.
Sunday, December 15, 2024

‘Super Body’ KPI

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh:
Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang

          Revisi Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran masih terus menjadi polemik. Demo penolakan RUU ini masih bermunculan di sejumlah daerah. Penolakan keras datang dari kalangan pers terkait pasal pelarangan jurnalisme investigasi di media penyiaran dan platform digital. Protes juga datang dari para kreator konten yang khawatir akan nasibnya karena ada pasal yang memberi kewewenangan pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi verifikator atas semua konten digital.

          Badan Legislasi DPR sejak akhir Maret 2024 kembali merancang RUU Penyiaran setelah satu dasawarsa lebih berstatus revisi. Dalam proses pembahasan RUU ini terkesan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. RUU ini seperti memberi karpet merah pada KPI. Ada pasal yang memberi kekuasaan yang berlebihan (super body) pada KPI. KPI yang selama ini hanya mengatur industri penyiaran konvensional, kini juga dirancang bakal punya kewenangan mengatur platform digital.

          Lahirnya media baru (new media) telah memunculkan beragam platform media sosial dan media digital lainnya. Seiring dengan percepatan teknologi memang diperlukan penguatan regulasi penyiaran digital, khususnya layanan platform streaming atau Over The Top (OTT) dan berbagai bentuk konten baik tulisan, video, foto, review, dan lainnya yang dibuat oleh seseorang atau disebut dengan User Generated Content (UGC).

KPI Jadi “Super Body

          Kiprah KPI selama ini lebih terdengar sebagai tukang tegur pada praktik industri penyiaran yang menyimpang. Keberadaan KPI sebagai sebuah komisi memang tak seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selama ini KPI seperti tak bertaji, kerjanya tak lebih hanya memantau siaran televisi dan radio dan memberikan teguran dan peringatan jika dalam praktik penyiaran tersebut ada yang melanggar.

          Kalau saat ini ada usulan KPI diperkuat dengan memberikannya wewenang dapat mengatur platform digital maka perlu ditinjau dengan seksama ide ini. Merujuk pada sejumlah pasal revisi RUU yang beredar bahwa nantinya KPI akan punya peran yang super perkasa.

          Misalnya pada Pasal 34F Ayat 2 yang mengatur bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan/ atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke KPI sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).

          Pasal 34F itu membuat kewenangan KPI makin luas dan cenderung KPI menjadi “super body.” Kewenangan KPI bisa super besar dan cenderung menjadi “super body.” Padahal di negara demokratis seperti Indonesia tidak boleh ada lembaga yang memiliki kekuatan berlebih atau superbody tanpa pengawasan dari rakyat. Hal ini dikhawatirkan berpotensi terjadinya praktik dalam pengelolaan lembaga penyiaran dan platform digital yang menyimpang.

          Merujuk pasal ini berarti para pembuat konten (content creators) yang memiliki dan menjalankan akun media sosial, seperti YouTube atau TikTok, masuk dalam ranah revisi UU Penyiaran ini. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran dan membuat resah para kreator konten. Posisi KPI ini ditakutkan dapat berdampak pada kreativitas para kreator konten. Revisi UU ini memberlakukan KPI melakukan pembatasan dan penyensoran. DPR dan pemerintah seperti terlalu fokus pada aspek moralitas dan keamanan dan mengabaikan unsur ekonomi kreatif.

          Ruang-ruang digital yang selama ini banyak digunakan sebagai wadah ekspresi masyarakat sekaligus sumber ekonomi dan jejaring bisa saja jadi terhambat. Sensor dan pembatasan yang menjadi kewenangan KPI ditakutkan bisa membelenggu kreativitas dan kebebasan berekspresi. Kewenangan KPI dengan RUU Penyiaran sangat mungkin digunakan sebagai alat justifikasi untuk melakukan sensor terhadap konten dunia digital.

Tumpang Tindih Aturan

          Kalau KPI diberi kewenangan melakukan pengawasan dan penyensoran pada platform digital maka bisa terjadi tumpang tindih (overlapping) dengan peran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Lembaga Sensor Film, Dewan Pers, dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

          Selain itu, jika mengacu pada UU Penyiaran yang lama, KPI tidak memiliki kewenangan hingga verifikasi konten. Kalau sekarang ada wacana fungsi verifikasi konten juga melekat pada KPI maka peran ini bisa menjadikan KPI terlampau powerful.

          Kalau kelak RUU ini disyahkan maka semua konten yang ada di platform digital wajib melalui verifikasi konten dari KPI. Jadi KPI bisa seperti Lembaga Sensor Film yang berwenang menyensor tayangan film sebelum diedarkan atau diunggah di platform distribusinya. Hal inilah yang dikhawatirkan dapat membelenggu kreativitas para pembuat konten dan membunuh ekonomi digital.

          Sebenarnya revisi RUU Penyiaran sudah mendesak dan perlu mendapat prioritas. Revisi UU Penyiaran ini penting guna merespon perkembangan teknologi yang terjadi. UU penyiaran yang lama, yakni UU Nomor 32 Tahun 2002 sudah tak lagi bisa merespon perkembangan zaman. Revisi RUU Penyiaran kali ini merupakan perubahan kedua yang sudah digulirkan DPR sejak tahun 2012 namun hingga kini belum juga kelar.  

          RUU Penyiaran yang sedang dibahas ini belum produk yang final, sehingga masih sangat mungkin diubah. KPI seperti mendapat karpet merah dan menjadi “super body” hingga muncul penolokan terhadap hasil revisi RUU ini. Untuk menuntaskan RUU Penyiaran ini tentu tak bisa dibahas secara terburu-buru dan sembunyi-sembunyi. Perlu waktu yang cukup dan melibatkan publik demi menghasilkan UU yang berkualitas.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img