TANYA: Mau tanya standar pembinaan manajemen masjid apa yang masih berlaku no. DJ.II/802 Tahun 2014 ya? Kemudian apabila ada pemilihan pengurus yang tidak sesuai dengan ketentuan Perdirjen di atas bagaimana mengatasinya dan apa dampak hukumnya. Apakah seorang Wakif dapat menjadi pengurus masjid. Begitu juga dengan keturunan dari Waqifnya. Soalnya melihat dari UU Waqaf yang mengelola asset waqaf adalah Nadzir yang ditunjuk apakah demikian ya?
Fulan +628123378xxxx
JAWAB : Standar layanan pembinaan manajemen masjid masih menggunakan Keputusan Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/802 Tahun 2014. Keputusan ini sebagai dasar pembinaan Kementerian Agama untuk digunakan sebagai anjuran sistem pengelolaan masjid. Aturan ini tentu bukan aturan mengikat yang kemudian memunculkan sanksi bila tidak dilaksanakan karena manajemen pengelolaan masjid menjadi kewenangan sepenuhnya Nazhir wakaf yang ditunjuk yang ditindak lanjuti oleh pengurus takmir masjid. Selama tidak melanggar peruntukan sebagaimana ikrar wakaf, takmir maupun nazhir tidak bisa diberi sanksi hukum. Mengingat sistem manajemen pengelolaan sebuah organisasi maupun Lembaga tidak satu tetapi bermacam-macam.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan juga pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyebutkan bahwa Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah tidak ada kalimat khusus tentang takmir masjid. Bila mengacu pada tugas-tugas takmir masjid, takmir menjalankan sebagian besar tugas nazhir. Dengan kata lain takmir adalah kepanjang-tanganan tugas-tugas dari seorang nazhir.
Pengertian Takmir masjid sendiri adalah organisasi yang mengurus seluruh kegiatan yang ada kaitannya dengan masjid, baik dalam membangun, merawat maupun memakmurkannya, termasuk usaha-usaha pembinaan remaja muslim di sekitar masjid. Untuk posisi takmir masjid dalam hal wakaf adalah mauquf ‘alaih apabila peruntukan wakaf untuk masjid. Jadi secara singkat bedanya takmir masjid dengan nadzir adalah dalam hal posisi sebagai apa pada tanah atau barang yang diwakafkan.
Sebagai penerima amanat, nazhir maupun takmir wajib menjaga, mengawasi, memelihara, mengelola, dan memastikan wakaf bermanfaat untuk maukuf alaih. Memang secara bahasa nazhir berasal dari kata kerja nazhara yang artinya menjaga, mengawasi, memelihara, dan mengelola. Adapun nazhir adalah isim fa’il dari kata nazhara yang artinya penjaga atau pengawas. Penyebutan nazhir wakaf adalah penyebutan yang disebutkan oleh mayoritas ulama dan yang paling banyak digunakan saat ini. Selain disebut dengan nazhir, ada juga yang menyebutnya dengan qayyim dan mutawalli yang artinya sama dengan nazhir. Secara istilah ulama mendefinisikan nazhir sebagai pihak yang mengurus semua urusan wakaf.
Dalam proses wakaf dan pengelolaannya, wakif dapat menunjuk dirinya sendiri atau pihak lain untuk menjadi nazhir atas harta yang diwakafkannya termasuk terlibat aktif dalam ketakmiran masjid. Untuk menjadi nazhir juga tidak ada persyaratan yang menentukan jenis kelamin. Karenanya nazhir maupun takmir boleh dijabat dan dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
Mengenai hukum kebolehan wakif menjadi nazhir dan perempuan menjadi nazhir, merupakan kesimpulan hukum dari wakaf Umar bin Khattab atas tanahnya di Khaibar di mana nazhirnya Umar sendiri, lalu digantikan oleh puterinya yang bernama Hafsah, dan berikutnya sebagai pengganti puterinya adalah orang-orang yang berkompeten dari keluarganya. Tentu kewenangan wakif dalam kenazhiran dibatasi oleh statusnya sebagai bagian dari pengelola bukan pemilik tanah atau pemilik masjid. Karena saat seseorang mewakafkan tanahnya, maka otomatis dia telah melepaskan haknya sebagai pemilik tanah. Posisinya sebagai takmirpun bisa diganti bila tidak lagi kompeten dalam pengelolaan harta wakaf oleh nazhir yang memiliki kewenangan dalam mengelola harta wakaf. (*)