.
Sunday, December 15, 2024

Sistem Pemilu Tertutup Mencederai Konstitusi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

 

Landasan hukum Pemilu dalam Pasal 22 E UUD 1945 adalah bukti identitas bahwa Indonesia merupakan negara yang demokrasi. Sebagaimana menurut L. Diamond (1999) dalam bukunya yang berjudul Developing Democracy: Toward Consolidation, implikasi demokrasi pada suatu negara mematikan kediktatoran untuk memunculkan Pemilu yang diikuti masyarakat secara bebas dan adil, sekaligus sebagai sarana pengawasan kekuasaan negara secara terus menerus.

Gagasan demokrasi di atas menjadi landasan berpikir terhadap spekulasi tawaran Pemilu di Indonesia dengan sistem proporsional tertutup. Mengingat mekansme Pemilu proporsional tertutup mengakibatkan konstituen tidak lagi secara bebas memilih kandidat.

Akan tetapi yang dipilih adalah Partai. Partai yang berwenang penuh menentukan kader yang berhak maju ke meja legislatif melalui urutan yang telah ditentukan.

Spekulasi Pemilu proporsional tertutup di Indonesia bukan hanya sekadar pepesan kosong. Beberapa kader Partai Politik nekat membawa ide ini ke MK. Artinya, potensi transisi sistem Pemilu dengan proporsional tertutup sangat dimungkinkan terjadi untuk menggantikan sistem dengan proporsional terbuka. Sehingga, nasib sistem penyelenggaraan Pemilu apakah menggunakan proporsional tertutup atau terbuka berada di tangan MK.

Bukan negara demokrasi apabila tidak ada perdebatan. Isu seputar Pemilu tertutup menjadi pro dan kontra di kalangan tokoh politik. Mereka yang menginginkan Pemilu tertutup berdalih ingin memutus celah politik uang yang kerap muncul pada Pemilu terbuka.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah dengan digantinya sistem Pemilu ada jaminan menyelesaikan persoalan Pemilu yang ada? Bisa jadi berubahnya sistem Pemilu justru menjadi neo-diktator politik untuk membelenggu hak demokrasi rakyat yang dilindungi konstitusi.

Kemunduran Demokrasi

  Secara hukum, tidak ada alasan kuat mengapa sistem Pemilu terbuka di Indonesia harus diubah. Sampai saat ini, tidak ada problematika konstitusional terhadap UU Pemilu. Mengingat Pemilu merupakan instrumen untuk mengakomodir kedaulatan rakyat yang dilindungi dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.     Karena tidak ada problem, artinya UU Pemilu tetap berkepastian hukum. Sehingga secara yuridis-normatif, tidak ada alasan hukum yang kuat mengapa sistem Pemilu diubah. Usulan perubahan sistem Pemilu justru merupakan bentuk pemaksaaan hukum yang sebelumnya sudah dianggap proporsional.

  Ide gagasan sistem Pemilu tertutup merupakan spekulasi yang mendegradasi demokrasi tanah air era globalisasi saat ini. Apabila sistem Pemilu tertutup terealisasi, maka ini merupakan bentuk kemunduran demokrasi Indonesia yang terjebak mundur lagi ketahun 1955, Pemilu Orde Baru dan Pemilu 1999. Sistem Pemilu di masa lalu tidak bisa diterapkan lagi karena saat ini sudah memasuki era keterbukaan informasi.

  Era keterbukaan informasi seharusnya bisa menjadi landasan berpolitik lebih dinamis. Disrupsi media sosial dapat dimanfaatkan kandidat untuk memperat relasi dengan masyarakat dalam mewujudkan iklim demokrasi yang kompetitif.          Apabila Pemilu tertutup diberlakukan kembali, menurut penelitian S. Schuck (2007), Indonesia akan kembali memasuki fase demokrasi yang terombang-ambing di masa lalu akibat ketidakpastian hukum yang sarat politis. Mengingat sistem Pemilu tertutup di masa lalu banyak catatan merah terutama sulitnya menciptakan iklim demokrasi yang kompetitif dan sehat. Kondisi itu yang berpotensi menghidupkan oligarki politik di masa kini karena asas keadilan dan pemerataan tidak berjalan mulus.

Pemilu Tidak Transparan

  Prinsip “luberjurdil” dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 merupakan landasan penyelenggaraan Pemilu yang transparan. Prinsip ini merupakan dasar hak konstituen atas informasi profil kandidat kontestan politik. Sedangkan mekanisme Pemilu tertutup yang hanya memilih Partai, menurut Norris (2004) akan berdampak mengurangi informasi konstituen terhadap calon kandidat yang akan berkompetisi di internal Partai.

  Kurangnya informasi kandidat dalam sistem Pemilu tertutup mereduksi hak inklusif konstituen dalam memilih wakilnya. Hal ini karena konstituen tidak bisa melihat track record kandidat akibat hanya memilih Partai. Atau lebih tepatnya sistem ini identik dengan istilah “membeli kucing dalam karung.”      Padahal berdasarkan Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008, MK memberikan ruang bagi rakyat untuk bisa mengenal, memilih, dan menetapkan wakil mereka. Hak ini yang kurang dijunjung tinggi oleh sistem politik tertutup serta merintangi hak politik yang dilindungi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).  

Reduksi hak inklusif dalam sistem Pemilu tertutup akan menyulitkan konstituen dalam meninjau kualitas kandidat. Padahal peninjauan kandindat memiliki urgensi penting. Sebagaimana menurut Persson (2000), peninjauan kandidat merupakan sarana penyaringan untuk menghindari kontestan yang korup.

  Kondisi tersebut menjadi peluang bagi elit politik Partai mendominasi penentuan kader yang berhak maju ke meja legislatif. Padahal menurut J. Kunicova & S.R. Ackerman (2002), peran konstituen dalam Pemilu memiliki fungsi untuk menggulingkan wakil-wakilnya yang korup.

  Fenomena kurangnya transparansi akibat dominasi elit politik terlihat pada negara-negara yang melaksanakan sistem Pemilu tertutup. Misalnya di Rusia, berdasarkan penelitian B. Moraski (2013), penerapan sistem Pemilu tertutup di negara tersebut menjadikan Partai Politik memiliki kekuasaan otoriter untuk mendominasi legislatif nasional.

  Kemudian di Argentina, menurut penelitian E. Aleman (2021), sistem Pemilu tertutup di negara tersebut memunculkan istilah “teori kartel dalam Pemilu.” Pimpinan Partai di Argentina cenderung mendorong legislator untuk memuaskan konstituen meskipun loyalis Partai harus dibayar mahal selama menguntungkan prospek Pemilu.

Problematika transparansi Pemilu pada sistem Pemilu tertutup juga terjadi di Spanyol. T. Verge & Wiesehomeier (2018) dalam penelitiannya mengungkapkan sistem Pemilu tertutup di sana mengakibatkan diskriminasi pada kandidat perempuan.

  Problem tersebut justru melanggar hak egaliter gender dalam politik sebagaimana konsep sederajat pada prinsip equality before the law. Dan yang paling bahaya dalam sistem Pemilu tertutup juga diungkapkan oleh V. Galasso (2015), bahwa penentuan kader dalam sistem politik tertutup berpotensi kurang objektif karena dapat dilakukan berdasarkan transaksi politik atau hanya memilih loyalis Partainya saja.

  Akhirnya, sistem Pemilu tertutup kurang relevan diterapkan di Indonesia karena mencederai hak politik yang dilindungi konstitusi. Sistem Pemilu tertutup bukan ide yang dinamis melainkan menjadi kemunduran demokrasi dan berpotensi membuat Partai semakin otoriter.

  Konstituen yang hanya memilih Partai akan sulit mengetahui profil track record kandidat. Sedangkan penentuan kandidat oleh Partai berpotensi tidak objektif karena dapat dilakukan berdasarkan transaksi politik ataupun hanya memilih loyalisnya saja.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img