MALANG POSCO MEDIA, MALANG- Sidang gugatan perdata yang dilayangkan Ngatipah, 58, warga Dusun Banjarsari, Desa Banjarejo, Pakis terhadap mantan iparnya, Sutris Cs, digelar perdana kemarin di PN Kepanjen. Sidang dengan nomor perkara :18/Pdt.G/2023/PN Kpn dipimpin hakim Asma Fandun, SH. Dalam sidang itu, para tergugat sama sekali tidak hadir.
Sementara, tim kuasa hukum Ngatipah, diwakili advokat Veridiano LF Bili ,SH, MH dan Farhan Faelani, SH. “Dari pihak tergugat, sama sekali tidak hadir. Sedangkan dari turut tergugat, sebagian hadir. Kami hanya menyerahkan gugatan asli kepada majelis hakim di sidang perdana ini. Sidang selanjutnya akan digelar 22 Februari nanti,” ujar Veridianto.
Menyikapi ketidakhadiran para tergugat ini, DR. Yayan Riyanto, SH, MH, ketua tim kuasa hukum Ngatipah berharap dengan gugatan itu, ada penyelesaian yang terbaik bagi semua pihak, berdasarkan hukum yang berlaku. “Tanpa adanya penekanan – penekanan dengan menakut – nakuti akan ditahan atau dimasukkan penjara,” tegasnya.
“Negara ini adalah negara hukum. Jadi setiap persoalan, harus didasarkan atas hukum yang berlaku,” tambahnya. Apalagi, kliennya adalah ahli waris yang sah dari almarhum Supari yang telah membeli tanah dengan sepengetahuan keluarga semua, dan menguasai objek itu sejak 20 tahun yang lalu. “Kok baru sekarang dipermasalahkan?,” tanya dia.
Menurutnya, disinilah pentingnya Polres Malang melihat unsure kadaluwarsa dalam hukum pidana. “Dan untuk PT Bintang Indonesia Masyhur (BIM) atau pengembang Lavanaa Land harus bertanggung jawab atas PPJB yang sudah ditandatangani di notaries. Jangan diputarbalikkan dengan membuka peluang perdamaian dari orang yang tidak berhak, sehingga menjadi blunder bagi semua pihak,” tutupnya.
Seperti diberitakan, Ngatipah dan tiga anaknya, Nuriatin, 42, dan Ainun Jariyah, 31, keduanya warga Desa Banjarejo, Pakis, serta Jamaadi, 39, warga Desa Kedungrejo, Pakis, dipolisikan. Mereka dituding menjual tanah warisan Sarinten, 70, neneknya senilai Rp 1,4 miliar kepada PT BIM. Jual beli tanah yang kini dipergunakan sebagai lahan perumahan Lavanaa Land, terjadi tanggal 6 April 2002.
Jual beli dilakukan antara Supari, suami Ngatipah dengan Sarinten, ibu kandungnya, dengan persetujuan sauara kandung Supari. Tanah dibeli Supari dengan harga Rp 20 juta. Uang tersebut, untuk menutup utang kedua orang tuanya. Masalah muncul ketika Ngatipah dan anak – anak Supari sebagai ahli waris, menjual tanah itu kepada PT BIM yang hendak digunakan untuk Perumahan Lavanaa Land. (mar)