MALANG MBIEN
MALANG POSCO MEDIA-Kini warga umumnya menyebut Jalan Wiro Margo. Di era 1970-an, terkenal dengan sebutan Urek-Urek. Itu merupakan tempat berdagang masyarakat menengah ke bawah yang kesohor pada masanya.
Urek-Urek berada di dekat Pasar Besar Malang (PBM). Sudut gang yang juga dikenal sebagai Pecinan Kecil ini, menjadi saksi perputaran ekonomi masyarakat yang membutuhkan uang atau barang, seadanya.
Pemerhati sejarah Kota Malang, Budi Fathony mengatakan tempat ini menjadi kawasan layaknya pasar loak pada zamannya. “Menjadi tempat bertemunya pedagang yang menjual barang rongsokan, barang bekas sampai barang curian. Hampir mirip seperti rombengan, tapi di sini asal usul barangnya lebih unik,” ceritanya.
Nama Urek-urek sendiri, sudah terkenal sejak sebelum tahun 1970. Saat itu, kawasan ini sangat padat orang. Baik dari para pedagang, penjual barang, pembeli, hingga orang yang hanya melihat-lihat.
Meskipun kawasan ini nampak seperti pasar kumuh, namun tidak bisa dipungkiri menjadi penggerak ekonomi saat itu. “Banyak masyarakat yang menjual barang seadanya, asal dapat uang. Entah untuk makan, belanja kebutuhan dapur, atau lain sebagainya,” kenang Budi.
Tak ada harga pasti, di Urek-Urek. Yang adanya adalah kesepakatan harga antara penjual dan pembeli. Bahkan banyak dari kalangan mahasiswa dan masyarakat, yang memiliki budget terbatas bisa mendapatkan barang yang dibutuhkannya.
Urek-Urek sendiri tak pernah mati, karena terus berevolusi. Ia mengatakan, bahwa Urek-Urek bisa jadi berkembang menjadi kawasan Rombengan Malam (Roma) dan Comboran.
“Meskipun kerap kali banyak kebijakan pemerintah yang kurang menguntungkan, masyarakat di sana (Urek-Urek dan semacamnya), perlu diketahui bahwa perannya sangat besar dalam menggerakkan ekonomi masyarakat bawah,” lanjut Budi.
Budi memiliki cerita unik, dengan yang namanya Urek-Urek. Saat itu saat ia masih duduk di bangku SMP, pernah membawa baju bagus saat mau berenang ke kolam renang di sekitar Stadion Gajayana.
Saat asyik berenang, ternyata baju yang ia bawa sudah hilang. Saat dicari ke seluruh sudut area kolam renang juga tak lagi ditemukan. Suatu ketika, ia berjalan-jalan di Urek-Urek dan menemukan bajunya dijajakan di sana.
“Waktu itu agak kaget, tapi mau bagaimana lagi. Baju itu kan harganya lumayan saat itu, kemudian mau dibeli lagi juga nggak punya uang. Jadi banyak juga barang di sana itu hasil curian, tapi tidak sedikit juga barang yang dijual karena tidak terpakai,” lanjutnya.
Nama Urek-urek sendiri masih eksis sampai awal Reformasi, sebelum tahun 2000. Kemudian nama ini sudah mulai tidak familiar di kalangan masyarakat. Menyusul pergeseran pangsa pasar pembeli, menuju ke barang-barang yang lebih modern.
“Banyak yang saat ini tidak hanya dijual seperti di Urek-Urek. Jadi sudah ada barang bekas yang dicuci dan dipak ulang. Kemudian ada yang diservis dulu, dan bahkan ada yang sudah diganti onderdilnya. Tetapi secara prinsip, Urek-Urek ini pasti masih ada dan bertahan meskipun kemasannya sudah tidak lagi sama,” pungkasnya. (rex/van)