Puasa Ramadan merupakan salah satu ibadah mahdah yang wajib dijalankan oleh ummat Islam, sebagai konsekuensi atas keimanan kepada Allah SWT. Terhadap puasa Ramadhn Allah memberi penilaian tersendiri, sebagaimana Hadits Qudsi: “Puasa adalah untuk-Ku semata, dan Akulah yang menanggung pahalanya.”
Firman tersebut menunjukkan bahwa puasa Ramadan sifatnya privat (pribadi), siapapun tidak bakal mengetahui apakah seseorang benar-benar atau hanya berpura-pura menjalankan ibadah puasa, hanya Allah-lah dan individu yang berpuasa yang mengetahuinya.
Quraish Shihab (2021) mengibaratkan puasa sebagai ikhtiar manusia mencontoh Allah dalam sifat-sifat-Nya. Bukankah Allah tidak makan, tidak minum dan tidak beranak atau diberanakkan? Ketiganya merupakan kebutuhan primer manusia. Bila ia mampu mengendalikannya, niscaya kebutuhan-kebutuhan lainnya mudah pula dikendalikan.
Dari segi hikmah dan tujuan puasa, manusia seharusnya mencontoh Allah dalam keseluruhan sifat-sifat-Nya. Seperti Allah Maha Berpengatahuan, Allah Maha Kaya, Allah Maha Damai, Allah Maha Pengasih terhadap makhluk-Nya, dan lain-lain.
Dengan demikian puasa seharusnya mendidik manusia agar mampu mengendalikan diri dari sifat-sifat yang dapat menyulut timbulnya konflik di masyarakat. Sebaliknya puasa seharusnya mendidik manusia agar selalu menebarkan kedamaian. Menahan diri dari godaan kenikmatan materi, demi mendapatkan kenikmatan rohani. Menahan diri dari berbagai godaan yang dapat menyeret kepada gaya hidup egoistik dan hedonistik.
Pada puasa Ramadan terkandung pesan moral yang sangat mendasar. Dalam padangan Rasulullah, “harga” puasa dinilai dari seberapa jauh manusia menjalankan pesan moralnya. Apabila puasa yang dikerjakan tidak berdampak pada peningkatan moral, beliau menganggap puasa yang dilakasanakan sia-sia.
Rasul bersabda: “Sesungguhnya puasa adalah penghalang bagi kamu untuk berbuat hal-hal tercela. Betapa sedikit orang yang berpuasa dan betapa banyak orang yang sia-sia kecuali kelaparan.” (al-Hadits).
Dapat dipahami bahwa esensi puasa tidak hanya menahan diri dari dorongan nafsu makan dan nafsu syahwat, melainkan semua organ tubuh, pikiran dan hati juga harus berlatih dan melakukan puasa. Secara lahir diwajibkan mengendalikan indera lahiriyah seperti lidah berpuasa berbicara maksiat, telinga berpuasa mendengar maksiat, mata berpuasa melihat maksiat.
Begitu juga dengan batin, berpuasa dari pikiran-pikiran dan imajinasi yang dapat menimbulkan maksiat. Dengan melakukan hal tersebut maka selama Ramadan diharapkan bisa melakukan introspeksi dan koreksi terhadap rutinitas keseharian dengan memutuskan diri dari hiruk pikuk yang selalu memasang jebakan perjalanan hidup menuju Allah.
Seiring perkembangan zaman, kekhawatiran terhadap memudarnya pesan-pesan moral puasa bisa dimaklumi. Tidak sulit menemukan perilaku yang ambivalen. Intensitas ritual menjadi sangat romantik, akan tetapi tidak selalu membuahkan kesalehan pribadi, terlebih kesalehan sosial. Ketaatan formal seringkali tidak sejalan dengan fungsi nyata dalam kehidupan. Nama Allah memang dikumandankan dimana-mana, tetapi sifat-sifat Allah tidak sepenuhnya dihadirkan. Kehadiran bulan Ramadan disambut antusias oleh masyarakat, dengan harapan memperoleh barakah sebanyak-banyaknya. Namun pamer kekayaan dan kekuasaan tidak berubah, bahkan pada tataran perilaku keseharian hedononisme cenderung tidak terkendalikan.
Gejala tidak terkendalikannya gaya hedonis ini ditemukan. Kesemarakan masjid dan musala di awal Ramadan secara bertahap selalu berkurang dengan bakal berakhirnya Ramadan. Mereka lebih suka mendatangi “mall-mall” daripada mengejar pahala lailatul qadar.
Gaya hidup hedonis ini seolah sudah menjadi ideologi tahunan. Keyakinan dalam “bawah sadar” dari sebagian masyarakat telah mengharuskan bahwa Ramadan menjadi lebih afdhal jika disertai aneka pernik-pernik keduniawian. Maka tidak heran, jika konsumsi tidak sekadar bersifat fungsional–pemenuhan dasar kebutuhan manusia- melainkan sebagai simbol yang menggambarkan status sosial tertentu.
Fenomena kendaraan dan baju baru yang selalu diasosiakan dengan lebaran menggambarkan hal tersebut. Padahal kendaraan dan baju yang ada masih layak pakai dan belum tergolong usang. Dengan dalih tidak layak dibawa bertamu, ia tidak peduli berapa ongkos yang harus dikeluarkan.
Dalam pandangan Shariati (2001), ada empat penjara yang mengungkung diri manusia, yakni alam, sejarah, masyarakat, dan ego. Perjuangan manusia yang terberat untuk membebaskan diri dari kungkungan penjara itu ialah melawan ego.
Manusia memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kungkungan alam, sejarah dan masyarakat, namun acapkali gagal dalam menaklukkan ego dalam dirinya. Termasuk menaklukkan diri untuk tetap istiqamah menjalankan pesan-pesan moral ibadah puasa Ramadan.
Semoga ibadah puasa Ramadan di tahun ini dapat meningkatkan kualitas keimanan kita agar kita betul-betul menjadi manusia muttaqin. Amin.(*)