spot_img
Saturday, May 18, 2024
spot_img

WEEKEND STORY; Asik Mendobrak Skena Underground

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA-Teriakan khas musik cadas hardcore, punk atau powerviolence dalam skena underground didominasi pria. Namun tak menghalangi Dewi Nawang Wulan. Ia menyelami lalu menemukan keasyikan tersendiri.

Perempuan 26 tahun asal Donowarih Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang itu menggeluti underground dengan melibatkan diri berkarya sebagai vokalis. Aktivitas pekerjaan utama tak mengurangi rutinitas dan kecintaannya bermusik. Terutama di akhir pekan. Ia sehari-hari adalah seorang marketing divisi social media specialist di salah satu klinik kecantikan ternama di Kota Malang yaitu MS Glow Aesthetic Clinic.

“Kalau weekend itu biasanya ya ngeband sama kalau ada project visit, ya, visit ke kafe-kafe,” cerita perempuan yang disapa Wulan itu.

Lulusan S1 Ilmu Komunikasi Universitas Merdeka Malang ini memulai ketertarikannya pada musik sejak ramaja. Tepatnya saat menempuh pendidikan SMP. Ia mengenal musik underground dari teman-teman sekolahnya. Sempat pula diajak ke sebuah event musik dengan beberapa band underground sebagai penampil utama. Di sana, ia mulai terpukau dan berkeinginan memiliki band sendiri.

“Dulu lihat ada beberapa band yang vokalisnya perempuan, jadi ingin juga punya band. Sejak itu dari tahun ke tahun suka dengerin musik underground,” terangnya.

Ketika menginjak SMA, ia merasa beruntung  karena diajak bergabung salah satu band yang sudah ada lebih dulu. Ditempatkan sebagai vokalis, dia tak menyia-nyiakan kesempatan belajar dan bersenang-senang dengan apa yang jadi ketertarikannya sejak SMP.

“Awalnya diajak ngeband sama kakak kelas SMA, karena tahu aku sering dengerin musik underground,” katanya.

Dalam prosesnya mendobrak skena musik underground genre old school hardcore pertama kali menarik minatnya untuk belajar. Sembari terus mengulik kemampuan dan memperkaya referensi band,  ia terus menekuninya. Hingga kini, Wulan lebih banyak melantunkan hardcore punk dan powerviolence. Ia saat ini tergabung dalam Band Ravage, yang berdiri sejak 2015 lalu.

Bagi Wulan, tak banyak kendala berarti selagi terus berproses dan berlatih. Mengambil referensi dari beberapa band yang sudah ada dengan vokalis perempuan kemapuan terus terasah.

“Proses belajarnya otodidak waktu latihan dulu sama band pertama. Mencoba saja ternyata bisa, akhirnya sampai sekarang. Untuk sulitnya itu tak ada, cuman kalau liriknya atau lagunya banyak scream-nya itu lumayan menguras tenaga,” bebernya.

Kebanyakan orang bergabung maupun membentuk sebuah band, karena terinspirasi atau termotivasi oleh sesuatu yang menggugah perasaannya. Begitu juga dengan Wulan pada awal menjadi personel band.

“Vokalis Wolf Of Jericho (Candace) karena memang dari awal pingin punya band yang genrenya kayak WOJ. Kemudian ada juga waktu dulu masih zamannya (Gania) Billfold sama zamannya (Phopi) Lose It All,” katanya.

“Mereka jadi memotivasiku jadi personel band untuk menunjukkan perempuan juga bisa dan ada suatu hal yang tidak akan kalian temukan di tempat lain selain hardcore,” kata wanita kelahiran 1997 itu.

Dalam skena musik underground, dia menemukan keseruannya sendiri. Selain itu Wulan juga menemukan banyak teman baru meski sempat takut karena menjadi minoritas.

“Yang pasti di skena underground itu ada banyak pengalaman yang nggak bisa didapat dari luar,” ungkapnya.

Tepis Stigma Musik Keras

Musik keras dengan tempo cepat menjadi salah satu ciri khas Dewi Nawang Wulan. Ia terlanjur mendalami lebih jauh  dan masuk dalam skena hardcore.

Wulan sapaan akrab Dewi Nawang Wulan terus berkarya. Namun sempat melewati stigma, pandangan buruk atau kesalahpahaman. Sebab  menjadi minoritas penikmat dan pelaku musik keras. Tapi itu bukan halangan. Ia justru senang karena karyanya bisa didengar dan dinikmati.

Wanita 26 tahun itu lahir dari keluarga yang juga mencintai seni. Namun jalannya tak selalu mulus. Meski begitu ia terus mendalami kesenangannya pada musik cadas. Terlebih menjadi vokalis membuatnya bisa bebas berekspresi.

Wulan bercerita dulu sebelum masuk dunia tarik suara ia banyak bergelut di seni tari. Lebih tepatnya tari tradisional. Hal itu tak lepas dari sang ayah yang memberikan dorongan.

“Kalau latar belakang memang ada darah seni dari orangtua, bapak saya itu dalang. Sebenarnya aku dari kecil itu sudah les nari tradisional,” katanya.

Ia sejak SD sampai SMA sering diikutkan lomba-lomba tari tradisional. Hingga kuliah juga masih aktif di tari tradisional meski tidak sering. Barulah pada saat di perguruan tinggi  banyak beraktivitas dengan bermusik. Terutama musik-musik keras.

“Walau sebenarnya di awal masuk skena underground itu dulu aku sempat takut, karena perempuan sangat minoritas,” kata dia.

Padahal  lanjut Wulan, turut menjadi pelaku musik hardcore punk ataupun bergenre powerviolence diakuinya sangat menikmati. Seru dan senang masuk di skena underground yang memang didominasi oleh kaum laki-laki.

Ia sempat ditentang dan mendapatkan pandangan buruk saat terjun sebagai vokalis dan seriusi musik underground. Wanita asal Karangploso Kabupaten Malang itu menghadapi tanggapan beragam dari keluarga, teman dekat, sanak saudara dan tetangga.

“Kalau tanggapan dari keluarga, teman, atau orang sekitar pastinya di awal sangat tidak mendukung. Karena takut, memang stigma cewek di skena underground itu pasti dipandang jelek dan negatif,” kata dia.

Lambat laun, Wulan orang tuanya juga mengerti sendiri bahwa memang di skena underground tidak mengarah ke hal yang negatif. Ia terus berkarya dan lebih memilih mengesampingkan stigma.

Dia mampu meyakinkan orang terdekat bahwa apa yang dilakukannya bukan sesuatu yang buruk. Terlebih karyanya bisa dinikmati banyak orang.

“Kalau menghadapinya biasa saja. Yang penting bisa meyakinkan orang tua kalau memang aku di skena underground itu mengahsilkan karya yang bisa dinikmati orang sekitar,” tutup Wulan. (tyo/van)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img