Dalam mitologi Yunani, dikenal sebuah cerita tentang Raja Midas. Ia adalah penguasa yang kuat dan digdaya. Ia berlidah api. Semua keinginannya selalu menjelma nyata. Ia memiliki semua. Tapi itu tak membuatnya berpuas diri. Ia menyimpan sebuah asa, “Aku ingin semua benda yang kusentuh dengan tanganku menjelma jadi emas,” teriak Raja Midas. Ia meminta para dewa yang digdaya untuk mewujudkan keinginannya. Dengan usaha yang panjang, akhirnya para dewa mewujudkannya.
Dengan ilmu barunya itu, Raja Midas menyentuh sebongkah batu. Ajaib. Batu berubah menjadi emas. Tak puas dengan mengubah bongkah batu menjadi emas, dia lalu menyentuh pagar-pagar istananya. Menjadi emas. Satu per satu bagian istananya pun diemaskan. Pintu, tembok, jendela, lemari, lantai, kaca. Semua berubah menjadi emas. Tanpa terkecuali.
Masuklah ia ke dalam rumah, saking gembiranya dengan ilmu barunya, segera ia memeluk sang istri, sambil terus menceritakan seluruh bagian istananya yang telah berubah menjadi emas. Malang. Seusai ia bercerita, ia lepaskan pelukan kepada sang istri. Ia tersentak. Istrinya pun berubah menjadi emas.
Iya, patung emas perempuan penjelmaan dari istrinya. Anaknya disentuh dan dipeluk, juga menjadi emas. Bahkan pada akhirnya, dirinya sendiri berubah menjadi patung emas. Kedigdayaan yang ia miliki, berubah menjadi kemalangan.
Cerita Raja Midas memang hanya legenda. Tetapi legenda itu menjadi nyata di zaman ini. Keresahan global tengah merebak. Dunia sedang mengalami persoalan serius, yaitu pemanasan global. Intensitas industri yang semakin padat, menjamurnya rumah-rumah kaca di berbagai penjuru dunia, dan kerusakan dan perusakan sistematis lingkungan adalah di antara pemicunya.
Tak bisa disangkal, pemanasan global merupakan konsekuensi dari tindakan manusia sendiri. Al-Qur’an telah mengingatkan, “Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan, karena ulah tangan-tangan manusia.” (Q.S. al-Rum: 41).
Manusia modern mencipta senjata. Tetapi senjata itu berubah menjadi bencana. Senjata itu tak lain adalah sains dan teknologi. Teknologi memang membawa kemudahan. Tetapi penerapan yang salah arah, telah menyebabkan ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Sains dan teknologi, pada awalnya diciptakan untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Tetapi, hasrat keserakahan manusia yang sering tak terkendali menjadi persoalan baru. Sehingga sains dan teknologi yang awalnya bersifat konstruktif, menjelma menjadi alat penghancur.
Bukan salah sains dan teknologi jika pada akhirnya keduanya menjelma menjadi mesin penghancur keseimbangan kosmos. Manusia adalah aktor sentral. Manusialah adalah pencipta dan pengendali sains dan teknologi. Dalam perspektif kosmologis, hubungan manusia dan alam semesta, sering digambarkan sebagai hubungan kesetaraan, hubungan timbal balik dan hubungan mutualisme simbiosis. Hanya saja, hubungan-hubungan ideal ini sering menjelma menjadi hubungan eksploitatif yang menempatkan manusia sebagai subjek paling berkuasa dan alam sebagai objek eksploitasi yang menggiurkan.
Para filosof modern lalu berbicara tentang etika global agar manusia menyadari hakikat hubungannya dengan alam semesta. Etika global mengandaikan adanya hubungan yang wajar dan berimbang antara manusia dengan sesamanya, tanpa mempedulikan agama, ras, keyakinan maupun ideologi.
Berbeda dengan formulasi saintifik yang dalam banyak hal terlampau tunduk kepada deretan fakta-fakta empiris yang dengan sendirinya mengesampingkan dimensi spiritualitas, etika global adalah sebuah formula di mana keragaman manusia pada berbagai aspek kehidupan diikat oleh satu nilai global: nilai-nilai kemanusiaan dan tentu saja spiritualitas.
Jika globalisasi berhasil mengikat umat manusia dalam satu ruang dan waktu yang sangat relatif, etika global juga mengandaikan hal yang sama dalam konteks nilai-nilai humanitas. Bahwa jika berhadapan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan, identitas primordial seharusnya melebur.
Etika global bukan masalah Barat dan Timur, Islam dan Kristen atau negara kaya dan negara miskin. Etika global, sebagaimana didefinisikan oleh N Dower (2005), merupakan seperangkat prinsip yang hendak diaplikasikan pada seluruh umat manusia tanpa terkecuali; ia diajukan kepada seluruh manusia sebagai etika yang secara rasional harus dianut. Karena itu, penganutan atau adopsi etika global bersifat rasional dan bukan ideologis.
Etika global, dalam pandangan Dower, adalah sebuah konteks etika yang pesan paling jelasnya menyatakan keharusan manusia untuk menerimanya sebagai basis bagi usaha-usaha yang terkoordinasi untuk mengatasi masalah-masalah dan ancaman-ancaman bersama terhadap kondisi kesejahteraan manusia di seantero jagad.
Lebih lanjut, sebuah etika global juga menyatakan adanya etika yang muncul dari proses konsultasi yang berkepanjangan yang melibatkan elemen-elemen di seluruh dunia selama waktu yang teramat lama. Pada poin inilah, pemanasan global bisa menjadi satu contoh yang cukup baik di mana etika global harus diaplikasikan. Pemanasan global adalah ancaman bersama, dan pengakuan terhadap kenyataan itu hampir tidak terbantahkan. Karena itu, bentuk kontribusi penting etika global dalam mengatasi atau setidaknya mengurangi pemanasan global adalah dengan menghadirkan seperangkat nilai-nilai yang harus dianut oleh umat manusia dalam berhubungan dengan alam semesta.
Dengan mengajarkan keseimbangan alam, misalnya. Atau peran penting manusia dalam memelihara dan menjaga harmoni antara manusia dan ciptaan Tuhan lainnya. Harmoni adalah kata kunci. Dalam harmoni, manusia memainkan peran sentral yang menggerakkan ke mana pendulum harmoni itu diarahkan. Adalah manusia yang bertanggung jawab ketika pendulum harmoni bergeser ke arah yang negatif, dan dari tangan manusia pulalah pendulum harmoni bergerak ke titik positif.
Signifikansi penghadiran etika global sebagai solusi alternatif mengatasi pemanasan global juga terletak pada jangkauan yang diandaikannya. Sebagai sebuah etika universal, etika global menjangkau concern dasar kemanusiaan yang tengah dalam pertaruhan.(*)