MALANG POSCO MEDIA – Apresiasi terhadap sejumlah ilmuwan legendaris dengan sederet maha karyanya sebagai penanda kejayaan peradaban ilmu di era Renaissance Eropa telah diberikan organisasi Pendidikan, Keilmuwan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Wujudnya setiap 23 April ditetapkan sebagai Hari Buku Sedunia (World Book Day).
Sebut saja mulai dari William Shakespeare yang berkebangsaan Italia dengan eksemplarnya yang paling populer berjudul Romeo and Juliet (1597) bahkan visualisasinya masih bisa kita temukan di Museo Casa di Giulietta Kota Verona-Italia yang pernah dikunjungi penulis sekitar sepuluh tahun silam.
Berikutnya adalah Miguel del Cervantes berkebangsaan Spanyol dengan eksemplar berjudul Don Quixote de la Mancha atau Don Kisotyang terbit dalam dua volume (1605 dan 1615) serta Inca Garcilaso de la Vega dengan karya besar tentang sejarah dan kebudayaan Suku Inca (1617). Ketiga ilmuwan legendaris tersebut dikabarkan meninggal pada tanggal yang sama, yakni 23 April.
Berikutnya, bahwa pada awal abad ke-15M sampai akhir abad ke-17M atau lebih tepatnya sesaat sebelum terjadinya Revolusi Industri di Inggris yang mendekonstruksi seluruh tatanan kehidupan sosial, peradaban manusia yang sebelumnya di hegemoni oleh kelas aristokrat dalam kurun waktu sekian abad—kemudian bereuforia dalam abad kejayaan ilmu pengetahuan.
Berbagai temuan ilmu pengetahuan yang membentang mulai dari karya sastra, filsafat, seni, teori sosial humaniora sampai eksakta—telah mengentaskan masyarakat dunia dari abad kegelapan (the dark ages) ilmu pengetahuan bahkan kebenaran yang sebelumnya telah dimonopoli oleh para pemimpin imperium monarki.
Cerita tragis di akhir kehidupan Galileo Galilei menjadi representasi upaya pemberangusan fakta kebenaran ilmu pengetahuan hanya karena kepentingan politik-ekonomi sekelompok bangsawan.
Dalam konteks tersebut, kita dapat mengetahui betapa sakralnya entitas kebenaran ilmu pengetahuan bagi para ilmuwan yang berintegritas, karena nyawa turut dipertaruhkan hanya untuk idealisme akan kebenaran ilmu pengetahuan.
Lalu, apakah sampai dengan kehidupan kita saat ini spirit literasi dari abad pertengahan tersebut masih terdengar nyaring dan bergema?
Arus Pragmatisme
Menurut hemat penulis bahwa akhir dari peradaban ilmu pengetahuan terjadi saat berbagai temuan monumental di awal Revolusi Inggris. Salah satunya adalah mesin Uap oleh James Watt yang kemudian dipasang pada rangkaian lokomotif pertama yang bergerak dari Liverpool menuju Manchester.
Momentum tersebut menjadi penanda awal kelahiran abad industrialisasi. Pada tahun-tahun setelah itu, kehidupan masyarakat yang cerdas dan mencerahkan kemudian tergantikan secara revolusioner dengan kehidupan yang bercorak materislistik yang cenderung pragmatis.
Produksi berbagai macam varian barang baru dalam jumlah yang sampai mengalami surplus, telah merubah tatanan kehidupan masyarakat yang sebelumnya sangat feodalis dan normatif. Jika pada masa Renaissance, kebenaran ilmu pengetahuan menjadi basis dan identitas peradaban dengan menggusur hegemoni kelompok aristokrat, maka di masa industrialis telah tergantikan dengan peradaban capital kelompok borjuasi yang secara sosial-ekonomi sangat eksploitatif.
Alih-alih untuk menjustifikasi peradaban ilmu pengetahuan yang telah eksis, era industrialisasi telah merubah orientasi hidup manusia justru pada aspek materialis yang dangkal. Akibatnya, bentuk penghormatan akan eksistensi ilmu pengetahuan yang terepresentasikan dalam diri para scientist, kemudian terganti dengan status sosial kaum borju yang hanya berbekal uang dan kekayaan. Ilmu pengetahuan bahkan kebenaran bukan menjadi hal yang sakral, mungkin juga sampai dengan sekarang. Misalnya saja dalam konteks politik faktual saat ini yang bercorak sangat oligarki, artinya peradaban politik tidak berbasis pada moral, kebenaran dan ilmu pengetahuan sebagaimana keyakinan Aristoteles, Plato dan Socrates. Uang, politik dan kekuasaan menjadi sebuah sirkel yang sulit untuk dipisahkan. Begitu pula dalam hubungan sosial yang seringkali terdikotomi pada kelas “kaya” dan “miskin.” Ilmu dan kebenaran hanya menjadi pelengkap kehidupan.
Wajar jika dalam konteks Indonesia, hasil survei pada Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 lalu, telah menempatkan Indonesia pada ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Salah satu indikasinya adalah total jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia yang memiliki rasio nasional 0,09. Artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun. Sebagai perbandingan di negara Asia Timur seperti Korea, Jepang dan China—rata-rata memiliki 20 buku baru bagi setiap orang.
Berbagai aplikasi yang memanjakan manusia dalam berbelanja makanan, baju dan sepatu—tampak lebih populer dari pada konten buku digital apalagi buku teks fisik yang terkesan klasik bahkan membosankan.
Ilmuwan dan Penulis selaku produsen dan stakeholders mulai dari penerbit sampai toko buku kelas emperan, harus berjuang ekstra keras untuk menjaga marwah peradaban ilmu pengetahuan agar manusia tetap berpijak pada moralitas dan keadilan.
Tanpa itu, hampir mustahil ras manusia ini dapat bertahan sampai pada abad-abad berikutnya. Karena, corak kehidupan yang pragmatis hanya akan melegalkan sifat kebencian, kesombongan, keserakahan, ketamakan dan kerakusan akan kekuasaan dalam segala hal.
Tidak hanya kekuasaan dalam konteks politik, tetapi juga kuasa dalam konteks ekonomi, sosial termasuk budaya. Kini momentum tidak hanya sekadar menggelorakan minat dan budaya baca, tetapi lebih dari itu bahwa manusia di abad digital yang sangat disruptif saat ini harus tetap berpijak pada eksistensi kebenaran ilmu pengetahuan.
Dimulai dengan melawan arus pragmatisme yang telah memporak porandakan peradaban ilmu dan hubungan sosial, karena kebenaran dan humanitas menjadi keniscayaan ilmu pengetahuan.(*)