spot_img
Tuesday, September 17, 2024
spot_img

Hidup Berpindah-Pindah karena Dikejar Penjajah

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Kisah Letda (Purn) Taman Lawan Pasukan Belanda di Tumpang (2)

Letda (Purn) Taman  pejuang yang sangat tangguh. Rela hidup di pengungsian dalam waktu yang lama. Bergerilya dari tempat yang satu ke tempat lainnya untuk melawan Belanda.

MALANG POSCO MEDIA-Kisah perjuangan Taman diceritakan Migko Budi Yuwono anak ke tiga Taman. “Bapak tidak pernah cerita dia membawa senjata apa. Yang jelas, dulu saat berjuang, hidupnya berpindah-pindah. Dari tempat satu ke tempat lain. Pernah di Desa Belung Poncokusumo, pernah di Ngadas Poncokusumo, Kepanjen, sampai ke Ngebruk Kecamatan Sumberpucung,’’ certa Budi sapaan Migko Budi Yuwono tentang cerita perjuangan ayahnya.

Didampingi sang adik yakni Elia Ruspita  dan Nunik Emilia, Budi mengatakan jika perpindahan Taman dari tempat satu dan tempat yang lain karena mengungsi. Lantaran saat itu Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran.

“Setelah dari pangkalan Bugis, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, bapak dan  pejuang lainnya menuju ke Tumpang. Dulu Tumpang belum seperti sekarang. Dulu Tumpang  masih hutan, menurut cerita bapak semasa hidup dulu,’’ kata Budi.

Sembari mengingat, Budi mengatakan para pejuang sempat membuat markas AURI. “Markas itu sekarang jadi RS Sumber Sentosa Tumpang. Di markas tersebut anggota berjaga secara bergantian. Mereka terus waspada, mengantisipasi datangnya musuh,’’ tambah Budi. 

Sementara para keluarga anggota AURI yang ikut mengungsi ditempatkan  tahu  jauh dari wilayah itu. Mereka juga terus berjaga secara bergantian, khawatir  Belanda datang.

“Kalau  bapak bercerita, Belanda ini ingin masuk Malang dan membunuh siapapun  yang menghalangi. Tapi pejuang Indonesia, terutama AURI sangat tangguh dan terus melakukan perlawanan. Sehingga meskipun berulangkali melakukan penyerangan faktanya Belanda tidak dapat menduduki wilayah Malang Timur.

“Bapak berjuang tanpa kenal lelah. Sebagai putra bangsa, bapak menunjukkan rasa cintanya kepada Tanah Air. Dia pun rela berjuang sampai  titik darah penghabisan. Itu sebabnya, saat Belanda menyerang, bapak dan rekan-rekannya terus melakukan perlawanan, dan berhasil membuat tentara Belanda mundur serta lari tunggang langgang,’’ ucap Budi.

Sementara itu begitu markas di Tumpang diketahui keberdaannya oleh Belanda,  Taman dan pasukan lainnya pun mencari tempat pengungsian baru. Mereka berjalan kaki ke wilayah Timur. Hingga akhirnya Taman dan pejuang lainnya mengungsi di wilayah Desa Belung, Poncokusumo. Tempat ini dipilih karena secara geografis lebih tinggi dibanding Tumpang. Di tempat tersebut memudahkan mereka untuk mengintai pasukan Belanda jika mereka tiba-tida datang melakukan penyerangan.

“Lebih satu bulan bapak mengungsi di Desa Belung Poncokusumo. Hingga kondisi betul-betul aman,’’ ucap Budi yang diiyakan oleh dua adiknya.

Namun  demikian, tempat itu akhirnya diketahui  juga oleh Belanda. Yang kemudian melakukan   penyerangan. Taman dan para pejuang serta  keluarganya kemudian berlari  ke Ngebruk.

“Ngebruk itu wilayah Sumberpucung. Mereka semua berjalan kaki menuju ke sana. Jaraknya lebih dari 15 kilometer. Tapi begitulah, karena semua memiliki tekad yang sama, dan ingin Indonesia betul-betul merdeka, perjalanan panjang itupun dilalui juga,’’ katanya.

Budi mengatakan dalam rombongan pejuang itu, selain ada H AS Hanandjoeddin ada juga pejabat lain yang ikut mengungsi dan melakukan perlawanan kepada Belanda.

Meskipun Taman menceritakan detail kisah perjuangannya, tapi almarhum Taman tidak mau  menyebutkan berapa banyak korban atau pejuang yang gugur selama peperangan di Malang Timur pada akhir Juli – Agustus 1947.

Taman juga enggan menceritakan kondisi teman-temannya sesama pejuang. “Kata bapak saat itu, jika ada pejuang yang terluka, Taman pun segera menandu mereka untuk dibawa ke tempat yang aman,’’ ucapnya.

Ya sekalipun tidak semua dapat dibawa dengan tandu, yang jelas banyak pasukan yang hidup karena segera dilakukan pertolongan.

Sementara di Ngebruk, AURI juga membuat markas. Dibandingkan dengan markas di Tumpang maupun di Belung Poncokusumo, di Ngebruk tidak banyak cerita disampaikan Taman.

“Entah apakah sudah betul-betul merdeka atau apa. Yang jelas, setelah pertempuran di Tumpang dan Poncokusumo, hampir tidak ada cerita lagi. Kepada kami berulang-ulang bapak bercerita tentang wilayah Malang Timur,’’ tambahnya.

Sementara kehidupan keluarga Taman baru  dimulai tahun 1954. Dia mempersunting Sutiara  warga Tumpang. Dari pernikahan itu lahir tujuh orang anak. Yaitu empat laki-laki dan tiga anak perempuan. Di rumah Taman mendidik anak-anaknya dengan sangat disiplin. Setiap hari mereka harus bangun jam 03.00. Mereka juga harus Salat Subuh berjamaah di musala,wakaf ataupun masjid,’’ ungkapnya.

Kedisiplinan saat hidup di militrer sama sekali tidak dilupakan oleh Taman. Bahkan saat dia pensiun  1976 lalu dari TNI AU, Taman tetap disiplin.

“Selama bapak di TNI AU, selain cinta dengan pekerjaan, dia juga sangat cinta dengan keluarganya,’’ ucap Budi. (ira/van)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img