Berkesenian dengan segala keterbatasan. Tak mundur, malah makin bersemangat. Karena konsisten, kini eksis dan diapresiasi. Begitulah Agus Susanto mendirikan sanggar seni mewadahi anak-anak putus sekolah.
Ruangan terbuka berukuran 3 x 4 meter tampak sangat sederhana. Lokasinya di Jalan Wilis, Dusun Krajan Desa Torongrejo Kecamatan Junjerjo Kota Batu. Persisnya di sebelah rumah Agus Susanto.
Di balik kesederhanaan itulah menghadirkan optimisme. Yakni upaya melestarikan seni budaya. Itulah tempat Sanggar Seni Panca Budhi Barata.
Di situ pula semua kesenian tercurahkan. Mulai dari belajar pencak silat, tari seni kreasi, kuda lumping, bantengan, karawitan, hingga membuat alat peraga seni yang dimainkan.
Agus Susanto adalah tokohnya. Ia yang mendirikan sanggar atau disebut juga bengkel itu.
Pria 45 tahun ini mendedikasikan sanggarnya untuk melestarikan seni budaya. Ia mewadahi anak-anak putus sekolah.
Agus juga merangkul anak-anak broken home, hingga anak jalanan dari Kota Batu hingga Malang Raya untuk berkesenian. Segenap bakat, kreativitas dan curahan keluh kesah mereka tersalurkan di Panca Budhi Barata.
“Bengkel dan sanggar seni ini masih baru. Berdiri tahun 2017. Tapi kalau keseniannya sejak tahun 2008,” ujar Agus membuka ceritanya kepada Malang Posco Media didampingi anggota Bengkel Seni Panca Budhi Barata.
Bapak enam anak ini mengawali komunitas seni sejak tahun 2008. Saat itu puluhan anak dari Desa Torongrejo yang bergabung ketika ada kegiatan 17 Agustus.
“Pertama ada komunitas tahun 2008 saat mengisi perayaan Kemerdekaan RI. Dengan anggota yang tergabung 60 orang dari anak-anak muda,” kenangnya.
Dia membangun komunitas seni dengan keterbatasan. Permasalahan datang setelah berjalan dua tahun. Yakni tahun 2010. Mengalami kemunduran, tinggal 20 anggota.
“Namun dari beberapa anggota yang tersisa tercetak anggota yang militan. Disusul dengan prestasi memperoleh predikat juara 1 Kota Batu pada festival pencak silat. Kemudian mulai banyak anggota baru yang bergabung dan berkembang,” kata pria yang bekerja sebagai tukang las ini.
Seiring berjalannya waktu, komunitas yang ia dirikan makin berkembang. Mendapat pengakuan pemerintah. Sehingga tahun 2014 ia mewakili Kota Batu ke Jakarta dalam berkesenian.
Kemudian pada tahun 2016 ada ide dari para anggotanya yang berkeinginan menambah kesenian. Pada akhirnya sanggar atau bengkel seni terbentuk dan diakui oleh Disparta Kota Batu.
“Motivasi membentuk sanggar ini karena saya ingin melestarikan budaya. Yang berbeda dari lainnya, anggota yang bergabung anak putus sekolah, broken home, hingga anak jalanan,” ungkap suami dari Anita Budiman ini.
Dari sanggar seni itulah anak-anak tak hanya mampu berkesenian. Mereka mendapat penghasilan. Mereka juga belajar membuat alat kesenian seperti barong, kendang, hingga kepala banteng.
“Semua alat kesenian di sini bikinan anak-anak sendiri. Meski harus diakui semua serba dalam keterbatasan. Utamanya modal,” imbuhnya.
Mengawali dengan membuat beberapa karya seni. Hasilnya mereka jual. Kemudian uang yang diperoleh digunakan untuk membeli alat.
Dalam sebulan anggotanya mampu membuat lima karya rampak barong. Karya seni seperti rampak barong misalnya dijual dengan harga mulai Rp 1,5 – 2,5 juta.
“Jika rutin per bulannya bisa buat lima karya seni barongan, per hari anak-anak bisa dapat 100 ribu,” paparnya.
Dalam sanggar sederhana tersebut juga digelar latihan rutin tiap hari Rabu dan Jumat mulai pukul 19.30 WIB. Yakni latihan kuda lumping, bantengan, hingga pencak silat.
Untuk latihan Agus tak pernah menarik biaya atau iuran sepeserpun dari anggota. “Kami tak menarik biaya sama sekali. Karena latar belakang mereka yang memang ekonomi di bawah,” kata pria kelahiran Malang ini.
Mewadahi banyaknya anggota yang putus sekolah, diungkap Agus, sempat muncul tanggapan miring. “Tanggapan miring selalu ada. Tapi karena konsistensi melestarikan seni dan rasa sayang saya, mereka dan rasa sayang terhadap budaya. Kami tetap eksis. Bahkan mereka mampu berkreasi dan menghasilkan uang dari berkesenian,” ungkapnya bangga.
Anom Sari salah satu anggota Bengkel Seni Panca Budhi Barata, salah satu yang telah merasakan manfaatnya. Pria yang tak lulus SMP asal Dusun Tutup Desa Torongrejo ini kini berkarya. Bergabung dengan sanggar seni tersebut banyak perubahan perilaku yang dialami. Awalnya suka melawan orang tua. Kini pria 24 tahun itu lebih nurut dan berperilaku sopan santun.
“Sebelumnya saya juga ngamen dan sering minum-minum di pinggir jalan. Tapi setelah bergabung saya belajar banyak. Bahkan di dukung orang tua,” ungkapnya.
Kini seiring berjalannya waktu, sanggar yang awalnya hanya berkesenian pencak silat, bantengan dan kuda lumping ini terus berkembang. Terbaru bengkel Seni Panca Budhi Barata menambah seni teater.
“Tetap aktif meski sempat dihantam pandemi Covid-19 dua tahun bisa tetap eksis. Ini berkat kegigihan anak-anak. Karya tari kami sempat jadi ikon Batu dengan tarian banteng kepang. Udeng karya saya sudah diakui jadi udeng khas Kota Batu dengan nama simobawono,” jelas Agus.
Tidak hanya itu, bengkel juga bekerjasama dengan desa dalam program desa bersinar untuk menanggulangi peredaran narkoba. Mereka juga bekerjsama dengan BNN Kota Batu dan Polres Batu.
Tidak hanya berkutat di bidang seni. Anak-anak juga diajari pande besi. Mulai membuat pisau dapur sampai golok dan alat pertanian. Mereka belajar ngelas agar bisa mandiri. Tak hanya diajari berkesenian dan mencari uang. Cara berorganisasi pun diajari.
Meski dengan semua keterbatasan baik modal maupun alat. Terpenting membekali ilmu dan ketrampilan. “Alhamdulillah sampai sekarang tetap mandiri,” pungkasnya.(kerisdianto/van)