MALANG POSCO MEDIA – Kampung Budaya Polowijen (KBP) menggelar tradisi tahunan Riyoyo Kupatan sebagai penutup rangkaian Lebaran. Kegiatan tersebut rutin diadakan pada hari kedelapan setelah Idul Fitri. Ini diyakini sebagai momentum untuk saling memaafkan dan mempererat tali silaturahmi.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, tahun ini proses memasak ketupat dilakukan langsung di pawon (dapur tradisional) milik Kampung Budaya Polowijen. Kupat dimasak secara gotong royong menggunakan tungku berbahan bakar kayu, menambah nilai historis dan rasa otentik pada hidangan tersebut.
Ki Demang, pengasuh Kampung Budaya Polowijen, menjelaskan perubahan lokasi memasak dari panggung ke pawon disesuaikan dengan kondisi cuaca dan bertujuan menonjolkan aspek edukatif dari proses memasak tradisional.
“Kupat kami masak di pawon agar warga khususnya generasi muda bisa belajar langsung prosesnya. Ini bagian dari wisata gastronomi kuliner bukan hanya soal rasa, tapi juga nilai dan prosesnya,” ujar Ki Demang.
Kupat yang dibuat pun beragam, tidak hanya kupat bentuk dasar. Namun juga berbagai jenis lain yang memiliki makna dan fungsi berbeda dalam tradisi Jawa, seperti kupat untuk tasyakuran, nyadran, atau persembahan.
Dalam acara ini, sekitar 30 ketupat dan 50 lontong disiapkan untuk disantap bersama. Hidangan pelengkap seperti sayur lodeh, tahu, tempe, ayam, dan telur juga turut disajikan. Uniknya, sebagian besar bahan disediakan secara swadaya oleh warga dan donatur, menjadikan kegiatan ini bebas biaya.
Selain memasak dan makan bersama, tradisi ini juga diselingi praktik membuat anyaman janur (daun kelapa muda), termasuk membuat kupat, pincuk, hingga ornamen budaya lainnya.
“Ini menjadi bagian dari kegiatan rutin hasta karya di KBP yang digelar setiap minggu bersamaan dengan latihan seni tari,” ungkapnya.
Riyoyo Kupatan juga menjadi momen untuk merefleksikan makna filosofis ketupat. Kupat atau ngaku lepat melambangkan pengakuan kesalahan dan niat saling memaafkan. Usai acara, warga membawa pulang ketupat matang dan menggantungnya di atas pintu rumah sebagai simbol permohonan maaf kepada sesama.
“Kupat itu bukan sekadar makanan, tapi simbol. Gantung di atas pintu rumah adalah pernyataan bahwa kita mengakui kesalahan dan siap memulai kembali dengan hati bersih,” tambah Ki Demang.
Menurutnya, tradisi kupatan saat ini mulai tergerus modernitas dan praktisme, di mana banyak orang lebih memilih membuat lontong plastik daripada kupat janur. Oleh karena itu, KBP berkomitmen menjaga dan melestarikan warisan budaya ini dengan pendekatan yang lebih edukatif dan partisipatif.
“Delapan tahun Kampung Budaya Polowijen berdiri, delapan kali pula Riyoyo Kupatan digelar. Ini bukti bahwa tradisi bisa bertahan jika dijaga dan diwariskan dengan semangat kebersamaan,” tutupnya.(mg/van)