MALANG POSCO MEDIA- Suara pecut jaranan dengan iringan musik tradisional menggelegar di Taman Krida Budaya, Minggu (7/5) kemarin. Seni tradisional khas Malang ini jadi magnet besar. Sebab seni Tari Jaranan dengan paduan musik gendang ini ditampilkan dengan ciamik.
Jaranan ditampilkan puluhan kelompok seni jaranan yang berasal dari seluruh penjuru Kota Malang. Mereka menampilkannya dengan sangat atraktif. Bahkan salah satu kelompok mengangkat tema yang cukup unik. Seni jaranan dipadukan dengan isu terkini, yaitu Tragedi Kanjuruhan.
Penggambaran tiap tokohnya pun sangat pas. Pasukan berkuda sebagai Aremania, Celeng sebagai sosial media penebar hoax hingga Barongan sampai Kucingan yang menjadi oknum petugas. Alhasil decak kagum masyarakat yang menonton pun begitu riuh terasa saat itu
Secara umum, seni jaranan memang mengangkat tiga tokoh utama. Yakni Kuda lumping, Celeng dan Barong. Tiap tokoh itu mempunyai karakter tarian masing masing. Kuda atau jaran ditarikan dengan gaya menunggangi, lalu untuk celeng hanya dibawa dan ditarikan dengan dua tangan di depan. Sementara penari barong, wajah penarinya ditutupi dengan karakter topeng barong.
Begitu juga dengan puluhan kelompok seni lain yang tidak kalah memukau. Mereka sukses memikat animo masyarakat. Terlebih setelah cukup lama tidak ada acara jaranan yang cukup besar digelar di Kota Malang.
Wali Kota Malang Drs H Sutiaji menyampaikan acara bertajuk Festival Jaranan yang digelar Pemkot Malang itu merupakan bagian dari komitmen untuk melestarikan budaya. Ini juga merupakan bagian dari rangkaian HUT ke 109 Kota Malang
“Yang mengukir budaya seperti ini luar biasa. Maka ayo menjadi anak bangsa yang bangga terhadap akar budaya bangsa. Ingat Trisaktinya Bung Karno, bangsa yang besar dan kita akan maju ketika orang- orang itu benar-benar memiliki kebanggaan pada akar budayanya,” terang Sutiaji selepas membuka Festival Jaranan.
Menurut Sutiaji, tugas saat ini hanya melestarikan. Terlebih budaya merupakan kekayaan lokal yang bernilai tinggi dan saat ini didorong menjadi daya tarik internasional.
“Ini menjadi tujuan kita bersama. Hanya sekadar merawat saja kadang kita sering melupakan. Mudah-mudahan kita bisa memaknai apa yang telah dituangkan dan diinisiasi oleh orang orang tua kita,” tukasnya.
Dalam Festival Jaranan itu, tiap kelompok berlomba menampilkan Tarian Jaranan untuk menjadi yang terbaik. Beberapa aspek penilaian di antaranya mulai dari Wirogo, yakni bagaimana interpretasi gerak tubuh dalam menarikan jaranan. Apakah bisa menggambarkan seperti ‘jaran’ atau bukan. Kemudian Wilongo. Bagaimana interpretasi gerak dengan musik, atau harmonisasi hingga power dalam irama.
“Lalu juga Wiroso. Atau penghayatan penari menarikan jaranan. Keempat kreativitas secara kemasan seni tari tradisional lebih menarik,” terang salah satu juri Tri Wahyuningtyas, yang juga dosen seni tari UM.
Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata Kota Malang Baihaqi menyampaikan total ada sebanyak 36 kelompok seni jaranan yang memeriahkan Festival Jaranan. Rata-rata berusia 16 tahun hingga 30 tahun.
“Kegiatan ini juga dilakukan penilaian dalam rangka festival, tetapi tidak ada pemenang. Hanya ada penampilan terbaik dan sembilan penampilan terbaik akan mendapatkan trofi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Yang nantinya akan diikutkan lagi ke event yang lebih besar di tingkat Jawa Timur,” pungkas Baihaqi. (ian/van)