Oleh: Cahaya Endah Puspita
Mahasiswi Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Malang
GENERASI milenial Indonesia adalah sekelompok orang yang berkembang selama periode perubahan sosial, teknologi, dan politik yang cepat. Asuhan generasi ini mencerminkan perjalanan mereka, melalui era reformasi Indonesia. Mereka menyaksikan dan berpartisipasi dalam memperjuangkan demokrasi dan kebebasan berbicara.
Mereka digunakan untuk kecepatan dan kemudahan mengakses berbagai sumber data, sehingga dapat mengecam ataupun membedah pemberian, yang didorong oleh kebijakan secara lebih luas. Selain itu, mereka sering mengkomunikasikan opini politik mereka melalui digital dan media sosial, sehingga memengaruhi opini publik secara signifikan.
Selain itu, generasi milenial tumbuh di masa ketika orang tidak puas dengan kinerja pemerintah dan partai politik yang lebih tua. Mereka percaya bahwa reformasi yang signifikan dalam tata kelola bangsa, diperlukan untuk mewujudkan harapan mereka untuk masa depan yang lebih baik.
Generasi ini mendukung transformasi sosial dan politik yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif. Partisipasi pemuda dalam organisasi mahasiswa, gerakan sosial, dan partai politik meningkat akibat keterlibatan generasi milenial dalam politik. Generasi milenial terlibat dalam politik karena berbagai alasan yang beragam dan rumit.
Pergeseran sosial dan politik yang disaksikan oleh generasi ini sepanjang hidup mereka adalah salah satu faktor utamanya. Mereka menyaksikan dan berpartisipasi dalam perjuangan demokrasi dan kebebasan berbicara sebagai anak-anak selama era reformasi dan demokratisasi Indonesia.
Kesadaran politik dan keinginan mereka untuk secara aktif, berkontribusi pada perubahan yang lebih baik, dipicu oleh pengalaman tersebut (Jurnal Penelitian Komunikasi Juditha dan Darmawan, 2018). Fenomena generasi milenial merupakan topik yang banyak dibahas karena dianggap unik.
Generasi ini tidak bisa lepas dari teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. Namun sering juga dianggap sebagai generasi yang paling tidak peduli dengan persoalan politik, di antaranya menjadi warga negara yang tidak ikut menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu.
Padahal generasi milenial memiliki potensi karena jumlahnya besar serta sebagai penerus pemimpin bangsa sehingga partisipasi politik mereka sangat dibutuhkan. Generasi milenial juga dipengaruhi untuk terlibat dalam politik dengan kemajuan teknologi dan akses informasi yang mudah.
Generasi ini tumbuh dengan menggunakan media sosial dan platform digital lainnya secara rutin dan menguasai teknologi. Mereka dapat mengakses berbagai sumber informasi dan mengkomunikasikan opini politik mereka kepada khalayak luas. Media sosial dan grup obrolan online adalah media digital yang juga paling dominan mereka pergunakan.
Mereka sekarang memiliki kesempatan untuk mengungkapkan tujuan mereka dan mengubah pikiran orang dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Generasi milenial juga didorong untuk terlibat dalam politik karena kepedulian mereka terhadap masalah sosial, lingkungan, dan keadilan.
Memperjuangkan hak asasi manusia, kesetaraan gender, kelestarian lingkungan, dan isu-isu lain yang mereka anggap penting adalah penting bagi mereka. Generasi ini ingin membuat perubahan besar dalam masyarakat dan memastikan suara mereka didengar saat membuat kebijakan publik.
Generasi ini terinspirasi untuk mengikuti jejak mereka dan berkontribusi dalam politik ketika melihat pemimpin muda yang sukses dan amanah. Namun tidak bisa dipungkiri, keterlibatan generasi milenial dalam politik juga terhambat oleh kendala lain.
Ketidakpercayaan terhadap partai politik dan pemerintah, persepsi bahwa politik adalah dunia yang kotor dan korup, kesulitan mendapatkan sumber daya politik, dan kurangnya pengalaman politik adalah beberapa faktor tersebut.
Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, adalah salah satu contohnya. Ia mengaku siap menjadi “Depok Pertama” pada Pilkada Depok November 2024. Keluarganya telah memberikan restu dan izin atas pernyataan tersebut. Apalagi melihat keberhasilan Gibran Rakabuming, kakak kandungnya dan Bobby Nasution, kakak iparnya.
Melihat Gibran Rakabuming sebagai Wali Kota Solo dan Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan, Kaesang pun seakan ingin mempertahankan dinasti politik dalam keluarga. Terlepas dari kurangnya pengalaman politik Kaesang, pengalaman Gibran dan Bobby menunjukkan bahwa siapa pun dapat berhasil dalam politik.
Namun demikian, ada kekhawatiran bahwa politik seharusnya didominasi oleh pemimpin muda yang kompeten dan berpengalaman, bukan hanya karena usia atau status keluarga (dikutip dari DetikJabar, 2023). Pemberitaan tersebut membahas tentang hal-hal yang membuat orang-orang seperti Kaesang Pangarep, anggota generasi milenial, ingin terjun ke dunia politik.
Pertama dan terutama, Kaesang menjunjung tinggi izin dan restu keluarga. Reputasi dan citranya sebagai anak presiden bisa rusak jika janjinya tidak ditepati atau ditepati. Keputusannya juga sebagian besar dipengaruhi oleh kata-kata penyemangat ayahnya, Presiden Jokowi.
Selain itu, keterkaitan generasi milenial dengan bisnis Kaesang menjadi faktor lain yang mendorong mereka terjun ke dunia politik. Dukungan politik berpotensi mempercepat laju bisnis mereka dalam situasi ini. Analis Ujang juga menyebut keluarga Jokowi memiliki kecenderungan membentuk dinasti politik.
Terbukti dengan jabatan kepala daerah yang dipegang Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution. Majunya pencalonan Kaesang sebagai Wali Kota Depok juga dipandang sebagai peluang untuk memperkuat dinasti politik ini. Di Indonesia, generasi milenial seperti Kaesang Pangarep semakin banyak terlibat dalam politik.
Izin dan istirahat dari keluarga, dorongan dari faktor politik yang berpengaruh, afiliasi bisnis yang dirasakan, dan potensi kehancuran politik merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan mereka.
Kehadiran generasi milenial yang kompeten dan memiliki pemahaman yang baik tentang politik dan ketatanegaraan penting untuk memajukan pemerintahan dan kemajuan suatu kota atau negara, meskipun pengalaman politik bukanlah faktor penentu.
Kebijakan yang mendorong generasi milenial untuk berpartisipasi dalam politik semata-mata atas dasar usia atau hubungan keluarga, tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kepemimpinan yang dibutuhkan, menjadi sasaran kritik.
Meskipun melibatkan generasi milenial dalam politik berpotensi membawa inovasi dan perubahan, penting juga untuk memastikan bahwa mereka berpengalaman dalam tata kelola negara dan tanggung jawab yang terkait dengan posisi politik.(*)