spot_img
Saturday, July 27, 2024
spot_img

Disrupsi Bahasa

Berita Lainnya

Berita Terbaru

“Kita adalah pemilik bahasa dan penguasa kata. Dengan kebijaksanaan dalam penggunaan bahasa, kita menunjukkan kecerdasan dalam berkomunikasi.”

Bahasa merupakan cerminan kualitas diri dan kecerdasan seseorang, sebagaimana peribahasa Jawa “ajining diri, saka lathi” (Kehormatan diri, berasal dari lidah). Bahasa terus mengalami perkembangan seiring waktu, dengan variasi yang mencerminkan latar belakang dan karakter individu. Namun, penting untuk memahami bahwa bahasa juga harus sesuai dengan konteks dan norma yang berlaku.

- Advertisement -

Dalam dunia pendidikan, keberhasilan komunikasi antara guru dan peserta didik sangat penting, namun bisa menjadi rumit jika tidak dilakukan dengan baik. Guru perlu memahami dunia anak didik untuk tetap relevan dan ramah. Sementara guru juga menjaga integritas bahasa yang baik dan benar dalam pembelajaran.

Fenomena Disrupsi Bahasa

Dalam era digital yang semakin maju, disrupsi bahasa pada peserta didik menjadi sebuah fenomena yang patut diperhatikan dengan serius. Disrupsi secara etimologis, kata ini dipinjam dari bahasa Inggris disruption, disesuaikan penulisannya menjadi disrupsi (Wibisono, 2020). Kata disruption, menurut Echols dan Sadily (1986) adalah kata benda, yang berarti ‘gangguan’, ‘kekacauan’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata disrupsi diartikan sebagai ‘hal tercerabut dari akarnya.’

Disrupsi bahasa mengacu pada perubahan atau gangguan yang signifikan dalam penggunaan bahasa yang telah menjadi norma atau standar dalam suatu masyarakat (Ulfa, 2019). Perubahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi, media sosial, tren budaya, atau pengaruh dari bahasa lain yang masuk ke dalam bahasa tersebut.

Disrupsi bahasa dalam konteks peserta didik menggambarkan perubahan dalam cara mereka berkomunikasi dan menggunakan Bahasa. Terutama dalam gaya, ejaan, atau kosakata yang tidak sesuai dengan aturan tata bahasa. Hal ini dapat terjadi secara sadar maupun tidak sadar, dan berpotensi memengaruhi kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi secara efektif dan berkualitas.

Adapun contoh fenomena disrupsi bahasa saat ini adalah penggunaan singkatan atau akronim yang berlebihan dalam komunikasi digital, terutama melalui pesan singkat atau media sosial. Beberapa akronim umum seperti “LOL” (loud of laugh), “omg” (oh my God), “btw” (by the way), “idk” (I don’t know), “otw” (On the way), “Bucin” (Budak Cinta), “Baper” (Bawa Perasaan), “CMIIW” (correct me if i`am wrong), dan banyak lagi menjadi populer di kalangan peserta didik.

Selain itu, penggunaan emoji dan emotikon yang berlebihan juga merupakan fenomena disrupsi bahasa. Peserta didik cenderung mengandalkan emoji dan emotikon untuk menyatakan perasaan dan emosi dalam komunikasi digital mereka. Meskipun ini bisa menambah nuansa ekspresif dalam komunikasi, tetapi jika digunakan secara berlebihan, bisa menyebabkan peserta didik kurang terampil dalam menyampaikan perasaan mereka dalam kata-kata.

Selain itu, ada disrupsi bahasa dalam bentuk penerapan ejaan tidak baku. Misalnya dengan mengganti “karena” menjadi “karna”, “sudah” menjadi “udah”, atau “sekarang” menjadi “skrg.” Penggunaan ejaan tidak baku ini bisa mereduksi kemampuan peserta didik dalam menulis dengan ejaan yang benar.

Penggunaan abreviasi yang berlebihan dalam pesan teks atau media sosial juga termasuk disrupsi bahasa, seperti mengganti “apa” menjadi “pa”, “enggak” menjadi “gak”, atau “kamu” menjadi “km.” Penggunaan berlebihan abreviasi ini bisa mempengaruhi kemampuan menulis peserta didik karena mereka lebih sering terbiasa dengan bentuk singkat kata-kata.

Fenomena lain yang terjadi adalah adanya gaya bahasa informal dan gaul yang banyak dipopulerkan oleh media sosial dan selebriti internet. Ada juga penggunaan bahasa campur aduk, seperti mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah atau bahasa asing dalam percakapan mereka (Wibawa, 2018). Hal ini bisa menyebabkan kesulitan dalam memahami dan menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten dan benar.

Solusi Penghilang Disrupsi Bahasa

Untuk mengatasi disrupsi bahasa dalam pembelajaran bahasa Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah yang berfokus pada pemahaman dan penggunaan bahasa formal dan berkualitas dengan beberapa cara yang dapat diimplementasikan. Misalnya guru perlu menjadi contoh dalam menggunakan bahasa formal yang tepat. Selain itu, memasukkan pembelajaran literasi ke dalam kurikulum membantu peserta didik memahami bahasa secara mendalam.

Hal tersebut bisa ditambah dengan kegiatan menulis yang menarik dan bervariasi dapat juga meningkatkan keterampilan menulis peserta didik. Dapat juga melibatkan peserta didik dalam diskusi dan debat membantu mereka menyampaikan pendapat dengan argumen yang kuat.

Cara lain dengan mendorong pembacaan aktif dan kritis dapat memperluas kosakata dan pemahaman tentang Bahasa Indonesia. Pada tahap akhir, guru dapat  memberikan umpan balik konstruktif terhadap tulisan atau komunikasi peserta didik. Di samping itu, dengan memberikan evaluasi yang jelas dan panduan untuk perbaikan, peserta didik dapat secara progresif meningkatkan keterampilan berbahasa dengan karakter mereka masing-masing (Indrayani et al., 2023).

Teruslah belajar dan mengasah bahasa, karena bahasa yang baik adalah investasi terbaik untuk masa depan yang berkarakter dan melestarikan harta karun kearifan dan kebudayaan bangsa.(*)

- Advertisement - Pengumuman
- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img