spot_img
Thursday, September 19, 2024
spot_img

Perajin Tempe Bertumbangan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Pelan tapi pasti, kenaikan harga kedelai berdampak pada perajin tempe dan tahu di Kota Malang. Tidak sedikit perajin tempe dan tahu yang bertumbangan karena tidak mampu lagi melanjutkan usahanya di tengah harga kedelai yang terus melonjak.

Sebelumnya ada sekitar 630 perajin tempe di Kota Malang, belakangan ada sekitar 20 perajin tempe yang menutup usahanya karena kenaikan harga kedelai di tengah pandemi Covid-19 ini. Penggagas Paguyupan Sanan Sentra Industri Tempe Ifan Kuncoro menjelaskan, kesulitan dirasakan para perajin tempe sejak adanya pandemi. Harga kedelai import dari awalnya Rp 6 ribu per kilogram, saat ini sudah naik mencapai Rp 11 ribu per kilogramnya.

“Para perajin tempe juga harus menyesuaikan dengan kondisi ini. Setelah harga kedelai naik, perajin tempe yang juga mengolah tempe menjadi kripik dan lainnya, juga harus disulitkan dengan kenaikan harga minyak goreng,” kata Ifan Kuncoro kepada Malang Posco Media, kemarin.

   Para pengrajin sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Berbagai upaya dilakukan untuk membuat usahanya tetap berjalan. Salah satunya dengan membuat berbagai olahan dari tempe. Serta mengurangi ukuran lebih kecil dari biasanya.

“Tidak hanya tempe, kami mengolahnya menjadi aneka camilan. Seperti keripik, stik dan kering tempe. Makanya bisnis ini masih tetap jalan. Bukan kualitasnya yang diturunkan tapi kuantitasnya,” tambahnya.

Di tengah kenaikan harga kedelai yang terus meroket, pihaknya berusaha untuk tetap eksis dan mempertahankan usahanya. Tidak sempat untuk protes kepada pemerintah, apalagi sampai mogok produksi, seperti yang dilakukan di daerah lain. Tapi tetap harapannya ada perhatian pemerintah kepada para perajin tempe yang saat ini tetap berusaha eksis di tengah kenaikan harga kedelai yang terus naik.  

“Kebanyakan yang tidak lagi berjualan tempe itu dibagian olahan tempe. Tapi untuk produksi tempenya paling hanya satu atau dua orang saja yang berhenti jadi produsen,” ungkapnya.

 Ditambahkannya, sebelum pandemi per harinya dapat menghabiskan 40 ton kacang kedelai untuk produksi. Tapi semenjak pandemi menurun hingga 50 persen. Kini hanya membutuhkan bahan baku 20 ton per harinya. Penjualan ke konsumen pun dengan mengurangi ukurannya, agar konsumen tetap membeli tempe.

“Ini juga berdampak ke harga olahan tempe. Kripik tempe dulu per kilonya Rp 40 ribu. Saat ini mencapai Rp 50 ribu perkilonya, imbuhnya.

    Menurutnya, perajin tempe yang banyak gulung tikar kurang membuat inovasi, hanya menjual tempe tanpa diolah. Sedangkan di Sanan berbagai tempe diolah menjadi aneka camilan. Kemudian limbahnya dimaanfaatkan menjadi pakan ternak.

“Usaha sampingan warga disini beternak sapi. Untuk tetap bertahan mereka rela menjual beberapa ternaknya. Agar bisnis tempenya tetap berjalan. Karena kebanyakan bisnis ini dilakukan secara turun-temurun,” tandasnya. (nit/aim)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img