MALANG POSCO MEDIA, MALANG- Sarung dan surban menjadi pernak pernik Ramadan yang mengalami peningkatan penjualan. Namun, hal itu tak dialami rumah produksi sarung di Jalan Indrokilo, Kecamatan Lawang. Produksi sarung tenun tradisional mereka lesu, bahkan kini sepi pesanan.
Rumah usaha tenun tanpa mesin yang sudah berjalan sekitar 10 tahun, milik Ridho B Mansyur itu mengalami pasang surut sejak beberapa tahun terakhir. Pandemi Covid-19 sempat membuat pabrik vakum sementara. Ditambah, pekerjanya rata-rata sudah berusia lanjut.
“Sekarang sepi, tinggal beberapa pekerja yang mengelola,” kata Misbach, salah satu pekerja rumah tenun. Ia menceritakan, bertebarannya sarung-sarung berbagai merek hasil produksi mesin pabrik, membuat sarung tenun tradisional kalah saing. Perlahan penjualan menurun dan pesanan tak lagi seramai dulu.
“Kalau sarung sekarang sudah banyak yang menggunakan mesin pabrik. Diproduksi jumlah lebih besar dan harganya dibawah sarung tenun tradisional,” katanya. Misbach mengaku, sejatinya saat Ramadan hingga Idul Fitri, pesanan sarung biasanya meningkat. Namun sejak kalah saing pesanannya menurun cukup drastis.
Misbach menyebut, dalam kondisi normal, bisa mencapai 80 sarung tenun bisa diproduksi setiap minggunya. Sedangkan saat ini hanya sekitar 20 hingga 25 sarung. “Dulu, saat puasa kirim 10 bal sampai ke Surabaya atau daerah lain. Sekarang hanya 3 bal,” katanya. Rumah produksi itu menjual sarung tenun dalam dua merek berbeda.
Yakni sarung merek Utara dengan kisaran harga mulai Rp 120 ribu per sarung, sementara merek Laila kisaran Rp 220 ribu satu sarung tenun. Perbedaan harga biasa dibedakan dari jenis benang dan kualitas benang. Merek Laila menggunakan benang impor dari India, sedang merek Utara menggunakan benang lokal. (tyo/mar)