.
Wednesday, December 11, 2024

The Paradox of Leadership Ala Partai Politik Menggapai Kemenangan 2024

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dinamika dan dilematik politik nasional semakin ramai, semua mata seperti tertuju pada 2024. Seiring dengan aksi-reaksi yang terjadi pada kekuatan partai politik (parpol) yang ingin berjaya.

Membaca kondisi ini, seluruh kekuatan mulai membangun konsolidasi. Pengujung tahun ini dan awal tahun depan akan menjadi salah satu fase tersibuk parpol. Kini masyarakat tengah menunggu siapa wajah baru pemimpin Indonesia 5 tahun ke depan.

Butuh kepiawaian para ketua parpol untuk membentuk “Koalisi.” Benarkah para ketua parpol ini sedang membangun komunikasi lintas parpol dengan mengatasnamakan rakyat? atau justru berkuasa di atas rakyat? Biarlah itu menjadi niat mereka dengan Tuhannya.

Kita awali dengan definisi “KOALISI.” Mengutip buku Handbook of Party Politics karya Richard Katz dan William Crotty yaitu aktor atau pelaku politik yang bersatu untuk meraih kekuasaan. Gerilya ketua parpol dalam upayanya membangun kolisi tidak terlepas dari kemampuan leadership dan dalam akademis disebut sebagai teori Y.

Mc Gregor berpendapat Teori Y mewakili profil sifat manusia yang lebih akurat di tempat kerja. Kecerdikan pemimpin dalam menemukan cara mewujudkan potensi sumber daya. Pemimpin transformasional mampu menyeimbangkan kebutuhan tugas sambil memperhatikan masalah tim dan mengembangkan orang, semuanya pada saat yang bersamaan.

Untuk membangun “Koalisi”, para ketua parpol dituntut memiliki jiwa leadership yang tangguh, cerdas dan kepiawaian dalam mendesign strategi yang tepat sasaran. Koalisi tersebut harus menemukan suplemen yang tokcer.

Suplemen itu dilihat dari sumber daya atau kekuatan apa yang dimiliki oleh parpol sehingga menghasilkan competitive advantage. Berbicara sumber daya maka tidak akan terlepas pula apa yang disebut Resource Based View (RBV).

RBV ini konsisten dikembangkan oleh Barney sejak tahun 1991. Maknanya bagaimana organisasi harus memaksimakan sumberdaya yang dimiliki untuk menghasilkan dan mempertahankan keunggulan yang dimiliki.

Menariknya, trend saat ini seperti melahirkan paradigma baru tentang koalisi itu tidaklah abadi. Munculnya istilah gaul anak muda yang masuk dalam bahasa politik seperti pemberi harapan palsu (PHP), ditinggal pas lagi sayang-sayangnya dan lain sebagainya.

 Saya tidak ingin berpihak pada siapapun bacapres dan bacawapres. Sebagai seorang akademisi ada yang mengelitik pikiran saya untuk membahas lebih mendalam tentang apa itu “Paradox.”

Apa itu paradox? Mengutip dari Augustine et.al (2006) dalam jurnalnya “Paradox and Theorizing Within The Resource-Based View.” Paradox merupakan suatu pernyataan atau situasi yang tampaknya bertentangan dengan intuisi umum atau logika formal, namun dapat memiliki kebenaran atau kredibilitas yang valid.

Dalam konteks organisasi dan manajemen, paradox dapat merujuk pada kontradiksi logis atau ketegangan yang muncul dalam teori atau praktik. Misalnya, Paradox dapat muncul ketika ada dua atau lebih tujuan, tuntutan, atau asumsi yang saling bertentangan tetapi semua perlu dipenuhi atau diakui.

Mendengarkan beberapa kutipan wawancara bacapres dan bacawapres yang diusung Nasdem dan koalisinya, terdapat proses komunikasi untuk menghasilkan kesepakatan yang terjadi begitu singkat. Akhirnya terjadilah sebuah deklarasi capres dan cawapres dengan pengusung utama Nasdem bersama PKB dan PKS.

Saya mencoba membahas dari sisi teori tentang paradox tadi. Lebih tepatnya the paradox of leadership ala parpol.Saya melihat adanya sebuah pemikiran di luar dugaan yang dilakukan oleh Nasdem. Dipilihnya PKB berserta kandidat bakal calon wakil presiden sebagai mitra koalisi.

Tentunya keputusan koalisi ini menimbulkan pro dan kontra. Hal ini cukup menarik perhatian masyarakat, terutama dua kelompok yang selama ini sering berbeda pandangan. PKB dengan fans fanatiknya dari kaum Nahdiyin dan PKS yang disebut identik dengan kelompok pro-212, namun pada akhirnya menyatu untuk menghasilkan competitive advantage. Keputusan untuk berkoalisi inilah yang bisa saya sebut sebagai “the paradox of leadership.”

‘’Hari ini kita ucapkan selamat tinggal kepada politik cebong dan kampret. Politik yang mengadu domba memecah belah dan merusak sistem kebangsaan kita,’’ mengutip pidato sang Ketum Nasdem dalam deklarasi Bacapres dan Bacawapres. Saya melihat penekanan tersebut, wujud upaya koalisi tersebut untuk membangun kekuatan yang mungkin saja tidak dimiliki oleh koalisi lainnya.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Priem dan Butler (2001). Peneliti mencoba menguji hubungan antara sumber daya yang tidak dapat ditiru dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Hasilnya Priem dan Butler menemukan bahwa organisasi yang memiliki sumber daya yang tidak dapat ditiru, memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan akan mampu untuk bersaing dan berkembang.

Koalisi ini dianggap tidak logis. Kenyataanya, para koalisi sudah matang dalam mengidentifikasi kelebihan dan kekuranganya, sehingga ini adalah bagian dari paradox koalisi tersebut.

Para pakar organisasi dan manajemen berpendapat, penggunaan Paradox dapat melahirkan pemahaman, dengan memungkinkan para pakar mengatasi kontradiksi logis dalam sebuah teori dan untuk mengidentifikasi ketegangan dan pertentangan dalam rangka mengembangkan teori yang lebih menyeluruh (Poole & Van de Ven, 1989).

 Paradox dapat berfungsi sebagai alat konseptual yang berguna yang memperluas kemampuan kita melampaui batas yang ditentukan oleh logika formal (Ford & Backoff, 1988; Starbuck, 1988).

Keputusan mengawinkan PKB dengan PKS ini adalah ide yang menarik. Nasdem mencoba melihat peluang segmentasi pemilih yang belum terjangkau dibanding dengan kendaraan sang mantan yang bisa dibilang satu segmen karakter pemilihnya. Menakar strategi yang dilakukan koalisi ini seperti halnya keseimbangan supply and demand, pantas saja sang ketum Nasdem dalam pidatonya mengatakan “Pasangan ini bagai botol dan tutup botol.”

Paradox pada Leadership seorang ketum menjadi salah satu kunci keberhasilan membangun sebuah koalisi, oleh karenanya mari kita tunggu bersama paradox lainnya yang akan dikembangkan oleh para ketua parpol bersama koalisinya.

Jika pola ini dididuplicate oleh koalisi lain, maka terbukti sudah secara politik bahwa The Paraodox of Leadershipini bagian dari strategi jitu memenangkan konstetasi politik di Indonesia dan tentunya akan memperkuat teori dari paradox ini.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img