Tiktok saat ini menjadi aplikasi media sosial (Medsos) yang semakin populer. Perubahan itu terjadi di Amerika Serikat (AS) yang sangat mungkin akan diikuti oleh Indonesia, tidak saja karena populasi penduduknya besar tetapi tingkat ambisi masyarakatnya dalam menggunakan Medsos sangat besar.
Di AS sendiri, berdasar penelitian yang dilakukan Bloomberg AS, pengguna Tiktok Generasi Z naik tajam melampaui pengguna Instagram. Sementara itu untuk Generasi Milenial, Generasi X, dan Baby Boomers, pengguna Instagram lebih unggul.
Rinciannya, untuk Generasi Z berturut-turut pengguna Tiktok (69 persen) dan Instagram (25 persen). Lalu, Generasi Milenial pengguna Tiktok (20 persen) dan Instagram (44 persen), Generasi X pengguna Tiktok (7 persen) dan Instagram (22 persen), serta Baby Boomers pengguna Tiktok (4 persen) dan Instagram (9 persen).
Sementara itu, jumlah pengunduh aplikasi Tiktok ada pada India, disusul AS, Brasil, Indonesia, dan Rusia. Lalu 10 negara pengguna aktif bulanan Tiktok terbanyak di AS (60 juta), lalu Indonesia (20 juta), Rusia (16 juta), Jepang (12 juta), Prancis (9 juta), Jerman (9 juta), Inggris (8 juta), Italia (8 juta), Spanyol (7 juta), dan Belanda (3 juta).
Bisa dikatakan bahwa Tiktok akan menjadi primadona media komunikasi di masa datang. Ini sama dengan analogi bahwa teknologi akan terus berkembang, manusia harus bisa menyesuaikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa rujukan masyarakat digital di masa datang akan berasal dari Tiktok. Ini tak berarti memandang sebelah mata media massa lain (cetak dan elektronik) dan online, tetapi kecenderungan itu sangat mungkin terjadi.
Terkait kenyataan itu, kita jadi diingatkan oleh pernyataan seorang komedian AS, Will Rogers dan Jerry Seinfeld beberapa dekade lalu, “Yang saya tahu hanyalah apa yang saya baca di koran.” Pernyataan itu bisa jadi guyonan tetapi itu menggambarkan realitas bahwa waktu itu ketergantungan informasi dari koran sangatlah besar di AS. Saat itu memang koran menjadi primadona sumber informasi.
Budaya Tonton dan Dengar
Ada kata bijak yang bisa menganalogikan perkembangan peradaban manusia. Hidup ini maju ke depan dan tidak mundur ke belakang. Itu sangat dimungkinkan salah satunya karena pengaruh perkembangan teknologi komunikasi.
Dalam kajian Ilmu Komunikasi bisa kita pakai terminologi yang pernah dikemukakan oleh Marshall Mc Luhan dengan istilah determinisme teknologi. Bahwa kaitan antara manusia dengan teknologi tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Awalnya manusialah yang menciptakan teknologi. Kemudian setelah berkembang, teknologi itu yang memengaruhi manusia. Karena teknologi ciptaan manusia itu terus berkembang, maka teknologi tidak saja memengaruhi tetapi menentukan apa yang akan dan harus dilakukan manusia.
Saat sekarang masyarakat punya kecenderungan untuk lebih meminati media tayang (tonton dan dengar) dari pada budaya baca. Ini sebenarnya bukan kasus baru. Sudah sejak lama terjadi. Oleh karena itu budaya baca di Indonesia tidak ada peningkatan yang signifikan. Yang justru terjadi adalah budaya tonton dan dengar. Media cetak kalah dengan media elektronik. Maka media sosial yang berkaitan dengan tontonan pun cenderung diminati. Tentu ini tidak mengatakan bahwa media cetak akan mati. Tetapi mengalami pergeseran ke budaya tonton dan dengar.
Kecenderungan Masa Datang
Perkembangan di AS sebagaimana yang disebutkan dalam tulisan ini menjadi catatan menarik. Tiktok adalah media sosial berbasis tontonan. Kecenderungan masyarakat yang menyukai tontonan seperti gayung bersambut. Tak heran jika Tiktok sedang dan akan menjadi primadona untuk diakses.
Tak heran pula bahwa berbagai lembaga, organisasi, institusi cenderung memanfaatkan Tiktok untuk mengomunikasikan pesannya. Bahkan Tiktok bisa dijadikan sarana iklan. Ini disebabkan karena penontonnya jelas.
Memang, bahwa tontonan Tiktok cenderung remeh temeh, ringan, tak pakai data mendalam tetapi cukup menghibur. Apalagi basis popularitasnya berdasarkan pengikut (follower) atau suka (like). Jadi, salah satu tolok ukur popularitas itu jumlah pengikut yang banyak dan yang suka juga tak sedikit.
Maka, meraka yang mempunyai akun Tiktok punya kecenderungan agar video yang dibuatnya bisa masuk For Your Page (FYP). Artinya setiap orang membuka Tiktok ia akan muncul sendiri di berandanya. Salah satu syaratnya tentu banyak yang menonton.
Lagi, membuat video juga tidak terlalu susah. Pokoknya ada tayangan. Setiap orang juga bisa merekam apa saja asal berbentuk video lalu bisa disebar dalam Tiktok. Tidak terlalu sulit, hanya membutuhkan ketekunan dalam mempelajarinya.
Tentu saja, di samping punya dampak positif, Tiktok juga punya dampak negatif. Tidak saja tayangan yang remeh temeh, tetapi tayangan yang berbau “pornoaksi” selalu menghiasi Tiktok. Tetapi karena sifat naluriah manusia umumnya itu menyukai “pornoaksi” maka itu yang menjadi populer. Tak heran jika Anda punya akun Tiktok untuk mencari tayangan yang tak membutuhkan “kecerdasan” tertentu dalam menonton akan bisa disediakan Tiktok.
Bahkan Tiktok sangat mungkin akan menjadi rujukan masyarakat di masa datang. Mau apa? Semua bisa dilayani dengan Tiktok. Ia juga bisa diakses sambil santai atau bahkan rebahan. Ini tentu sangat beda dengan membaca cetakan.
Jika masyarakat menjadikan sumber informasinya dari Tiktok maka pernyataan komedian AS, Will Rogers dan Jerry Seinfeld sebagaimana dikutip dalam artikel ini akan berbunyi, “Yang saya tahu hanyalah apa yang saya tonton di Tiktok.” (*)