Sudah jadi pemandangan yang jamak jika banyak orang sibuk dengan smartphone-nya. Hari-hari mereka dihabiskan dengan berselancar dan scrolling aneka konten di beragam platform media sosial (medsos). Tak semua konten yang diakses itu sesuatu yang serius dan bermanfaat. Tak sedikit yang suka aneka konten receh tak penting. Waspadalah, mengonsumsi konten-konten receh bisa picu pembusukan otak (brain rot).
Bermain medsos memang bikin nagih. Tak sedikit orang yang sangat aktif di medsosnya. Aktivitas menulis status, mengunggah dan mengunduh aneka konten, berbagi konten, memberi like, dan subscribe menjadi aktivitas rutin kebanyakan pengguna medsos. Apalagi kalau ada konten yang viral, banyak pengguna medsos yang menikmati dan ikut memviralkannya. Tak peduli apakah konten viral itu penting dan bermanfaat atau tidak.
Mengakses medsos secara berlebihan termasuk pada konten yang cepat dan singkat telah menjadi aktivitas digital yang menyenangkan. Banyak orang suka scrolling di laman TikTok, YouTube, Twitter (X), atau Instagram guna menikmati aneka konten video pendek yang untuk menikmatinya tak perlu pemikiran mendalam. Orang dengan cepat berpindah-pindah dari satu konten pendek yang satu beralih ke konten lain secara cepat.
Meskipun kebanyakan konten singkat di medsos itu menghibur, namun aktivitas itu dapat menjadikan orang terbiasa dengan stimulasi cepat dan kehilangan kemampuan untuk fokus pada hal yang lebih kompleks dan mendalam. Orang jadi terbiasa melompat-lompat dari satu pesan singkat ke pesan singkat yang lain tanpa stimuli untuk mencerna dengan seksama terhadap aneka pesan yang sedang diakses.
Brain Rot
Istilah brain rot pertama kali dicetuskan oleh Henry David Thoreau dalam bukunya bertajuk “Walden.” Dalam buku ini Henry menceritakan pengalamannya menjalani hidup sederhana tanpa campur tangan teknologi. Bagi Henry, mengakses teknologi hanya akan menjadikan dirinya mengonsumsi konten-konten receh yang dapat menyebabkan pendangkalan dalam berpikir dan penurunan mental dan intelektual.
Melalui tulisannya, Henry menunjukkan keprihatinannya terhadap penurunan kualitas pemikiran masyarakat akibat preferensi pada hal-hal yang sifatnya dangkal. Lebih lanjut Henry menyatakan bahwa brain rot merupakan pengalaman bersama di dunia hiper digital yang membuat seseorang merasa terpaku pada layar. Orang suka menghabiskan waktu berlama-lama di depan layar gadget-nya.
Merujuk pernyataan sejumlah pakar bahwa brain rot itu mencerminkan penurunan kemampuan mental secara perlahan, yang sering kali dikaitkan dengan penggunaan layar gadget yang berlebihan, kurangnya stimulasi, atau pilihan gaya hidup yang tak sehat. Terpaan aneka konten di medsos yang tak bermutu dan dangkal dapat menurunkan kesehatan kognitif dan menyebabkan kelelahan mental.
Brain rot tak terbatas pada kelompok usia tertentu. Kerusakan otak akibat penggunaan medsos dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak yang mengalami brain rot terlihat dari berkurangnya perhatian, kesulitan berkonsentrasi, dan prestasi akademis yang buruk. Sementara pada orang dewasa ditandai dengan mudah lupa, motivasi rendah, mudah tersinggung, dan terlalu bergantung perangkat gawai.
Konten Junkies
Tak semua konten di medsos itu bagus dan penting. Banyak konten junkies alias konten sampah. Di benak para pembuat konten junkies yang terpikir adalah pokoknya kontennya banyak dilihat, syukur-syukur dapat banyak like dan tambahan subscribers. Karena cara berpikirnya sesingkat itu maka tak jarang konten dibuat asal-asalan, berdurasi pendek, dan tak mendalam.
Fakta ini klop dengan kebiasaan kebanyakan pengguna medsos yang senang scrolling atau berpindah-pindah dari satu konten ke konten lain secara cepat. Hal ini terjadi karena di sejumlah platform medsos durasi penayangan konten juga terbatas. Sejumlah platform medsos hanya menyediakan durasi untuk konten dalam hitungan detik hingga beberapa menit saja. Kecuali laman YouTube yang menyediakan tempat bagi konten dengan durasi sangat panjang.
Aneka konten junkies di medsos kebanyakan dibuat dengan tujuan utama menghibur. Karena itu banyak yang mengisinya dengan mengunggah konten receh yang tak perlu berpikir panjang dalam menikmatinya. Selain durasinya yang pendek, penonton juga disajikan dengan pesan-pesan yang tak mengajak berfikir lebih mendalam. Hal Inilah yang memicu terjadinya cara berpikir dangkal yang menyebabkan terjadinya brain rot.
Solusi yang bisa dicoba agar terhindar brain rot bisa dengan memilih konten yang lebih mendidik dan reflektif daripada sekadar hiburan instan atau sensasional. Bagi orang tua dan guru perlu terus mengedukasi dampak negatif dari over digital.
Selain itu perlu pengajaran keterampilan berpikir kritis saat mengakses konten digital. Perlu juga upaya membatasi waktu agar tak terpaku pada layar gadget untuk mengurangi paparan konten berkualitas rendah yang seringkali tak menantang secara intelektual.
Fenomena brain rot semakin menggejala di era digital saat ini, di mana konten singkat di medsos mendominasi konsumsi informasi sehari-hari. Hal ini perlu diwaspadai. Perlu kesadaran para pengguna medsos dan media digital agar lebih mengedepankan akses media yang sehat. Kemampuan literasi digital yang meliputi cakap digital, aman digital, budaya digital, dan etika digital perlu dipunyai bagi semua pengguna media digital.(*)