Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Kata “damai” bila didengar begitu indah dan mendorong terciptanya keharmonisan antar sesama dan lingkungannya. Damai memiliki banyak arti, keadaan tenang, keadaan emosi dalam diri atau sebuah harmoni dalam kehidupan alami antar manusia di mana tidak ada perseteruan ataupun konflik satu sama lain. Konsepsi damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya dan lingkungannya.
Secara sederhana, damai dalam kehidupan sosial dapat diartikan tidak adanya kekerasan atau perang dan sistem keadilan yang berlaku baik untuk pribadi maupun dalam sistem keadilan sosial politik secara menyeluruh dalam kehidupan.
Memelihara perdamaian tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh beberapa terobosan baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam meliputi dorongan diri sendiri untuk berperilaku baik, menyenangkan dan damai. Sedangkan dari luar adalah hal-hal yang mempengaruhi seseorang bersikap anarkis dan radikal.
Seperti pemberitaan-pemberitaan yang tidak independen dan akurat, mendeskriditkan, ujaran kebencian, dan bahkan hingga kecanggihan teknologi untuk memprovokasi masyarakat luas.
Banyak peristiwa yang dipertontonkan melalui media sosial dan media cetak terkait kekerasan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa maupun bernegara. Hal itu ditandai dengan konflik sosial, tawuran antar kampung atau antarsuku, geng motor, perkelahian pelajar hingga kekerasan dalam rumah tangga. Kenyataan ini menandakan semakin memudarnya semangat perdamaian dalam kehidupan manusia.
Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab, tergantung dari sudut pandang mana yang dipergunakan untuk memahaminya. Namun satu hal mendasar yang harus dilakukan adalah bagaimana menghentikan, atau paling tidak mengurangi, agar kekerasan tidak semakin berkembang luas. Tanpa adanya usaha pencegahan, kekerasan akan semakin meluas dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sosial kemasyarakatan.
Membangun budaya damai sejak dini harus diciptakan. Ingat pepatah “bisa karena terbiasa”, jika selalu berupaya menciptakan kedamaian dan menjaganya maka ia akan menjadi suatu budaya. Memang untuk memulai suatu kebiasaan baik butuh energi positif yang kuat, harus ikhlas dan totalitas dengan dipaksa-terpaksa-biasa-terbiasa, tuntas dan akhirnya membudaya.
Perdamaian Sejati
Membangun perdamaian sejati bermuara dari menciptakan budaya damai. Budaya damai itu menyangkut pola pikir, cara bersikap, perilaku, karakter, mentalitas, keyakinan, pola hubungan dengan pihak lain, tata kehidupan bersama yang ditandai dengan nilai-nilai luhur. Seperti keadilan, kesetaraan, demokrasi, dan solidaritas.
Budaya damai itu menyangkut bagaimana kita menata suatu kehidupan bermasyarakat baru yang bebas dari kekerasan, penindasan, monopoli, dan sikap memarjinalkan diri atau kelompok.
Singkatnya, budaya damai itu adalah damai yang riil dan mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang tergambar dalam Deklarasi PBB, bahwa budaya damai adalah seperangkat nilai, sikap, tradisi, cara-cara berperilaku dan jalan hidup yang merefleksikan dan menginspirasi.
Pertama, respek terhadap hidup dan hak asasi manusia. Kedua, penolakan terhadap semua kekerasan dalam segala bentuknya dan komitmen untuk mencegah konflik kekerasan dengan memecahkan akar penyebab melalui dialog dan negosiasi. Ketiga, komitmen untuk berpartisipasi penuh dalam proses pemenuhan kebutuhan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Keempat, menghargai dan mengedepankan kesetaraan hak dan kesempatan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Kelima, penerimaan atas hak-hak asasi setiap orang untuk kebebasan berekspresi, opini dan informasi. Keenam, penghormatan terhadap prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, demokrasi, toleransi, solidaritas, kerja sama, pluralisme, keanekaragaman budaya, dialog dan saling pengertian antar bangsa-bangsa, antar etnik, agama, budaya, kelompok-kelompok lain dan serta individu-individu.
Catur Pusat Pendidikan
Maka untuk membangun budaya damai harus dilakukan sejak dini melalui pembentukan karakter generasi muda. Dalam hal in, melalui catur pusat pendidikan (keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan dan masjid) harus berjalan seiring dan saling mendukung dalam membangun budaya damai.
Keluarga adalah tempat pertama dan utama, di sini generasi berkembang secara berangsur-angsur anak-anak membentuk sikap hidup, dan sekaligus sebagai tempat pembibitan dasar-dasar kebudayaan yang kelak akan mampu dianut oleh generasi tersebut.
Oleh karena itu, keluarga merupakan tempat yang paling tepat untuk membangun budaya damai. Sebab, keluarga terutama Ibu memiliki peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak.
Jika ditelusuri, bahwa budaya kekerasan dapat tumbuh berkembang dalam keluarga melalui kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya, memiliki andil dalam mewariskan budaya kekerasan kepada anak-anak, mungkin tidak pernah disadari bahwa memaksakan kehendak kepada anak, tanpa mendengar apa kehendak dan keinginan sang anak, adalah juga bagian dari pola pembudayaan kekerasan (non-fisik).
Contoh pemilihan sekolah anak, sangat besar kemungkinan terjadi kekerasan non fisik, karena anak-anak bersekolah hampir selalu atas keinginan orang tuanya, anak diharuskan patuh dan tunduk kepada sekolah pilihan orang tua tanpa dapat ditawar, dan harus mau menuruti keinginan orang tua.
Pada era sekarang, terutama di daerah perkotaan, peran keluarga semakin berkurang karena masing-masing orang tua sibuk dengan pekerjaan. Akibatnya, anak-anak tidak memperoleh kasih sayang dan perhatian yang cukup. Belum lagi media massa, khususnya televisi, banyak mempertontonkan tayangan berbau kekerasan, dan televisi lebih banyak menanamkan nilai-nilai perilaku kepada anak dibanding orang tua.
Sisi lain lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) juga memiliki peran signifikan dalam membentuk budaya damai. Hal ini karena sebagai proses dan kondisi yang dihasilkan melalui praktik sosial, maka budaya damai ini akan support terhadap perdamaian, yaitu suatu pendidikan yang menekankan anak untuk hidup secara damai dengan lingkungan hidup dan sesama manusia. Dalam pendidikan perdamaian, sejak dini anak-anak diajarkan untuk tidak melakukan diskriminasi dan penghinaan terhadap orang lain, saling toleran dan bertindak proporsional.
Begitu pula masjid, di samping sebagai tempat ibadah, juga sarana pendidikan dan pengembangan budaya dan peradaban yang tinggi. Sebagaimana pada zaman Rasulullah Muhammad SAW, masjid dijadikan sarana berkumpulnya para mujahid Islam dengan latar belakang budaya dan ekonomi yang berbeda.
Mereka menyusun strategi perang, pusat pengembangan ekonomi dan kesehatan di samping sebagai tempat ibadah dan pendidikan. Sisi lain, masjid memiliki kharisma yang lebih religius dan tempat suci yang dijunjung tinggi eksistensinya.
Dalam konteks Indonesia, yang sangat majemuk, maka pendidikan berbasis multikultural menjadi sangat strategis. Dengan pendidikan semacam ini maka peserta didik dapat mengelola kemajemukan secara kreatif dan konstruktif.
Melalui pendidikan multikultural diharapkan konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi budaya dan peradaban serta reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas, arif dan bijaksana agar menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa di masa depan.(*)