Ada tiga isu prioritas yang diusung dalam pertemuan KTT G20 di Bali, 15-16 November 2022 lalu. Tiga isu penting itu adalah tentang arsitektur kesehatan global, transformasi digital ekonomi, dan transisi energi berkelanjutan. Dalam topik transformasi digital ekonomi dibahas tiga isu utama yakni konektivitas dan pemulihan pascapandemi Covid-19, kemampuan digital dan literasi digital, serta arus data lintas batas negara.
Sejumlah topik dibahas dalam KTT G20 dengan tujuan agar dunia bersama-sama pulih lebih cepat dari pandemi dan bangkit dari berbagai permasalahan global, sesuai tema Presidensi G20 Indonesia “Recover Together, Recover Stronger.’’
Pengembangan dan pemanfaatan teknologi digital perlu dioptimalkan untuk mendukung dan meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat di berbagai bidang. Seperti pemerintahan, pendidikan, kesehatan, perdagangan dan perindustrian, administrasi kependudukan, hingga sektor keuangan.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G. Plate yang menyatakan bahwa hasil kesepakatan KTT G20 juga memuat isu-isu prioritas yang telah dibahas dalam rangkaian pertemuan Digital Economy Working Group (DEWG). Isu-isu prioritas transformasi digital yang dibahas dalam DEWG yaitu konektivitas, literasi dan keterampilan digital, dan sehatnya ruang digital.
Talenta Digital
Pada pengembangan transformasi digital ekonomi banyak dibutuhkan talenta digital. Pada era penetrasi teknologi informasi dan komunikasi yang semakin kuat ini ada peluang kerja manusia akan tergantikan mesin. Teknologi Artificial Intelligence (AI), Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), Internet of Things (IoT) akan banyak menggeser peran manusia. Pada kondisi seperti ini dibutuhkan sumber daya manusia yang punya talenta digital dalam menjawab tantangan zaman super canggih saat ini.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Indonesia butuh 600 ribu talenta digital setiap tahun. Angka ini mengacu pada riset McKinsey dan Bank Dunia yang menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar 9 juta talenta digital selama 2015 hingga 2030. Itu berarti ada kebutuhan 600 ribu tenaga ahli di bidang digital tiap tahun. Jumlah ini tentu bukan angka yang kecil, maka kebutuhan ini perlu dijawab oleh masyarakat dan semua pihak terkait.
Mengutip laporan dari World Economic Forum, diperkirakan pada 2025 nanti akan ada 85 juta lapangan kerja yang hilang karena digantikan teknologi, terutama untuk pekerjaan yang bersifat pengulangan (repetitive). Sementara itu, berkat teknologi, diperkirakan pada tahun 2025 tersebut akan ada 97 juta lapangan kerja yang muncul. Pekerjaan yang muncul berkat teknologi antara lain adalah ilmuwan data (data scientist), spesialis big data dan kecerdasan buatan.
Talenta digital sangat dibutuhkan guna meminimalisir agar masyarakat tak banyak jadi korban dari maraknya kejahatan digital. Talenta digital juga dibutuhkan untuk membentengi dari penggunaan teknologi digital yang tak tepat, yang berdampak buruk, serta merugikan penggunanya. Talenta digital dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan kehidupan di dunia maya yang lebih sehat.
Kebutuhan dunia kerja akan talenta digital ini sangat tinggi. Menurut data dari beberapa marketplace pencari kerja bahwa ada kenaikan permintaan sumber daya manusia di bidang teknologi informasi. Kebutuhan data analyst dan scientist mencapai 76,59 persen, pemasaran merek 66 persen, perencana strategi 62,78 persen, full stack engineer 50,85 persen, dan keamanan siber 23,91 persen. Gaji yang ditawarkan beragam, mulai dari Rp 19 juta hingga Rp 20 juta per bulan untuk pekerja berpengalaman tiga sampai lima tahun.
Akselerasi Digital
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat hingga Rp 1.700 triliun pada 2025. Kesiapan talenta digital menjadi kunci penting, agar Indonesia bisa menguasai pasar digital di masa depan. Oleh karena itu, Presiden mendorong kesiapan talenta digital yang mumpuni agar potensi tersebut tak hilang sia-sia dan justru diambil oleh negara lain.
Akselerasi talenta digital dibutuhkan guna membangun ekosistem digital yang baik. Hal ini bisa dibentuk jika sumber dayanya siap dan memiliki keterampilan (skill) dan kemampuan yang mumpuni dalam menjawab tantangan zaman digital. Anak-anak muda tentu menjadi tumpuan demi laju akselerasi ekosistem digital agar berjalan dengan baik. Anak-anak muda yang punya jiwa digital entrepreneur perlu terus didukung.
Proses akselerasi digital tak hanya tentang teknologi semata. Namun yang lebih penting juga perlu memperhatikan unsur sosial, kebudayaan, dan kondisi sosial masyarakat. Dalam proses transformasi digital hendaknya dipahami terhadap berbagai dampak negatif yang bisa muncul. Seperti cybercrime, cyberporn, hoaks, fake news, dan aneka permasalahan siber yang dapat merugikan masyarakat.
Meskipun tiap tahun angka jumlah pengguna internet terus meningkat namun peningkatan akses pada internet tak dibarengi dengan peningkatan kemampuan dan literasi digital masyarakat. Kondisi ini yang cukup berbahaya ketika Indonesia sudah masuk dalam era digital saat ini. Tentu Indonesia tak akan survive jika dalam persaingan global digital saat ini Indonesia hanya mengandalkan tenaga yang konvensional dan tak melek digital.
Terlepas dari ledakan akses teknologi yang tinggi, namun Indonesia masih mengalami krisis talenta digital. Merujuk pada indeks IMD World Digital Competitiveness, yang mengukur kapasitas dan kesiapan 63 negara dalam menggunakan teknologi sebagai pendorong utama transformasi ekonomi, Indonesia menempati ranking ke-56. Posisi ini lebih rendah dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Thailand (40) dan Malaysia (26).
Suplai talenta digital di pasaran masih sangat terbatas dan langkah, sehingga banyak perusahaan yang harus bersaing untuk mendapatkan tenaga IT terbaik. Jangan sampai kelangkaan talenta digital di tanah air justru akan diambil oleh tenaga kerja asing yang dapat membanjiri pasar kerja di Indonesia. Kalau ini yang terjadi tentu akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi dan banyak sektor lain.
Tak hanya Indonesia yang ingin menjadi raksasa teknologi. Kini hampir semua negara di dunia memimpikan hal yang sama. Namun sejumlah negara lain tak main-main mempersiapkan impiannya tersebut. Semua upaya perlu dilakukan dari hulu hingga hilir, termasuk dengan melibatkan dunia pendidikan. Defisit talenta digital menjadi tantangan bagi siapa saja guna menyiapkan diri mengisi kekurangan sumber daya manusia yang digital talented. (*)