Tak terasa waktu cepat berlalu. Tinggal menunggu hitungan hari kita akan berpisah dengan bulan Ramadan. Bulan yang penuh dengan keberkahan ini. Bulan yang kehadirannya dirindukan oleh setiap umat muslim. Namun, bulan Syawal pun tak kalah dinantikan oleh umat muslim terutama ketika merayakan hari raya Idul Fitri. Penanda kembalinya diri menjadi fitri atau sebagai penyucian diri dengan saling bermaafan dan memaafkan setelah berlalunya bulan Ramadan. Hal yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia di hari raya Idul Fitri adalah melakukan halal bihalal.
Taukah kamu makna sebenarnya dari halal bihalal? Halal bihalal merupakan suatu kegiatan tradisi atau budaya yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk menjalin tali silaturahmi dan saling bermaafan untuk menyambut hari kemenangan yaitu hari yang fitri. Baik dilakukan dengan kerabat terdekat, tetangga, dan teman.
Biasanya halal bihalal dilakukan setelah dilaksanakannya sholat Idul Fitri dengan bentuk ramah tamah dengan berkumpul atau pun makan bersama. Hal inilah momen yang dirindukan dari perayaan Idul Fitri karena dapat berjumpa dan berkumpul kembali dengan sanak saudara jauh untuk mempererat tali persaudaraan.
Hal positif dari mengikuti tradisi ini adalah bisa merajut tali ukhuwah yang terputus dapat tersambung kembali. Kegiatan silaturahmi juga bisa memperpanjang umur umat muslim, sebagaimana hadist nabi dalam HR. Bukhari yaitu “Siapa yang suka rezekinya dilapangkan dan usianya dipanjangkan, hendaklah ia menyambung kerabatnya (silaturahim).”
Maka dari itu, hari lebaran merupakan ajang bagi sanak saudara untuk mengikat kembali dan mempererat tali ukhuwah sesama keluarga dan saudara semuslim. Namun, di samping itu juga ada beberapa hal yang secara tanpa kita sadari ada beberapa kegiatan yang terdapat dalam tradisi halal bihalal yang melanggar syariat ajaran Islam.
Pertama, yaitu keyakinan tentang memaafkan dan meminta maaf pada orang lain hanya bisa dilakukan pada saat lebaran. Kebanyakan orang-orang malu atau gengsi untuk mengatakan maaf baik pada orang tua ataupun saudara. Sehingga momen lebaran inilah dianggap sebagai momentum yang tepat untuk meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan selama satu tahun sebelum datangnya lebaran. Padahal meminta maaf dan memaafkan tidak harus dilakukan menunggu datangnya lebaran di tahun berikutnya serta dilakukan hanya sekali dalam setahun.
Kedua, tabarruj. Banyak masyarakat terutama di kalangan perempuan yang bersolek atau berdandan berlebihan serta memakai semua perhiasannya saat lebaran. Memakai pakaian bagus, bersih, dan rapi tentunya menjadi hal yang dicintai oleh Allah ketika kita akan melaksanakan sholat Idul Fitri.
Tapi bukan berarti harus memaksakan diri untuk membeli pakaian baru dengan keadaan keuangan yang masih minim. Allah juga tidak menyukai hal-hal yang berlebih-lebihan terutama saat memaksakan diri untuk mengikuti standard dan perkembangan tren yang ada. Tanpa kita ingat bahwa sebaik-baik pakaian adalah pakaian takwa di mata Allah. Berpakaian tentu yang baik, tapi jangan berlebihan dan memaksakan keadaan.
Terakhir, salaman. Kegiatan ini dilakukan dengan saling bersalam-salaman baik dengan yang mahram ataupun bukan mahram sebagai tanda kedua orang tersebut sudah saling memaafkan. Padahal sudah jelas hukum bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram, dilarang dalam syariat Islam.
Sebagaimana yang disampaikan Rasulullah dalam HR Ath Thabrani yang berbunyi “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya.” Dari hadist ini sudah jelas bahwa bersentuhan secara sengaja atau tidak antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram tidak diperkenankan apalagi bersalaman.
Tentunya banyak sekali keluarga atau bahkan orang terdekat sekitar yang menghujat diri kita karena berpegang teguh pada prinsip untuk tidak bersalaman ataupun menyentuh seseorang yang bukan mahramnya. Ketika yang awalnya melaksanakan sebuah tradisi sebagai hal yang baik karena sudah biasa dilakukan namun tiba-tiba melihat kita mengubah tradisi karena sudah mengetahui bahwa itu ternyata tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
Terutama di kalangan kita yang sudah memutuskan untuk hijrah lalu perlahan menerapkan pola yang sesuai dengan yang syariat ajarkan. Hal ini sontak akan membuat keluarga yang masih awam pengetahuannya tentang Islam tercengang dan menganggap berlebihan bahkan terkesan fanatik terhadap Islam karena melihat kita mulai menerapkan hal seperti itu.
Hal ini tentunya merupakan PR tersendiri bagi diri kita yang mulai memutuskan berhijrah untuk berani berdakwah secara pelan-pelan dalam lingkungan keluarga dengan memberikan pengetahuan mengenai siapa saja mahram dan bukan mahram yang boleh atau tidak boleh kita sentuh.
Jika masih tidak mempan dan dianggap ekstrim oleh kalangan keluarga, maka kita bisa menerapkan tips bang Aan Candra Talib dengan pura-pura atau beralasan tangan kotor karena habis pegang gorengan. “Mohon maaf, tangan saya berminyak atau kotor” jadinya tidak jadi salaman deh.
Atau mungkin karena sekarang sedang maraknya pandemi Covid-19 yang belum memudar, kita juga bisa memanfaatkan moment ini sebagai momentum dengan beralasan sebagai upaya mematuhi protokol kesehatan yang ada karena walaupun kita sudah terbiasa berdampingan dengan virus Covid-19.
Namun alangkah baiknya kita tetap waspada dan menjaga diri dengan berhati-hati melalui penerapan protokol karena sebenarnya pandemi Covid-19 belum memudar seutuhnya dan sepenuhnya.(*)