Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Eksistensi Syiah di Indonesia telah banyak ditulis, baik segi perkembangan historis dan perjuangan kedirian komunitas, maupun sebagai target kekerasan sektarian. Segi yang disebutkan terakhir ini mewarnai sudut pandang penelitian-penelitian Syiah Sampang.
Studi-studi Syiah Sampang sebelumnya lebih terfokus pada isu sentimental kekerasan dan ketertindasan yang kurang prospektif terhadap perkembangan bina-damai, antara lain seperti klaim dan fatwa sektarian, konflik keagamaan, kontestasi politik, sikap sektarian, proses hukum yang meminggirkan, kepentingan hambatan pemulangan, identitas dan kehidupan marjinal pengungsi serta representasi hegemoni.
Alih-alih menggunakan perspektif yang sentimental dan berpotensi kian melembagakan konflik, perspektif ini berusaha memahami konflik dengan berimbang, komprehensif, dan menjaga posisi yang cenderung cover both sides dalam melihat realitas pasca-konflik yang terlanjur menciptakan distansi spasial dan penebalan pandangan masing-masing kubu pascarelokasi antara kubu anti Syiah di Sampang dan pengungsi internal di Sidoarjo.
Pemikiran ini mencoba memetakan, mengikat dan menjembatani modal sosial dan membangun basis epistemik yang memiliki visi stategis rekonsiliasi partisipatif dan kebijakan perdamaian yang berkelanjutan dan berdaya tahan.
Berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan oleh para peneliti, perdamaian atau islah antar pengungsi Syiah dan mantan pelaku penyerangan, sebenarnya benar-benar terjadi secara faktual. Sayangnya, beberapa kalangan dari pemerintah dan aktivis sosial meragukan modal sosial ini karena tidak ada kajian dan bukti yang akurat.
Padahal, islah tersebut berjalan secara alamiah dan telah meyegarkan kembali modal sosial yang sebelumnya terkikis karena sebelumnya tersulut fitnah, seperti norma perdamaian Islam dan lokalitas persaudaran Madura, serta jaringan kekeluargaan. Hal ini perlu ditelusuri dan dirumuskan strategi kebijakan sosial untuk mengikat dan menjembatani ke arah rekonsiliasi baru yang berkelanjutan.
Sebagaimana diceritakan Hertaning Ichlas, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia Jakarta, awalnya ketika pertemuan pertama merintis piagam perdamaian, warga Sampang yang berpartisipasi dalam islah masih menaruh kecurigaan dengan para pengungsi internal Syiah Sampang.
Mereka sempat ragu ketika istirahat di tengah perjalanan dari Kabupaten Sampang ke Kabupaten Sidoarjo. Mereka merasa takut dan berprasangka jika para pengungsi internal Syiah Sampang akan membalas dendam dan menyerang mereka ketika sampai di pengungsian.
Keraguan ini membuat mereka terhenti hingga sekitar dua jam, yang membuat para pengungsi internal menunggu dan bertanya-tanya. Mereka bersiasat, rombongan tiga mobil terlebih dahulu yang mendatangi tempat pengungsian. Sisanya, rombongan dua mobil, menunggu di sekitar pengungsian untuk berjaga-jaga seandainya terjadi sesuatu. Akhirnya, mereka sadar persepsi dan kekhawatiran mereka salah.
Pascaislah di pengungsian Sidoarjo, mantan pelaku penyerangan yang berpartisipasi mencoba sendiri meyakikan warga-warga lainnya di kampung. Ada pula yang menolak, meskipun relatif lebih banyak warga yang setuju untuk islah secara keseluruhan dan adanya reintegrasi.
Bahkan dalam proses ini ada pula seorang tokoh di Sampang, Mat Safi, yang dulunya terlibat menjadi salah satu pelaku terdepan memimpin penyerangan Syiah Sampang yang menyadari ia hanya dimanfaatkan.
Iklil Al-Milal, koordinator pengungsi Syiah Sampang, juga menyatakan hal senada. Pasca konflik sebenarnya warga di kampung halaman mulai menyadari bahwa mereka adalah korban fitnah dengan terputusnya hubungan antar keluarga dan kerabat akibat konflik bernuansa identitas Sunni-Syiah. Saat muslim Syiah berkunjung ke kampung, cukup banyak warga yang datang berkunjung menyambut mereka.
Berdasarkan penjelasan Varshney dan Tadjoedin, bagaimana memahami kegagalan keterikatan kewargaan di daerah pedesaan Sampang dalam mencegah kekerasan? Sebab-sebab yang saling terkait dapat dideteksi, seperti kurangnya keterikatan antar sekte, tidak adanya komite perdamaian dan pendisiplinan internal, dan ketidakseimbangan dan kurang adilnya integrasi antar elite Sunni dan Syiah.
Setiap penyebab dapat saling mempengaruhi. Kurangnya keterlibatan antar sekte dan tidak adanya komite perdamaian mungkin dipengaruhi oleh elite lokal memprovokasi segregasi dan memobilisasi intimidasi tanpa mekanisme perdamaian sipil.
Selain itu, pendisiplinan internal yang tidak memadai dan integrasi elite yang tidak adil mungkin karena tidak ada organisasi sipil dan jaringan sipil lintas identitas sebagai kekuatan alternatif sebagai penyeimbang kekuatan kelompok intoleran dan fasilitator membangun sinergi dengan pemerintah lokal.
Modal Sosial Sebagai Jembatan
Teori modal (capital) dan rekonsiliasi berkelanjutan (suistanable reconciliation) juga menjadi penting. Dalam beberapa tahun terakhir, inisiatif religious peace-building lebih terlihat, lebih mendesak, lebih banyak, dan lebih diakui sebagai pendekatan yang disengaja, sistematis dan proaktif untuk perdamaian.
Sebagaimana semangat orientasi riset Mohammed Abu-Nimer, pakar peace-building, yang melakukan pergeseran epistemik dari riset perang dan kekerasan yang diasosiasikan pada Islam atau agama lainnya dan menimbulkan representasi buruk, ke arah riset nir-kekerasan dan bina-damai dalam Islam yang prospektif.
Konsep capital (modal) dalam kajian magnum opus teoritisi sosial Pierre Bourdieu, merujuk pada perangkat untuk mendayagunakan sumber daya dan kuasa (the set of actually usable resources and powers).
Ia membagi konsep ini menjadi beberapa perangkat analisis, selain social capital (various kinds of valued relations with significant others), yakni cultural capital (primarily legitimate knowledge of one kind or another), symbolic capital (prestige and social honour) dan economic capital.
Seberapa besar penguasaan keempat modal ini akan mempengaruhi lanskap kekuasaan dan kontrol akan pemaknaan ruang budaya dan nuansa relasi sosial agensi dan institusi, serta konfigurasi arena (field) kontestasi dan negosiasi. Selain bermanfaat memahami dimensi konflik, ancangan teoritis ini sangat bermanfaat memahami hambatan modal social dan peluang ruang komunikasi dan pembangunan perdamaian (peace building) dalam kasus sektarian Sampang.
Robert Putnam sebagai teoritisi modal sosial, dalam studinya dalam merajut ikatan (bounding) dan menjembatani (bridging) modal sosial yang dilaborasi untuk menemukan potensi strategi rekonsiliasi yang berdaya tahan.
Hal ini untuk menyatukan unsur-unsur vital seperti jaringan sosial (keluarga, teman, masyarakat, dan asosiasi), (norma-norma bersama, nilai-nilai, dan perilaku), kepercayaan (pada orang dan lembaga), serta pola komunikasi dan partisipasi sosial yang mempengaruhi progresivitas hubungan timbal balik (reciprocity).
Nilai Tretan Dibik (saudara sendiri) dan Rampak Naong Beringin Korong (rindang dan teduh atau damai) antara lain sebagai nilai internal Madura menarik dieksplorasi dan dimanfaatkan untuk mengikat kohesi identitas etnik yang sama antar dua kelompok yang sempat berseteru.
Sementara Ukhuwah Islamiyah dan Bhineka Tunggal Ika antara lain berpotensi menjembatani persaudaraan Sunni-Syiah yang berbeda identitas sektarian. (*)