spot_img
Wednesday, September 18, 2024
spot_img

Meneladani Kehidupan Keluarga Nabi Muhammad SAW

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Ahmad Fatoni

Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang

Peringatan Maulid Nabi sebagai tradisi yang berkembang di tengah masyarakat selalu dirayakan pada bulan Rabiul Awal. Terlepas masih ada kontroversi tentang bulan kelahirannya dan hukum perayaan tersebut, acara Maulid Nabi merupakan bentuk penghormatan atas keteladanan Rasulullah SAW dengan berbagai bentuk kegiatan religio-kultural.

Pertanyaannya, mengapa sosok Nabi Muhammad SAW menjadi manusia yang begitu agung di mata manusia, terlebih dalam pandangan Allah? Sejak kecil beliau terpelihara dari segala perilaku buruk. Jawaban Aisyah radhiallahu anha saat ditanya tentang akhlak Rasulullah, “sesungguhnya akhlak beliau adalah Al-Qur`an.” Artinya, perkataan, perbuatan, dan keputusan beliau berdasarkan wahyu dari Allah.

Sayang Keluarga

Dalam konteks kehidupan keluarga, Nabi Muhammad SAW berhasil mempersonifikasikan peran sebagai seorang suami yang sempurna. Dalam urusan dunia beliau sangat demokratis dan terbuka terhadap istri-istrinya. Namun beliau sangat serius dan berwibawa ketika menyinggung perkara agama. Rasulullah SAW adalah tipe suami yang sangat lembut dan romantis, serta tidak pernah bertindak kasar terhadap keluarganya.

Tak pelak, kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW penuh dengan nuansa keindahan dan ketenangan. Keadaan rumah tangga nabi terakhir itu memang tampak sederhana namun indah memesona, tanpa harus dilambari dengan harta berlimpah atau gaya hidup mewah. Sebuah lembaran kehidupan yang dibangun di atas ketakwaan dan ridha-Nya.

Dengan meneladani akhlak Rasulullah SAW, senyatanya setiap kepala rumah tangga bersikap santun dalam memperlakukan istrinya, tidak mencela keluarganya, dan tidak membuatnya susah dalam mengarungi hidup berumahtangga. Seorang suami yang baik tidak harus selalu mengharap sang istri agar selalu melayani kebutuhannya dalam setiap hal. Toh Rasulullah tidak jarang membantu menggiling gandum dan menjahit sendiri pakaiannya.

Rasulullah juga sosok yang sangat mencintai anak-anak. Kendati anak-anak biasa merengek dan mengeluh serta banyak tingkah, tetapi beliau tidaklah marah, membentak atau menghardik. Nabi Muhammad SAW tetap berlaku lemah lembut dan bersikap tenang dalam menghadapi mereka. Beliau pun tidak segan untuk bermain kuda-kudaan dengan kedua cucunya, Hasan dan Husain.

Tak jarang pula Rasulullah menghadapi anak-anak dengan sikap melucu. Bila mendatangi anak-anak kecil, beliau berjongkok di hadapan mereka, memberi pengertian kepada mereka, juga mendoakan mereka. Abu Hurairah pernah menceritakan: “Rasulullah pernah menjulurkan lidahnya sembari bercanda dengan Hasan bin Ali. Ia pun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.

Kisah tentang Nabi Muhammad bersama anak kecil adalah kisah tentang kasih sayang. Beliau harus memendekkan salatnya ketika mendengar tangisan anak kecil. Demi anak pula, Rasulullah pernah bersujud sangat lama. Begitu lamanya beliau bersujud sampai-sampai para sahabat mengiranya sedang menerima wahyu dari Allah. Padahal yang terjadi sesungguhnya karena ada cucu yang sedang menaiki punggungnya.

Keluarga yang Harmonis

Posisi keluarga senyatanya sebagai sumber kehangatan, perlindungan, dan kasih sayang terhadap anak di rumah. Eksistensi keluarga diharapkan dapat menjadi pilar pembentukan generasi yang salih. Keluarga sebagai unit terkecil sebuah masyarakat merupakan tempat penanaman nilai-nilai kebajikan. Sebaliknya, keluarga pun bisa menjadi biang berlabuhnya semua penyakit sosial seperti merebaknya perilaku koruptif, gaya hidup hedonis, budaya instan, dan ketidakjujuran.

Kenyataannya, di era yang serba terbuka seperti sekarang, kedudukan keluarga tampak kian tidak peduli terhadap peran keluarga sebagai lingkungan awal penanaman nilai-nilai. Padahal, keluarga merupakan cikal bakal dari masyarakat yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak, sebagai proses pendidikan dan pembentukan watak anak sebagai bekal kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Demi mewujudkan keluarga yang harmonis, setiap keluarga hendaknya lebih memberikan perhatian terhadap peran dan fungsi keluarga dalam suasana komunikasi dan interaksi yang harmonis yang pada gilirannya akan memberikan ketahanan keluarga yang lebih baik. Dalam hal ini, setiap anggota keluarga perlu mengupayakan suasana budaya dialog yang lebih terbuka, baik di antara anggota keluarga maupun dengan masyarakat sekitar.

Tantangan Keluarga di Era Digital

Kini, di era digital yang cenderung liar, semuanya serasa tidak berjarak, baik waktu maupun ruang. Peristiwa apa pun di kota-kota besar, bahkan di negara-negara lain dengan cepat dapat diakses oleh siapa pun, baik di perkotaan maupun di pelosok pedesaan. Situasi semacam itu tentu akan sangat berpengaruh kuat pada pola hidup individu yang mengarah pada kehidupan individualistik dan hedonistik.

Faktanya, belakangan timbul lelaku nir-moralitas yang luar biasa dahsyatnya seperti sikap anti sosial dan serba cuek. Sementara gaya hidup konsumtif dengan iming-iming kenikmatan sesaat menjadi gejala umum yang dapat memprovokasi banyak orang untuk merengkuhnya dengan segala cara. Di sinilah pentingnya keluarga sebagai benteng pertama untuk membekali segenap anggotanya dengan pendidikan agama, budi pekerti, dan penanaman mental yang kuat.

Tatanan moral, akhlak, budi luhur dan rasa hormat harus dikuatkan sejak dari lingkungan keluarga sebagai basis penggemblengan karakter setiap anggota keluarga hingga menjadi sebuah keluarga berkualitas. Tanpa tatanan moral, akhlak, budi luhur dan rasa hormat yang tumbuh dari lingkungan keluarga melalui pendidikan agama dan keteladanan, maka tatanan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara akan roboh berantakan.

Sayangnya, secara umum keluarga-keluarga di Indonesia, memang kebanyakan masih kurang menempatkan peran keluarga sebagai wadah untuk memecahkan berbagai problem yang perlu peranan komprehensif, antara ayah, ibu, dan anak. Sehingga, tidak heran jika terjadi anak akan memecahkan persoalannya sendiri di luar yang belum tentu baik atau malah membuat masalahnya semakin kompleks.

Kompleksitas sebuah keluarga memang bisa terjadi karena banyak faktor, di antaranya, masalah ekonomi. Akibat persoalan ekonomi bisa berdampak buruk bagi terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Tak dapat dimungkiri, faktor kemiskinan kerap memunculkan problem dalam keluarga-keluarga di Indonesia.

Juga, pendidikan orang tua yang rendah sangat boleh jadi ikut menghambat terwujudnya keluarga yang berkualitas. Faktor lainnya, sangat boleh jadi, adanya masalah di dalam keluarga itu sendiri. Misalnya persoalan ibu dan ayah, ayah dan anak, anak dan masyarakat, ibu dan masyarakat dan seterusnya.

Becermin kepada keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan rumah tangga, beliau telah membuktikan sebagai pemimpin keluarga yang sukses. Kata kuncinya, beliau selalu menjaga hubungan kasih sayang antara satu dengan yang lain. Sebagai umatnya, dengan mengharap rahmat dari Allah sembari merayakan kelahiran Rasulullah, inilah momentum untuk menjaga harmoni kehidupan keluarga dengan nilai-nilai kasih sayang dan penuh tanggung jawab. Wallahu a’lam.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img