spot_img
Saturday, April 27, 2024
spot_img

Tata Kelola Sampah di Batu

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Permasalahan sampah di Kota Batu saatnya disikapi dengan serius. Sebagai kota wisata harus menawarkan destinasi eksotik, kenyamanan lingkungan menjadi hal paling penting. Wisatawan membutuhkan liburan dengan suasana segar dan bersih. Sistem pengelolaan sampah yang tidak tersistem pasti membuat kepariwisataan tidak berkelanjutan.

Pemerintah kota dan warga Batu tidak boleh hanya berpuas dengan keuntungan material pariwisata, tetapi juga harus memikirkan baik sebagai kota bisnis dan kota hunian yang ideal. Diakui atau tidak penutupan TPA di Tlekung 30 Agustus 2023  dan kebijakan kota tanpa TPA belum sebagai solusi yang dapat diandalkan.

Gambaran kota tanpa TPA yaitu desentralisasi pengelolaan sampah pada desa/ kelurahan dengan bantuan alokasi dana desa. Kedua kebijakan ini tidak otomatis membuat permasalahan sampah selesai, potensi lahirnya permasalahan ekologis dan sosial terbuka lebar. 

Sejatinya tidak mudah mengimplementasikan kebijakan ini, salah satunya keragaman implementasi pada level desa/ kelurahan. Secara sosiologis, “tafsir” implementasi kebijakan tidak sama antar semua tingkatan aktor. Kondisi ini bisa dimengerti karena penutupan TPA di Batu bukan kebijakan by design, tetapi reaktif atas  tuntutan warga akibat dampak sosial negatif TPA.

Tanpa upaya mencari solusi, permasalahan pengelolaan sampah menambah masalah yang telah dihadapi kota-kota besar lain. Seperti tuntutan penutupan TPA, warga yang protes mencegat truk pengambil atau penolakan warga atas daerah yang ditunjuk sebagai TPA.

Permasalahan Mendesak

Kita perlu memikirkan pengelolaan sampah pada semua wilayah sampai RT. Pengambilan sampah di tengah kota merupakan “ranah” pemerintah kota yang tidak melibatkan pemerintahan desa. Demikian pula, sampah yang diproduksi para pelaku bisnis pariwisata, beberapa yang sudah mempraktikkan pengelolaan secara mandiri.

Namun, model pengelolaan sampah di desa/ kelurahan beragam. Sudah ada desa yang terbiasa melakukan pengelolaan sampah mandiri. Jauh sebelum TPA Tlekung ditutup, desa ini mengolah sampah dengan membedakannya dari yang menjadi ranah bank sampah, komposter dan dimasukkan ke insinerator.

Tetapi ada pihak desa yang memilih angkut buang dengan menyerahkan pada pihak yang sanggup mengangkut sampah ke kota/ kabupaten lain. Ada pula yang melakukan pengelolaan tingkat desa secara mandiri. Dengan keterbatasan sumber daya, pengelolaan sampah dikerjakan warga yang jauh dari nilai-nilai profesional.

Wawancara penulis dengan aktor lapang, ada yang menyatakan ia bekerja dikarenakan sebagai ketua RT sungkan dengan “pertanyaan-pertanyaan” warga. Akhirnya yang penting ia mengeksekusi pekerjaan-pekerjaan penyelesaian sampah tanpa insentif yang layak.

Belum lagi kita melihat lokasi pengelolaan, apakah ia benar-benar representatif, sehat dan aman bagi warga? Secara ideal, lokasi bank sampah, tempat pengumpulan sampah dan insinerator terpisah. Permasalahannya, tidak semua desa/ kelurahan memiliki lahan luas tersebut.

Sumber Daya Manusia (SDM) juga perlu dipikirkan, aparat desa bukan perangkat yang dilatih khusus untuk pengelolaan sampah berbasis komunitas. Memang sudah ada pelatihan-pelatihan dari DLH (Dinas Lingkungan Hidup), persoalannya keterampilan lapang belum terbukti membuahkan out put. Kultur masyarakat yang terbiasa manja sampah dikelola oleh kota sebagai salah satu faktor penghambat.

Solusi

Tujuan kebijakan pengelolaan sampah yaitu pengelolaan sampah secara baik. Sistem ini jauh dari sekadar menumpuk sampah satu kota di TPA. Kemudian desentralisasi pengelolaan sampah melibatkan aktor negara dan non negara. Sebenarnya, pelibatan semua aktor ini baik, tetapi sayang pada praktiknya peran masing-masing belum ideal. 

Karena itu pemerintah kota tidak boleh puas hanya dengan menyerahkan “kuasa dan otoritas” pada pemerintah desa sepenuhnya atau pemerintah desa tidak boleh menyerahkan begitu saja kepada sektor-sektor non negara. Pemerintah harus tetap mencari model yang terbaik. Kolaborasi dengan pemerintah semua level diperkuat.

Untuk itu, ada baiknya pemerintah menempuh langkah-langkah berikut. Pertama, Mendorong Tata kelola Kolaboratif. Pengelolaan  dilakukan mulai hulu (rumah tangga) sampai ke hilir yang memastikan sampah terkelola dengan baik sampah yang bisa dimanfaatkan dan tidak termanfaatkan. Relasi aktor dalam tata kelola kolaboratif perlu diaktifkan dengan mengandalkan  pemerintah. Pendekatan teknologi sebagai langkah pertama yang kemudian diikuti pendekatan ekonomi dan pendekatan sosial.

Kedua, Penguatan Kelembagaan Sampah Desa. Pengelolaan sampah membutuhkan kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud baik regulasi maupun organisasi pelaksana, termasuk model struktur birokrasi lokal yang dibangun. Lembaga yang baru dan sudah terbentuk diberdayakan. Bank sampah di desa-desa  yang sudah terbiasa mengelola sampah kering perlu didorong yang diperkuat lembaga baru dengan tujuan, target dan program yang jelas.

Ketiga. Penguatan Kapasitas, Monitoring dan Edukasi dari Rumah Tangga. Tata kelola sampah membutuhkan kapasitas aktor-aktor yang mumpuni. Kapasitas para pelaksana lembaga diperkuat. Pemerintah tidak hanya sekadar menyelenggarakan training atau pelatihan, tetapi sekolah lapang berbasis keterampilan.

Kemudian monitoring kebijakan memastikan semua proses kebijakan sesuai dengan tujuan dan berhasil mengantisipasi persoalan. Sebagai rangkaian kebijakan kota, edukasi pengelolaan sampah dari Rumah Tangga yang berjejang perlu diseriusi.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img