.
Thursday, December 12, 2024

Signifikansi Persaudaraan Manusia Internasional

Berita Lainnya

Berita Terbaru

 “Kalau manusia menyadari hakikat jati dirinya sebagai insan yang harus hidup harmonis, bergerak dinamis, dan mau melupakan kesalahan orang lain, maka tentulah akan lahir toleransi yang diharapkan.”

Prof. Dr. M. Quraish Shihan, MA.

Piagam Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia yang ditandatangani Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb dan Pemimpin Gereja Vatikan Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi adalah dokumen bersejarah yang menyejarah. Majelis Umum PBB telah menetapkan 4 Februari sebagai Hari Persaudaraan Manusia Internasional.

Sejak itu, dokumen tersebut menjadi perhatian dan menginspirasi banyak tokoh dunia di berbagai negara. Ada yang menginternalisasikannya dalam konstitusi, banyak juga negara yang memasukkannya dalam kurikulum pendidikan. Dalam konteks Indonesia, sikap persaudaraan sekemanusiaan sangat relevan dan signifikan bagi upaya penguatan moderasi beragama serta peran aktif Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Sebagai makhluk sosial, setiap manusia pasti hidup di tengah masyarakat yang beragam. Beragam agamanya, beragam warna kulitnya, beragam bahasanya, beragam adat serta budayanya. Al-Qur’an pun telah menegaskan bahwa keragaman dan perbedaan tersebut adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan.

Kendati berbeda agama sekalipun, Islam sejak awal memberi sumbangsih bagi terciptanya hidup bersama dalam bingkai persaudaraan. Hal ini sejalan dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurāt ayat 10 yang menyatakan bahwa orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.

Bahkan, dalam surat Al-Hujurāt ayat 13, Al-Quran juga memerintahkan agar setiap manusia saling mengenal dan memperkuat hubungan persaudaraan di antara manusia sebab semuanya berasal dari ayah dan ibu yang satu.

Islam sebagai agama yang memiliki nilai-nilai luhur, mengajak semua pengikut agama-agama pada satu cita-cita bersama, yaitu kesatuan umat manusia (unity of human kind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, budaya dan agama. Kelahiran Islam memang ditujukan untuk membangun persaudaraan sekemanusiaan secara universal.

Faktor universalitas persaudaraan itulah Islam mengajak dialog semua insan beragama demi mencapai satu titik temu. Dialog tentu bukan sebatas percakapan, melainkan pertemuan antara kejernihan pikiran dan ketulusan hati mengenai persoalan bersama, yang tujuannya agar setiap pemeluk agama dapat belajar dari yang lain sehingga terjadi perubahan ke arah kehidupan yang damai nan menyejukkan.

Dialog senyatanya dilakukan secara terbuka dan jujur hingga membawa pada kesaling-pengertian (mutual under-standing). Dengan demikian, prasangka, stigma, dan caci maki, dapat dikurangi dan dihilangkan. Pada saat yang sama, dialog memupuk rasa saling percaya (mutual trust) dan permakluman atas perbedaan dan keunikan di antara agama-agama dan budaya hidup keberagamaan.

Keragaman dan perbedaan merupakan bagian dari sunnatullah yang tidak bisa ditolak kehadirannya. Dalam konteks kebangsaan, keberadaan masyarakat yang heterogen adalah karunia terindah bagi bangsa Indonesia yang harus dirawat bersama, agar benar-benar menjadi bangsa yang beradab dan masyarakat yang mendapatkan ampunan-Nya menuju cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.

Namun fakta di lapangan, masyarakat kerap dipertontonkan oleh berbagai media bahwa di sebagian wilayah, ada masyarakat yang belum memahami tentang arti sebuah perbedaan. Suatu komunitas, bangsa, dan negara tidak akan berdiri dengan tegak, bila di dalamnya tidak terdapat persaudaraan.

Salah satu upaya memperkuat persaudaraan ialah dengan mengajarkan nilai-nilai persaudaraan sejak dini dengan membiasakan budaya kebersamaan serta persatuan tanpa adanya sekat-sekat agama, ras maupun kebangsaan. Itulah yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan bagaimana beliau sangat menghormati orang lain, termasuk kepada yang berbeda agama. Dalam sebuah riwayat disebutkan, beliau berdiri sebagai tanda penghormatan saat ada iringan jenazah yang melewatinya. Ketika diinformasikan bahwa jenazah itu adalah orang Yahudi, Rasulullah menjawab, “Bukankah dia juga manusia?”

Betapa indahnya ajaran Islam yang mengajarkan umatnya untuk menghormati sesama, apapun agamanya, baik dalam keadaan hidup maupun dalam keadaan mati. Itulah salah satu kunci kesuksesan Rasulullah SAW dalam membangun peradaban Islam dimulai dari konsep mempersaudarakan antara penduduk Madinah yang heterogen.

Dalam catatan sejarah, di Madinah ada Suku Auz dan Khazraj yang selalu berkonflik selama ratusan tahun. Mereka berhasil dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW dalam syariat Islam.

Sejak berhijrah ke Madinah, hal pertama yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah menyatukan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin dalam ikatan persaudaraan atas dasar keimanan. Tujuan Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin agar terjalin sikap kekeluargaan yang saling tolong-menolong di antara mereka.

Firman Allah SWT, “Dan seandainya Allah menghendaki, niscaya kalian sudah dijadikan satu umat, akan tetapi Allah ingin menguji kalian atas apa yang telah diberikannya kepada kalian, maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan.’’ (Q.S. Al-Māidah: 48).

Ayat di atas memotivasi umat Islam untuk senantiasa merawat signifikansi persaudaraan sekemanusiaan di tengah ragam perbedaan, baik perbedaan bangsa maupun agama. Penghargaan umat Islam terhadap keragaman dan perbedaan justru akan memperkokoh sendi-sendi kebangsaan, kemanusiaan, dan keberagamaan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img