Menarik mencermati praktik sejumlah media massa akhir-akhir ini. Tak sedikit media yang hanya berburu jumlah pembaca, jumlah oplah, dan menarik pemasang iklan sebanyak mungkin. Sejumlah media melakukan tabloidisasi yang lebih menjadikan produk jurnalismenya sebagai komoditas yang berorientasi massal. Praktik tabloidisasi media lebih menonjolkan sensasi ketimbang esensi.
Fenomena tabloidisasi media lazim disebut dengan koran kuning (yellow journalism). Media cetak seperti Pos Kota, Lampu Merah, dan Bola contohnya. Atau di Inggris ada The Sun dan Daily Mirror. Saat itu, tiras atau oplah media yang berkonsep yellow newspaper memang berhasil meraup angka yang fantastis. Karena laku, tak sedikit media lain mengekor cara sejumlah koran kuning itu.
Dalam perkembangannya, saat ini ada sejumlah media yang jelas-jelas tak memproklamirkan diri sebagai yellow newspaper namun isinya justru serupa dengan koran kuning. Dalam beberapa pemberitaannya, banyak media lebih menonjolkan sensasi dan drama. Sejumlah media lebih mengaurusutamakan kehidupan yang lebih bersifat privat, skandal, dan hiburan.
Apa yang salah?
Menurut Agus Sudibyo (2022), bahwa tekanan disrupsi yang semakin deras telah membuat media massa lebih berorientasi jangka pendek. Mereka cenderung mengeksploitasi target yang mudah tercapai secara instan dan cepat (low hanging fruits). Mereka lebih mengejar kuantitas berita daripada kualitas berita, mengeksploitasi sensasi dan popularitas daripada secara konsekuen menerapkan prinsip jurnalisme publik.
Memburu trafik dan page view telah mengalahkan pertimbangan kualitas jurnalistik dan kelayakan publik. Muncul fenomena sejumlah media yang berlomba mendapatkan like dan klik. Untuk itu tak segan media membuat judul-judul berita yang bombastis dan sensasional. Judul berita dibuat sedemikian rupa hingga menimbulkan daya pikat orang untuk membaca. Di sinilah letak kesalahannya.
Tak jarang juga judul yang terpampang itu tak sesuai dengan isi beritanya. Sering judul sebuah berita menipu pembaca karena judul tak sinkron dengan fakta berita. Fenomena munculnya judul berita yang bombastis dan sensasional ini biasa disebut clickbait. Clickbait dapat memperburuk kualitas jurnalisme karena berita dan informasi disajikan dengan dramatisasi yang berlebihan.
Sesungguhnya apa yang salah dengan perilaku berburu like dan klik? Bukankah ukuran tingkat keterbacaan media digital adalah jumlah like dan klik?. Harga iklan juga akan dibayar berdasarkan banyaknya orang yang mengakses. Untuk itu, di ranah online berlaku ukuran jumlah like, klik, banyaknya follower, dan subscriber. Ini serupa dengan media konvensional. Televisi juga berburu tingkat kepemirsaan melalui angka rating dan sharing. Media cetak juga mengejar oplah atau tiras.
Inilah praktik jurnalisme hit and run, yakni jurnalisme yang hanya mengejar hit dan selanjutnya berlari (run) untuk mencari dan menciptakan hit-hit yang baru. Produk jurnalisme tak lebih hanya sekadar jualan isu yang tak menyentuh esensi persoalan mendasar masyarakat. Media yang menerapkan jurnalisme hit and run seperti terbawa pola media sosial (medsos). Padahal idealnya jurnalisme tak boleh mengekor medsos karena memang esensi dua media itu berbeda.
Media massa, baik cetak maupun elektronik, punya peran idealnya. Media massa tak bisa menggadaikan peran strategisnya bagi masyarakat dan bangsa. Apapun platform medianya, fungsi memberi informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial harus selalu melekat dan dijalankan oleh media massa. Kalau praktik media massa sudah tak ada bedanya dengan medsos, maka sesunguhnya marwah jurnalisme telah tergerus oleh penetrasi teknologi yang kuat saat ini.
Pertahankan Jurnalisme
Praktik jurnalisme yang ideal memang tak gampang diterapkan. Ada sejumlah situasi sulit di lapangan. Semua pengelola media dituntut mampu menjalankan medianya sebagai sebuah institusi pers di samping tetap harus mampu menjaga kelangsungannya sebagai sebuah institusi bisnis. Situasi tarik menarik kepentingan antara idealisme dan bisnis yang sering menjadi dilema bagi media massa. Apalagi saat ini pola konsumsi informasi masyarakat telah banyak bergeser ke medsos.
Sejatinya masyarakat masih sangat membutuhkan produk jurnalisme. Melalui media jurnalisme akurasi informasi tetap terjaga. Tentu ini berlaku bagi media massa yang profesional, yang selalu menghasilkan karya jurnalisme yang berkualitas. Media massa cetak maupun online sejatinya mampu mempertahankan marwah jurnalisme. Namun faktanya, tak sedikit media yang mulai terseret pada kepentingan praktis dengan lebih memburu like dan klik.
Menurut jurnalis senior Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya “Blur” (2012) menyatakan bahwa kini media massa sudah tak lagi menjadi penjaga pintu masuknya informasi bagi khalayak. Fungsinya sudah beralih, menjadi media produktif dalam membuat konten berita yang layak jual dan bersaing dengan media lainnya. Apalagi di era banjir informasi yang difasilitasi teknologi internet maka otoritas pers pun runtuh seketika.
Mempertahankan jurnalisme saat ini memang tak mudah. Situasi sulit membuat sejumlah media massa kesulitan membayar listrik, pembelian kertas, hingga membayar gaji karyawan. Godaan jelang kontestasi politik Pilpres dan Pilkada di sejumlah daerah juga mungkin terjadi. Media massa harus tetap mempertahankan idealisme jurnalismenya dengan tak menjadi partisan pada kandidat atau kelompok tertentu.
Media massa dan pemerintah sesungguhnya punya peran yang penting. Bahkan ada yang menilai pers yang jauh lebih penting. Seperti ungkapan Presiden Jefferson dalam pidatonya yang sangat terkenal, yang mengatakan bahwa “Jika saya disuruh memilih antara pemerintah tanpa pers yang bebas dan pers bebas tanpa pemerintah, maka saya akan memilih pers bebas tanpa pemerintah.” Begitu pentingnya pers yang bebas hingga pers tak boleh ada yang mengintervensi termasuk dari dalam diri pers itu sendiri.
Mempertahankan media massa sejatinya adalah menjaga demokrasi karena pers yang profesional merupakan pilar keempat demokrasi melengkapi pilar legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Media massa yang profesional menjamin hak masyarakat mendapatkan informasi yang benar. Ketika terjadi banjir informasi melalui internet saat ini, media massa lah yang tampil sebagai penolong masyarakat dari arus deras informasi yang menyesatkan. Peran mulia media massa inilah yang harus tetap dijaga.
Media massa memang punya dua sisi. Sisi idealisme dan sisi bisnis. Keduanya tak boleh ada yang tergadaikan. Intervensi bisnis tak boleh memalingkan media massa dari menjalankan tugas mulianya. Media yang tak profesional hanya akan membuat masyarakat tak percaya pada media. Kalau sampai demikian yang terjadi maka pertanda buruk bagi kehidupan pers dan demokrasi di tanah air. (*)