spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

SIAPA DALANG ABUSE OF POWER?:  DALAM PUTUSAN BATAS USIA PENCALONAN PILKADA

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Baru-baru ini dunia politik di negeri ini kembali dihebohkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan batasan usia dalam pencalonan kepala daerah yang intinya menaikkan batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur menjadi 30 tahun dan 25 tahun untuk calon Bupati dan Wakil Bupati, Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.

MA seakan keluar dari tugas konstitusionalnya dengan mengkaji peraturan yang tidak dibawah undang-undang. Keputusan MA ini dinilai tidak demokratis serta tidak ada kepastian hukum dikarenakan proses pencalonan kepala daerah tengah berlangsung. Alangkah baiknya apabila decission making dikaji dan ditetapkan sebelum proses atau sesudah proses pencalonan kepala daerah dilaksanakan. Dugaan dan asumsi awal dari narasi yang ditulis oleh Ajid Fuad Muzaki dan dimuat oleh rumahpemilu.org menyatakan bahwa putusan ini digunakan untuk mengakomodir proses pencalonan putra bungsu Presiden Joko Widodo. Kaesang Pangarep secara aturan memang tidak dapat mencalonkan sebagai seorang kepala/wakil kepala daerah dikarenakan usia yang belum genap 30 tahun sejak penetapan pasangan calon. Bak gayung bersambut Mahkamah Agung secara kilat mengubah persyaratan usia calon kepala daerah menjadi 30 tahun saat dilantik, bukan saat ditetapkan dalam rangkaian proses pemilihan umum.

Sebagai dasar acuan, fenomena ini bertolak belakang dengan tanggapan berbagai ahli tentang kekuasaan kehakiman yang dicetuskan oleh montesque untuk menjadikan kekuasaan yang seimbang. Penulis berasumsi bahwa fenomena ini dilatarbelakangi oleh kepentingan politis dari pemerintahan yang berkuasa yang bermuara pada kekuasaan yang elitis (dikuasai oleh segelintir orang). Dengan demikian fenomena ini dapat membuktikan teori dari Niholo Machiavelli dengan dalil untuk menghalalkan segala cara demi meraih sebuah kekuasaan. Beberapa waktu yang lalu Indonesia juga diguncang oleh perubahan persyaratan usia wakil presiden untuk mengakomodir salah satu calon.

Ketika dikonfirmasi oleh rumahpemilu.org, MA menyatakan bahwa keputusan ini digunakan untuk mengakomodir kepentingan dari anak muda, Pertanyaannya apakah keputusan ini mampu untuk menjadi wadah bagi anak muda guna memajukan atau setidaknya memperbaiki tata kelola pemerintahan di Indonesia? Atau putusan ini hanya untuk mengafirmasi kepentingan salah satu aktor? Ketika dianalisis lebih lanjut, kedua putusan baik dari MK tentang batas usia cawapres dan putusan MA tentang batas usia pencalonan kepala daerah memiliki pola dan perilaku yang sama. Pola dan perilaku yang sama ini menciptakan opini publik yang seakan instrumen hukum mampu untuk menormalisasi putusan-putusan yang dianggap bertentangan.

Tulisan ini mencoba untuk menganalisa fenomena putusan MA dengan menggunakan pandangan Michael Foucault. Sebagai pengantar Foucault bergagasan bahwa kekuasaan merupakan suatu dimensi dan relasi. Isu daripada relasi kuasa merupakan esensi dari menjalankan kekuasaan. Selanjutnya kekuasaan adalah soal praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola perilaku, hingga kekuasaan didapatkan dengan cara yang manipulatif dan hegemonic. Sehingga pada akhirnya praktik berkuasa adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain untuk mendukung tujuan dari pemilik kekuasaan. Dengan demikian akan timbul pertanyaan mendasar, apakah ada peran seorang presiden dalam diberlakukannya putusan ini?

Pada beberapa kesempatan presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa beliau tidak memiliki andil dalam proses formulasi keputusan ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Sekretaris Negara Praktikno yang dimuat dalam Majalah Tempo: “Kalau keputusan lembaga yudikatif, pemerintah tidak berkomentar mengenai itu,”

Hal ini dianggap oleh penulis sebagai bentuk lempar batu istana terkait dengan fenomena yang terjadi. Penulis juga beropini bahwa putusan MA ini merupakan paket kesepakatan Presiden Jokowi menjelang akhir masa jabatannya guna melanggengkan kekuasaan Jokowi. Ditinjau dari sisi teori kekuasaan Michael Foucault, Jokowi yang merupakan pimpinan tertinggi lembaga eksekutif mampu untuk memberikan pengaruhnya kepada lembaga lain guna mencapai tujuan yang telah ditargetkan.

Sedikit flashback kebelakang, bahwa ketua MA merupakan jabatan yang dipilih oleh hakim agung dan proses pencalonan hanya diperbolehkan oleh hakim agung. Lantas bagaimana proses seseorang untuk menjadi hakim agung? Proses ini merupakan wewenang dari presiden. Hal ini menimbulkan bagaimana relasi kekuasaan berubah menjadi bargaining politic. Banyak terjadi pemilihan hakim agung yang merupakan “orang-orang” penguasa sehingga mereka mampu untuk mempengaruhi ranah yudikatif guna mencapai kepentingan yang telah ditarget.

Relasi antar actor yang tercipta secara teoritis memang tidak ideal dalam proses bernegara secara demokratis. Penyelewengan kekuasaan atau yang sering dikenal dengan istilah Abuse of Power menjadi bayang-bayang negara demokratis. Peranan presiden yang terlalu absolute dikhawatirkan mampu untuk menabrak berbagai peraturan perundangan yang telah lama menjadi landasan bernegara. Peranan eksekutif yang terlalu dominan juga akan melemahkan peran lembaga yudikatif yang tujuan utamanya dibentuk untuk mencipatakan check and balance dalam menjalankan kehidupakan bernegara. Kritik dari penulis juga terletak pada lembaga legislative yang seakan kehilangan taringnya dalam kasus ini. Fenomena ini membuktikan bagaimana kondisi politik di Indonesia yang sarat akan transaksional. Hubungan antar actor juga menjadi kunci bagaimana buruknya kehidupan bernegara di Indonesia. (*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img