah. Kepadanya anak-anak memperoleh inspirasi, motivasi, penanaman karakter, dan pembentukan jati diri. Karena itu, kapasitas dan kompetensi guru untuk memastikan terwujudnya sekolah ramah anak perlu dikembangkan. Pemerintah perlu memfasilitasi para guru untuk mengembangkan potensi dan kapasitas dirinya untuk terus menjadi lebih baik.

Hal tersebut di atas menjadi semakin penting seiring banyak kasus di mana guru sendiri yang justru menjadi bagian dari kekerasan ataupun pelecehan seksual di sekolah. Kasus terbaru pada awal 2024 misalnya, oknum guru di salah satu SMA di Maluku Tengah melakukan kekerasan fisik dan kekerasan verbal terhadap lima siswanya.

Atau, oknum guru di sebuah SMP di Sulawesi Tengah yang melakukan pelecehan seksual kepada 17 siswinya. Akumulasi dari banyak kasus yang banyak kita saksikan di media bukan tidak mungkin akan menciptakan kesan buruk pada institusi pendidikan. Jika demikian, lalu ke mana lagi pendidikan ramah anak itu akan dicari?

Pilar kedua adalah orang tua. Terwujudnya sekolah ramah anak juga menempatkan peran penting orang tua di rumah. Merekalah yang setiap hari lebih banyak berinteraksi dengan anak. Bahkan orang tua adalah sekolah pertama dan utama bagi anaknya. Karena itu, setiap orang tua juga perlu menyadari bahwa hubungan mereka dengan anak di rumah punya pengaruh dengan hubungan anak dengan sesamanya di sekolah.

Dalam banyak kasus, anak-anak yang melakukan perundungan, kekerasan, bahkan pelecehan seksual di sekolah, perilaku tersebut terbentuk dari pengalaman mereka di lingkungan keluarga. Anak-anak yang dididik dengan kata-kata kasar dan tindakan keras akan membentuk karakter anak yang kasar dan keras pula. Akibatnya, di sekolah dia berpotensi untuk melakukan hal yang sama dalam relasinya dengan sesama siswa atau bahkan dengan gurunya.

Ada banyak kasus yang dapat dirujuk terkait bagaimana siswa melakukan perundungan atau kekerasan dengan sesama temannya karena pelaku juga merupakan korban kekerasan oleh orang tuanya di rumah. Karena itu, orang tua perlu menyadari bahwa terwujudnya sekolah ramah anak juga ditentukan oleh bagaimana mereka mendidik dan memperlakukan anaknya di rumah. Artinya, orang tua tidak boleh menggantungkan semua beban pendidikan hanya pada sekolah.

Pilar ketiga adalah anak-anak atau murid itu sendiri. Terwujudnya sekolah ramah anak juga ditentukan oleh perilaku, kebiasaan, dan relasi sosial para murid. Juga pemenuhan hak-hak anak untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam berbagai aktivitas di sekolah. Karena itu salah satu prinsip sekolah ramah anak adalah bahwa setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penyelenggara pendidikan harus sesuai dengan anak didiknya.

Lebih daripada itu, mewujudkan sekolah ramah anak bukanlah proses instan. Dibutuhkan kerja sama, kerja keras, dan kerja kolaboratif semua pihak untuk secara konsisten dan berkelanjutan mendorong terpenuhi prinsip-prinsip sekolah ramah anak.

Beberapa di antaranya adalah bahwa sekolah tidak boleh diskriminatif terhadap anak, kepentingan anak harus dikedepankan, pandangan setiap anak harus dihargai, pembelajaran yang menyenangkan, serta suasana sekolah yang aman dan nyaman.

Kita semua mendamba sekolah ramah anak. Agar anak-anak dapat bersekolah dengan riang dan gembira, memperoleh perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya, bergaul dan bermain dengan senang, serta merasa bahwa sekolah adalah tempat yang menyenangkan.

Dan, semua itu berawal dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini dan sekolah dasar. Agar kelak, kita bisa menggantungkan harapan pada setiap anak bangsa demi tercapainya cita-cita Indonesia Emas 2045 mendatang, ketika anak-anak kita kelak memasuki usia produktif dan menjadi bagian dari bonus demografi.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img