spot_img
Tuesday, February 4, 2025
spot_img

GenZ Mengelola Keuangan: Yolo vs Yono

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Generasi Z yang kini berusia antara 18 hingga 30 tahun, menghadapi dilema finansial yang cukup kompleks. Di satu sisi, mereka adalah generasi yang terpapar beragam peluang teknologi dan media sosial, tetapi di sisi lain, mereka juga dihadapkan pada tantangan ekonomi yang cukup berat.

Jika beberapa tahun lalu tren “YOLO” (You Only Live Once) menjadi semacam mantra hidup, kini, ada pergeseran ke arah yang lebih rasional dengan munculnya konsep “YONO” (You Only Need One). Apa yang menyebabkan pergeseran ini, dan bagaimana hal ini memengaruhi pola perilaku finansial Gen Z?

-Advertisement-

Gen Z mungkin telah menyaksikan banyak krisis finansial dan ketidakpastian ekonomi sejak kecil, namun mereka juga lebih cerdas dan melek teknologi. Ironisnya, di balik kecanggihan teknologi, permasalahan finansial mereka tetap ada. Banyak yang terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang didorong oleh sosial media dan tekanan untuk selalu tampil “sukses” secara material.

Berdasarkan hasil survey Alve Research Center pada tahun 2020, sejumlah 35 persen anak muda mengaku sering melakukan belanja impulse buying. Jumlah generasi muda muda terhadap belanja impulse buying semakin meningkat di tahun 2023 mencapai 42 persen.

Data ini semakin mengkhawatirkan ketika melihat kenaikan harga barang dan properti yang terus melambung, terutama harga rumah yang semakin sulit dijangkau oleh Gen Z. Hal ini mengarah pada perilaku utang yang tidak terkendali, dengan banyak anak muda yang mulai terbebani dengan kredit konsumsi.

Namun demikian, kini mulai ada pergeseran gaya manajemen keuangan di kalangan anak muda. Pergeseran ini datang dari Korea Selatan, di mana generasi muda mulai beralih dari gaya hidup YOLO yang mengutamakan kesenangan sesaat, menuju YONO yang lebih mengutamakan kebutuhan dasar yang lebih sederhana dan stabil. Hal ini terkait erat dengan fenomena yang mereka sebut “Frugal Living”—gaya hidup hemat dan sadar finansial.

Anak muda di Korea kini lebih memilih untuk menyisihkan sebagian besar pendapatan mereka untuk investasi atau tabungan, dibanding menghabiskan uang untuk hiburan yang sifatnya konsumtif. Mereka lebih memilih untuk membeli properti kecil atau berinvestasi dalam saham, sebagai upaya untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik dan stabil.

Di Indonesia, meski ada pergeseran serupa, tren ini belum sekuat di Korea Selatan. Anak muda di Indonesia masih banyak yang terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Terutama dengan adanya kemudahan akses ke e-commerce dan layanan peminjaman uang online.

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2024 dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan generasi muda di Indonesia masih rendah. Artinya, masih banyak yang perlu dipelajari mengenai perencanaan keuangan, tabungan, dan investasi. Padahal, dengan harga rumah yang semakin melonjak dan biaya hidup yang terus meningkat, cara pandang “YOLO” yang hanya mengutamakan kenikmatan sesaat bisa berbahaya untuk keuangan jangka panjang mereka.

Perubahan ini tidak hanya sekadar fenomena sosial semata, tetapi juga bisa dijelaskan melalui teori ekonomi perilaku (behavioral economics). Salah satu teori yang relevan adalah teori “Present Bias.” Teori present bias adalah teori yang menjelaskan kecenderungan manusia untuk lebih mementingkan kondisi saat ini daripada masa depan (O’Donoghue & Rabin, 1999). Teori ini menjelaskan mengapa banyak anak muda terjebak dalam gaya hidup konsumtif, bahkan ketika mereka tahu itu berisiko.

Namun, dengan meningkatnya literasi keuangan dan kesadaran akan pentingnya investasi dan pengelolaan keuangan yang cerdas, teori ini mulai mengalami pergeseran. Konsep “Delayed Gratification” (penundaan kenikmatan) mulai diperkenalkan, di mana individu belajar untuk mengorbankan kenikmatan jangka pendek demi stabilitas finansial di masa depan.

Bagi Gen Z, penting untuk mulai menata ulang prioritas finansial mereka dengan langkah-langkah yang bijak. Pertama, memperdalam literasi keuangan adalah hal yang krusial, karena pengetahuan tentang pengelolaan uang, tabungan, dan investasi dapat membuka jalan menuju kestabilan finansial.

Saat ini, banyak platform online yang menawarkan kursus gratis untuk membantu mereka memahami dasar-dasar keuangan pribadi. Selain itu, mengatur anggaran bulanan menjadi langkah penting untuk menghindari pengeluaran berlebih, sehingga pengelolaan uang menjadi lebih terkontrol dan dana darurat bisa terkumpul.

Tidak kalah pentingnya, memulai investasi sejak dini—baik itu saham, reksa dana, atau properti kecil—meskipun ada risiko yang menyertainya, namun keuntungan jangka panjang akan sangat berharga. Terakhir, mengadopsi gaya hidup hemat ala anak muda di Korea yang lebih memilih memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan bisa menjadi cara efektif untuk menabung lebih banyak dan mempersiapkan masa depan yang lebih stabil.

Pergeseran pengelolaan keuangan dari YOLO ke YONO adalah tanda positif bahwa generasi muda semakin sadar akan pentingnya pengelolaan keuangan yang bijaksana. Meskipun masih banyak tantangan yang dihadapi, Gen Z bisa menciptakan masa depan yang lebih stabil dan bebas dari beban finansial.(*)

-Advertisement-

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img